Usai wafatnya Lee Kuan Yew, pemerintah Singapura melarang unjuk rasa dan acara perkumpulan lainnya di taman setempat. Pemerintah menyatakan area itu sebagai zona penghormatan bagi mendiang Lee Kuan Yew.
Seperti dilansir AFP, Selasa (24/3/2015), pelarangan ini diumumkan selang beberapa jam setelah kepergian Lee Kuan Yew pada Senin (23/3) kemarin. Banyak pihak yang terkejut dengan kebijakan pemerintah Singapura ini.
Menteri Urusan Dalam Negeri Singapura, Teo Chee Hean tiba-tiba mencabut aturan hukum yang mengizinkan perkumpulan publik dan unjuk rasa di Speakers' Corner pada taman tersebut. Selama ini, Speakers' Corner atau yang juga dikenal sebagai free-speech park biasa digunakan publik untuk lokasi unjuk rasa maupun berkumpul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu pusat komunitas yang ada ditujukan untuk mengenang mendiang Lee Kuan Yew," demikian bunyi situs NPB.
"Oleh karena itu, kami tidak akan menerima setiap pengajuan penggunaan Speakers' Corner untuk sekarang ini," imbuhnya, tanpa menyebut lebih lanjut hingga kapan larangan ini diberlakukan.
Area Speakers' Corner yang juga disebut Hong Lim Park ini memiliki luas 0,97 hektare. Taman ini berlokasi di jantung pusat distrik bisnis Singapura. Taman ini dibuka pada tahun 2000 dan mengacu pada model free-speech area di Hyde Park, London.
Hanya warga negara Singapura dan permanent resident saja yang diizinkan mengikuti aksi unjuk rasa di area ini tanpa izin polisi. Syarat unjuk rasa di lokasi ini ialah harus menghindari orasi yang menghasut kebencian agama dan ras.
Lee Kuan Yew yang meninggal dunia pada usia 91 tahun pada Senin (23/3), dikenal akan sosoknya yang keras terhadap para pembangkang dan kelompok politik lain yang melawan partainya, People's Action Party (PAP).
Selama 31 tahun memimpin Singapura, dari tahun 1959 hingga 1990, Lee Kuan Yew banyak dikritik oleh kelompok HAM atas kepemimpinannya yang otoriter dan bergaya tangan besi. Salah satunya ketika Lee Kuan Yew membuat beberapa politikus oposisi menjadi bangkrut atau mengasingkan diri.
(nvc/mad)