Mama Suu Kyi, Harapan Terakhir Burma

Jelang Pemilu Myanmar

Mama Suu Kyi, Harapan Terakhir Burma

Sapto Pradityo - detikNews
Kamis, 05 Nov 2015 18:13 WIB
Mama Suu Kyi, Harapan Terakhir Burma
Foto: REUTERS/Edgar Su
Burma - Selama lebih dari dua puluh tahun, Aung San Suu Kyi, 70, menjadi tahanan rumah junta militer Myanmar lantaran memimpin gerakan untuk mendongkel pemerintah. Tapi Suu Kyi, menolak dianggap sebagai pemberani.

"Aku tak pernah menganggap diriku sebagai pemberani....Saat aku kecil, aku takut tempat yang gelap. Dan aku juga agak takut dengan bangkai tikus dan sejenisnya," kata Suu Kyi kepada CBS, akhir Oktober lalu. "Tapi aku hadapi apa yang harus aku hadapi dan aku selalu berharap yang terbaik yang aku sanggup."

Di tubuh perempuan yang agak kurus dan tampak ringkih, dengan rambut kelabu di pelipis ini, rakyat Myanmar, terutama keturunan muslim, menaruh harapan sangat besar. Sudah begitu lama mereka hidup di bawah kekangan junta militer. Mereka berharap, jika Amay Suu Kyi alias Mama Suu Kyi, sapaan mereka bagi putri Jenderal Aung San itu, menang dalam pemilihan umum pada 8 November nanti, hidup mereka bakal lebih baik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soe Zeya Tun


"Kami tinggal punya sedikit harapan....Kami tak mendapatkan hak yang sama. Kami berharap, jika Suu Kyi menang, kami akan mendapatkan hak yang setara dengan warga Myanmar lain," kata Win Naing, 41 tahun, keturunan muslim dari kota Thandwe, negara bagian Rakhine.

Pada Pemilihan Umum Myanmar 1990, partai Amay Suu, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menyapu 59 persen suara dan lebih dari 80 persen kursi di Hluttaw atau parlemen. Tapi junta militer menolak mengakui hasil pemilihan. Pada Pemilihan Umum lima tahun lalu, NLD menolak ikut berpartisipasi. Pemilihan Umum kali ini, Presiden Theins Sein menjamin bakal berlangsung secara bebas dan adil, jauh beda dengan situasi lima tahun lalu.

Di Kawhmu, pinggiran kota Rangoon, saat berkampanye beberapa pekan lalu, Mama Suu Kyi dielu-elukan ribuan pendukungnya, sama seperti di Thandwe, dan kota-kota lain di Myanmar. Melihat kerumunan pendukungnya di seluruh penjuru Myanmar alias Burma, jika benar pemilihan umum berlangsung bebas dan adil seperti yang dijanjikan Presiden Thein Sein, banyak orang yakin Mama Suu dan NLD bakal jadi pemenangnya.

Reuters


Tersaruk-saruk berjalan dengan kruknya, Kyaw Min Latt datang ke Kawhmu dari kampungnya Hlaing Tharyar. "Aku datang untuk mendukung Suu Kyi," kata Min Latt kepada Irrawaddy. Kendati pernah lama berdinas di militer Burma, Min Latt tak sudi menyokong Partai Pembangunan dan Persatuan Solidaritas (USDP), partai yang disokong penguasa.

Dua puluh lima tahun lalu, Min Latt juga memberikan suaranya untuk Mama Suu Kyi. "Sekarang aku juga akan memberikan suaraku kepada dia," kata Min Latt dengan senyum lebar. Dia yakin, teman-temannya sesama veteran dan prajurit aktif Burma juga akan memberikan suara untuk Suu Kyi. Kendati ada "imbauan" dari Panglima Militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing supaya keluarga prajurit untuk memberikan suaranya kepada kandidat yang bisa melindungi "ras dan agama, serta bebas dari pengaruh asing".

Rupa-rupa upaya dilakukan dan gosip ditiupkan untuk menjegal Mama Suu Kyi. Para politikus USDP dan penyokongnya terus menghembuskan isu bahwa NLD dan Suu Kyi sangat dekat dengan komunitas muslim, satu hal yang sangat sensitif bagi mayoritas warga Myanmar yang beragama Buddha. Menurut Konstitusi yang disusun junta militer, Suu Kyi juga tak bisa menjadi Presiden Burma lantaran kedua anaknya berkewarganegaraan asing. Kedua anak Suu Kyi memegang paspor Inggris.

"Dalam hal nasionalisme dan keamanan negeri ini, Suu Kyi tak ada gunanya," kata Bhiksu Wirathu, pemimpin Biara Ma Soe Yein di Mandalay kepada CBS. Wirathu dan bhiksu-bhiksu yang tergabung dalam Organisasi Perlindungan Ras dan Agama alias Ma Ba Tha, terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan terhadap Mama Suu Kyi. Tanpa ragu, Wirathu membujuk rakyat Burma untuk menyokong partai penguasa.

Soe Zeya Tun


Vimala Buddhi, Sekretaris Jenderal Ma Ba Tha menuturkan, hubungan baik mereka dengan Suu Kyi berakhir setelah NLD menolak menyokong tiga undang-undang untuk melindungi ras dan agama yang mereka usulkan. Undang-undang itu memasang banyak rambu-rambu bagi laki-laki muslim yang berniat poligami atau menikahi perempuan Buddha.

Ditembak isu rasial dan agama, Suu Kyi berusaha menurunkan tensi dalam setiap kampanyenya. "Kami berusaha membangun harmoni dan rekonsiliasi....Kami tak ada niat sama sekali untuk membalas dendam. Bahkan jika kami menang seratus persen sekalipun, kami akan mengundang kelompok-kelompok minoritas untuk bekerjasama," kata Suu Kyi kepada Independent.

Puluhan tahun di bawah kekuasaan junta militer, tentu Burma tak akan berubah dalam semalam. Jauh-jauh hari, penguasa militer sudah memastikan bahwa mereka tak akan kehilangan kendali sekalipun kalah dalam pemilihan umum. Menurut Konstitusi Myanmar, seperempat anggota parlemen ditunjuk langsung oleh penguasa militer. Mereka juga punya hak veto atas setiap inisiatif untuk mengamendemen konstitusi.

"Kalian tak bisa percaya kepada junta. Mereka bilang satu hal dan lakukan hal berlawanan.... Aku percaya NLD bisa membawa perdamaian, mengubah konstitusi dan menegakkan keadilan," kata U Chit Pwe, 81, pensiunan pegawai pemerintah.


(sap/mad)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads