Perjalanan ribuan pengungsi ini menguras tenaga dan juga air mata. Pria, wanita dan anak-anak harus menaklukkan lautan, pegunungan tinggi, polisi dan juga para penjahat selama perjalanan.
Tidak ada bagasi besar yang dibawa. Hanya pakaian yang menempel di badan, tas kecil dan handphone yang menyertai mereka serta impian dan harapan tentang anak-anak mereka di negara tujuan. Dari Munich hingga perbatasan Serbia-Hungaria.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahmed Al Nassaf (23) adalah pria yang berasal dari Damaskus, Suriah dan hendak menuju Belanda. Di Suriah, dirinya bekerja sebagai seorang apoteker. Ahmed menempuh perjalanan selama 25 hari menuju Eropa dan selama perjalana, dia hanya membawa kacamata, celana panjang, baju kaos berwarna putih, paspor, uang dan handphone.
Perjalan yang paling menyulitkan: "Melintasi Hungaria. Saat pertama kali kami mencoba, polisi melarang kami. Kami bersama wanita dan anak-anak. Kami tinggal di dalam hutan saat malam. Kami mengatakan 'tolong lepaskan kami', tetapi mereka (polisi) balas meneriaki kami 'kamu tidka boleh pergi. Mereka mencoba membunuh mimpi kami dan mereka tidak tahu ini adalah harapan terakhir kami," kata Ahmed.
Ahmed melakukan perjalanan panjang ini untuk melanjutkan studinya di Belanda karena di negera itu ada sebuah universitas yang menawarkan program studi baru tentang insulin dan diabetes. "Kamu tidak bisa meraih masa depan di Suriah. Tidak ada listrik, air dan kamu selalu berada di bawah ancaman," kata Ahmed.
Selanjutnya adalah Amar Abdin (30) yang hendak menuju Jerman dari Damaskus, Suriah. Amar adalah seorang sales penjual mobil dan kemudian melakukan perjalanan panjang dengan keempat sepupunya serta anak berusia 4 tahun dan bayi yang berusia 11 bulan.
Amar hanya membawa baju dalam putih, celana pendek, sepatu tua dan sebuah iphone. "Di setiap negara kami membuang barang-barang kami dan tersisa tinggal ini," kata Amar.
"Perjalanan terbesar saat kami mendaki gunung di Macedonia dengan kereta bayi dan seorang bayi. Setiap langkah yang kami tempuh akan membahayakan nyawamu. Banyak orang yang mengambil keuntungan dari yang lainnya," sambungnya.
Menurut Amar, Tidak ada masa depan lagi di Suriah. "Saya tidak merasa kehilangan apa-apa," ucapnya.
Seorang perempuan lainnya bersama Umana Haidy (30) mengatakan meninggalkan negaranya Suriah menuju Berlin untuk memperbaiki kehidupan anaknya.
"Saya tidak punya masa depan untuk diri saya, tetapi kemungkinan ada untuk anak saya," ucapnya.
Umana menempuh perjalanan selama 20 hari dan hanya membawa sebuah selimut, tas pinggang berisi paspor dan dokumen perjalanan lainya, sebuah ponsel rusak. Tas itu juga berisi popok dan dua dot untuk anaknya.
"Kelaparan adalah bagian yang paling sulit dan ketakutan anak saya. Kami keluar dari Suriah bersama dengan penyelundup yang jahat di Libanon dan Turki. Mereka tidak memerikan kami makanan dan susu buat anak saya. Suatu ketika, mereka memberikan kami roti, tetapi roti itu berbau. Mereka tidak memperlakukan kami sebagai manusia," terangnya (tfq/rjo)











































