Putar Suara

Di balik wajah Jakarta yang serba cepat, penuh beton dan hiruk pikuk, tersembunyi kehidupan lain yang berjalan pelan, sunyi, dan sering kali tak terlihat. Kehidupan itu bergerak di sela waduk, saluran air, dan hutan mangrove pesisir. Melalui penugasan ini, saya mencoba merekam denyut satwa liar yang masih bertahan di antara kepadatan kota—burung, biawak, sampai otter yang mulai kembali muncul di habitat aslinya.

Perjalanan saya dimulai di Waduk Cincin, kawasan yang berada tepat di samping Jakarta International Stadium. Dari kejauhan, waduk ini tampak biasa saja. Namun ketika saya menunggu lebih lama, kehidupan mulai muncul satu per satu. Burung-burung air terbang rendah di atas permukaan air, beberapa bergerak cepat mengambil ikan, sementara yang lain belajar mengepakkan sayap. Kawasan ini ternyata masih menjadi tempat singgah bagi berbagai jenis burung air, termasuk pecuk ular Asia (Anhinga melanogaster) yang memang tercatat bersarang di wilayah Angke-Kapuk. Spesies ini adalah salah satu dari sekitar 60 jenis burung yang masih ditemukan di pesisir Jakarta bagian utara.

Di sela kesibukan memotret burung, seekor biawak muncul perlahan di antara tanaman rawa. Tubuhnya membelah air tanpa suara, seolah menyelinap sebagai bagian dari lanskap. Satwa seperti biawak sering kali dianggap biasa, padahal mereka adalah penanda penting bahwa ekosistem air Jakarta masih menyimpan daya dukung untuk kehidupan alami, meski perlahan terus terdesak oleh pembangunan.

Perjalanan saya kemudian berlanjut ke Taman Wisata Alam Mangrove Angke, Pantai Indah Kapuk. Saat memasuki kawasan itu, suasana berubah drastis. Udara lebih lembap, suara burung terdengar dari arah yang berbeda, dan hamparan akar mangrove menjulang membentuk labirin alami. Kawasan ini merupakan salah satu kantong terakhir mangrove yang tersisa di Jakarta, sekaligus habitat utama dari puluhan spesies burung yang masih bertahan.

Menurut catatan survei BKSDA Jakarta dan lembaga konservasi, dalam dua tahun terakhir tercatat 60 spesies burung di kawasan mangrove Angke meningkat dari 57 spesies pada tahun sebelumnya. Dari angka itu, sekitar 20 jenis merupakan burung air, sementara sisanya adalah burung darat yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat berlindung. Beberapa jenis yang populasinya terpantau stabil atau meningkat antara lain kokokan laut, cucak kutilang, bondol Peking, punai gading, hingga cabai Jawa. Sementara itu, beberapa spesies bernilai konservasi tinggi juga masih bisa dijumpai, seperti bubut Jawa (Centropus nigrorufus), bangau bluwok (Mycteria cinerea), serta beberapa jenis burung migran yang hanya singgah di Jakarta sebagai bagian dari jalur perjalanan mereka.

Salah satu temuan paling menarik di kawasan mangrove adalah keberadaan otter. Mamalia air ini dulu dianggap nyaris hilang dari pesisir Jakarta akibat rusaknya habitat dan tekanan urbanisasi, namun kini perlahan kembali muncul. Melihat mereka berenang di antara akar mangrove atau muncul sesaat sebelum kembali menghilang memberi keyakinan bahwa ruang hijau pesisir ini masih menyimpan harapan.

Melalui proses memotret dan menunggu momen-momen yang tepat, saya menyadari bahwa Jakarta bukan hanya tentang gedung tinggi dan jalanan yang tak pernah sepi. Di sudut-sudut kotanya yang tersisa, masih ada kehidupan liar yang bertahan dan beradaptasi. Burung-burung air yang terbang rendah di atas waduk, biawak yang tenang bergerak di permukaan air, hingga otter yang kembali menata ruang hidupnya—semuanya membentuk sebuah narasi bahwa alam tetap mencari caranya sendiri untuk bertahan.

Populasi burung liar di kawasan Waduk Cincin, Papanggo, Jakarta Utara, masih menunjukkan keberadaan sejumlah spesies yang mampu bertahan di tengah tekanan kawasan urban. Burung Blekok Sawah (Javan Pond Heron) dan burung Kuntul Kecil (Little Egret) menjadi dua jenis yang paling mudah ditemukan di area ini. Kehadiran mereka menandakan bahwa ruang-ruang terbuka biru seperti waduk masih berperan penting sebagai habitat alami di ibu kota.

Selain dua jenis tersebut, masih terdapat beberapa burung lain yang tersisa di Jakarta, meski jumlahnya terus menurun. Beberapa jenis yang masih tercatat antara lain Kowak Malam Abu dengan populasi yang diperkirakan hanya ratusan, Kuntul Besar yang juga tersisa dalam jumlah terbatas, serta Blekok Rawa yang semakin jarang terlihat. Burung Kutilang, Bondol Jawa, serta Tekukur Hutan masih dapat dijumpai, namun populasinya pun terus menyusut seiring hilangnya pepohonan dan ruang hijau. Jenis burung air seperti Cangak Abu dan Kuntul Karang sesekali muncul di wilayah perairan, tetapi jumlahnya tidak stabil.

Waduk Cincin menjadi salah satu titik penting yang masih mampu memberikan ruang hidup bagi burung-burung tersebut. Meski tekanannya besar, kawasan ini tetap menjadi tempat mencari makan, bertengger, hingga singgah bagi beberapa spesies burung migran yang melintas.

Namun tidak semua jenis burung dapat saya potret. Memotret satwa liar di alam terbuka Jakarta cukup sulit karena faktor aktivitas manusia yang tinggi, ruang gerak burung yang terbatas, serta waktu pemantauan yang harus jauh lebih panjang. Harapannya, keberadaan mereka tidak terus tergerus dan hilang ditelan kota metropolitan yang terus berkembang.

Melalui foto-foto ini, saya berharap dapat menunjukkan bahwa pesisir Jakarta bukan sekadar ruang sisa dari perkembangan kota. Ia adalah rumah bagi puluhan spesies burung, beberapa di antaranya langka dan membutuhkan perlindungan serius. Dari 60 spesies burung yang tercatat, hingga ratusan individu burung air seperti pecuk ular Asia, keberadaan mereka menjadi pengingat bahwa kehidupan alam di kota besar tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk diperhatikan, dipahami, dan dijaga.

Fotografer
Pradita Utama
Editor
Agung Pambudhy
Design
Dedi Arief Wibisono
***Komentar***
SHARE