Pria bernama Ismaaiyl Brinsley tersebut juga telah sejak lama menyimpan kebencian pada polisi dan pemeirntah AS. Pria berumur 28 tahun itu pun memiliki sejarah ketidakstabilan mental sehingga dia pun pernah mencoba menggantung dirinya setahun lalu.
Demikian disampaikan Kepala Detektif Robert Boyce seperti dilansir NDTV, Senin (22/12/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembunuhan ini terjadi di saat aparat kepolisian AS tengah menuai kritikan atas kekerasan terhadap warga kulit hitam. Khususnya sejak kematian Eric Garner usai dicekik polisi New York dan tewasnya Michael Brown akibat ditembak polisi berkulit putih di Ferguson, Missouri.
Kematian tersebut menuai aksi-aksi protes yang marak di sejumlah wilayah AS belakangan ini. Terlebih setelah dewan juri menolak menetapkan dakwaan terhadap polisi-polisi yang terlibat dalam kematian Brown dan Garner tersebut.
Pihak penyidik kini tengah menyelidiki apakah Brinsley pernah ikut serta dalam aksi-aksi atas kematian Brown dan Garner. Sebabnya, di media sosial, Brinsley mengisyaratkan rencananya membunuh polisi sebagai pembalasan kematian Brown dan Garner.
Dikatakan Boyce, Brinsley pernah setidaknya 19 kali ditangkap di Georgia dan Ohio, pernah mendekam di penjara selama 2 tahun atas kepemilikan senjata. Dia bahkan dikenal kasar semasa kecilnya sampai-sampai ibunya pun takut padanya. Dia juga kerap mengungkapkan kebenciannya pada polisi dan pemerintah via media sosial dan menyatakan dirinya putus asa dan marah pada dirinya sendiri dan pada tempat tinggalnya.
Dalam insiden yang terjadi Sabtu (20/12) waktu setempat, Brinsley mendekati sebuah mobil polisi di kawasan Bedford-Stuyvesant, Brooklyn dan melepas empat tembakan. Peluru-peluru tersebut menewaskan kedua polisi bernama Rafael Ramos dan Wenjian Liu. Brinsley kemudian lari ke stasiun kereta bawah tanah dan melakukan bunuh diri.
(ita/ita)