Namun menurut putusan pengadilan, otoritas Israel memiliki batas waktu hingga tahun 2017 untuk menghancurkan rumah-rumah yang ada di wilayah Ofra, Tepi Barat bagian utara. Demikian seperti dilansir AFP, Selasa (10/2/2015).
"Merujuk pada kesulitan melakukan penghancuran, karena banyak keluarga yang hidup di gedung tersebut, dan untuk mengizinkan mereka mencari akomodasi alternatif, saya mengajukan agar perintah penghancuran dilakukan dalam batas waktu 2 tahun setelah putusan ini," ujar hakim Asher Grunnis dalam dokumen pengadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Petisi yang diajukan kepada kami berkaitan dengan gedung tersebut, menunjukkan tidak ada fakta yang membantah bahwa gedung tersebut memang dibangun secara ilegal," demikian bunyi petikan putusan pengadilan.
Pengacara dari Yesh Din, Shlomi Zachary menyambut baik putusan Mahkamah Agung Israel ini.
"Putusan Mahkamah Agung ini memperjelas bahwa hukum, hak asasi manusia dan khususnya hak terhadap properti memang harus dihormati di wilayah Palestina," ucapnya kepada AFP.
Secara terpisah, Menteri Kehakiman Israel, Miriam Naor menyindir sikap pemerintah Israel yang dinilainya agak enggan mengeksekusi putusan pengadilan semacam ini.
"Pada akhir waktu yang ditetapkan, perintah penghancuran harus benar dilakukan tanpa adanya usaha untuk menunda, yang sayangnya biasa terjadi pada kasus semacam ini," sebutnya.
Ofra merupakan salah satu kompleks permukiman Yahudi paling lama di Tepi Barat dan memiliki populasi 3.400 orang. Di bawah hukum internasional, seluruh pendudukan dan pemukiman Israel di wilayah Palestina merupakan tindakan ilegal, tidak peduli apakah mendapat izin atau tidak dari pemerintah.
(nvc/ita)