Kisah Soal Kehangatan Keluarga Peternak Sapi di Australia

Jelajah Australia

Kisah Soal Kehangatan Keluarga Peternak Sapi di Australia

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikNews
Selasa, 10 Nov 2015 17:41 WIB
Kisah Soal Kehangatan Keluarga Peternak Sapi di Australia
Foto: Nograhany WK
Darwin - Setelah menempuh 2 jam perjalanan dari Kota Darwin, sampailah kami, detikcom dan 3 jurnalis Indonesia lain, ke peternakan Mount Ringwood Station, Adelaide River, Northern Territory (NT). Peternakan itu sangat luas bila dibandingkan di Indonesia, luasnya hingga 40.000 hektar.

Setelah beberapa kali mobil milik KJRI Darwin yang mengantarkan kami melewati beberapa portal besi, yang jarak satu-sama lainnya bisa berkilo-kilometer jauhnya,  akhirnya, sampailah kami di tempat peternakan yang dituju.  

Terlihat 1 rumah panggung sederhana dari kayu berwarna putih, dan rumah kecil lainnya. Di garasi depan rumah, tampak 1 mobil SUV silver yang gagah namun berbalur tanah. Tampak pula mobil hardtop 4 WD warna kuning yang lusuh.  

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rumah peternak Markus Rathsmann (Foto: Nograhany WK)


Dari rumah panggung kayu itu, muncul seorang perempuan yang mengenalkan diri bernama Maree Mounaro (45) dan anaknya, Luke (10). Dipandu Luke, mobil masih menyusur lagi 500 meter ke arah peternakan. Tujuan kami pada Rabu (2/9/2015) siang yang terik itu adalah mencari tahu peternakan breeding sapi di NT, wilayah Australia yang memasok mayoritas sapi ke Indonesia.

Di peternakan, Markus Rathsmann (55) sang pemilik peternakan sudah menunggu. Siang itu, Markus yang mengatakan sudah bekerja sejak pagi pukul 06.30 sudah bercucuran keringat. Dengan topi bundar, kemeja biru tua yang terbuka kancingnya sebagian, jeans biru yang pudar, serta sepatu booth yang warnanya sudah cokelat pudar, mukanya yang putih terlihat merah. Ujung jari-jari Markus sudah kering menghitam.

Namun dia tetap menyambut kami dengan ramah, melayani pertanyaan dari A-Z dengan sabar. Dia membawa suntikan untuk sapi-sapi ternaknya. Siang itu, Markus bergelut dengan obat steril yang dimasukkan ke suntikan dan ditembakkan ke telinga sapi betina yang sudah dinilai tidak subur lagi.

Menghalau sapi ke alat bernama "Immobilizer", untuk menjepit tubuh sapi agar tak banyak tingkah saat disuntik atau dicap, cukup menantang dan memakan banyak tenaga. Markus cuma dibantu 2 orang pekerja, Ray dan Margareth, sepasang kekasih. Mereka juga sudah terlihat sudah berkeringat.

Markus akhirnya mengajak kami ke rumahnya untuk makan siang. Memandu kami duduk di meja makan outdoor belakang rumah panggungnya yang cukup sederhana. Banyak barang-barang jadul seperti kulkas, TV, hingga lemari di rumah Markus.

Perkakas rumah tangga vintage di rumah peternak Markus (Foto: Nograhany WK)


Tak disangka, Maree sang istri menyajikan semangkuk nasi putih. Dia coba menjamu tamu dengan selera kami, orang Indonesia, yang tak bisa makan bila tak bertemu nasi. Maree juga menyajikan semangkuk daging kari yang bumbunya mirip kuah rendang. Belum cukup, Maree mengeluarkan dua ekor ikan kakap merah bakar yang dibungkus daun pisang. Harum!

Makanan yang disajikan Maree (Foto: Nograhany WK)


"Saya belajar membuatnya dari resep di internet. Ini kari daging, dagingnya dari peternakan kami, bumbunya, saya tanam sendiri rempah-rempahnya. Ada kunyit, laos dan sebagainya," tutur Maree sambil tersenyum ramah pada detikcom, RCTI dan Australia Plus ABC International.

Maree sedang terserang flu, sehingga suaranya agak sedikit serak dan melengking. Namun, dia tetap mau bersusah payah memasak untuk para tamunya siang ini.

Makanan yang disajikan Maree  (Foto: Nograhany WK)


Pun dengan daun pisang yang membungkus ikan kakap merah itu. Maree juga menanamnya sendiri. Halaman belakang rumah Markus dan Maree, penuh dengan tanaman-tanaman tropis. Pemandangannya seperti halaman depan rumah pedesaan di Indonesia. Ada tanaman famili jahe seperti kunyit dan laos, daun pandan, pohon palem dan tanaman pisang. Ada pula jemuran baju dengan jepit-jepit penjemur, juga seekor ayam yang berkeliaran berpetok-petok ria.

Maree sedang menyajikan makanan (Foto: Nograhany WK)


"Silakan makan," demikian ajak Maree dan Markus.

Maree juga menyajikan kecap dengan merek Indonesia, juga sambel ulek kemasan, irisan cabai merah, juga cabai kering. Maree seakan membaca pikiran kami semua, yang tak bisa makan kalau tak ada sambal.

Maree (paling kiri), Luke (kedua dari kiri) dan Markus (keempat dari kiri) menjamu tamu-tamunya dengan hangat (Foto: Nograhany WK)


Diselingi dengan perbincangan hangat, makan siang itu makin maknyuss! Dari perbincangan di makan siang itu, diketahui Markus pernah ke beberapa peternakan di Indonesia seperti ke Lampung atau Sumatera Utara.

Dengan jam kerja yang panjang, 10 jam tiap hari dengan 6-7 hari kerja, keluarga Markus menyempatkan berlibur sebulan sekali, tiap bulan Januari, ke Indonesia atau Vietnam.

Luke, anak Markus dan Maree, juga bercerita bahwa dia tak sekolah siang itu karena cuaca sangat terik dan panas, hingga dia khawatir kena heat stroke. Luke bersekolah dengan metode home schooling, berkelompok dengan anak-anak peternak lainnya di tetangga peternak yang jauhnya bisa belasan kilometer. Sehari-hari, Maree lah yang mengantar Luke.

Oh, Maree tak lupa menyajikan buah tropis, semangka dan melon sebagai penutup makan siang itu.



Baca terus fokus Jelajah Australia, dan ikuti Hidden Quiz-nya!

Halaman 2 dari 1
(nwk/hen)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads