Hal tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak permasalahan yang harus dihadapi Tiongkok, setelah pada Kamis (4/12) lalu mengeluarkan pernyataan pemberhentian pengambilan organ tawanan eksekusi mati. Hal tersebut dilakukan menyusul protes dari kelompok hak asasi manusia yang menentang program tersebut.
Seperti dilansir CNN, Minggu (7/12/2014), menurut kepecayaan tradisional Tiongkok, tubuh dianggap sebagai sebuah hal yang suci dan harus tetap utuh bahkan setelah kematian. Selain itu, pengambilan organ dari tawanan eksekusi mati juga dikhawatirkan dapat diperdagangkan atas nama keuntungan dan berakhir di pasar gelap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiongkok merupakan negara yang memiliki tingkat transplantasi organ terendah di dunia. Setiap tahun mereka melakukan 10 ribu prosedur transplantasi.
Negara ini meluncurkan skema sumbangan sukarela pada tahun 2010 tetapi antara tahun itu hingga tahun 2013, hanya 1.448 orang yang menyumbangkan organ. Hal ini tidak berbanding lurus dengan kebutuhan transplantasi hingga 300 ribu orang setiap tahun. Hanya 0,6 persen warga Tiongkok yang telah mendaftar untuk menyumbangkan organ mereka ketika mereka meninggal dunia.
Sehingga untuk kekurangan pasokan, pemerintah mengandalkan dari organ tubuh para terpidana eksekusi mati. Secara teknis, organ mereka hanya dapat digunakan dalam kondisi tertentu dan tentunya ijin donasi organ dari keluarga para terpidana.
Huang mengatakan, tahanan masih akan memenuhi syarat untuk menyumbang, tetapi organ tubuh mereka akan didaftarkan dalam sistem komputerisasi sumbangan, bukannya diperdagangkan secara pribadi, kutip surat kabar China Daily.
(rni/fjp)