Bekasi - Seorang pencari kerja difabel berjuang di tengah hiruk-pikuk bursa kerja. Ia menepis stigma dengan keteguhan hati dan semangat pantang menyerah.
Foto
Semangat Pantang Menyerah, Pencari Kerja Difabel Melawan Stigma

Harapannya sederhana: sebuah kesempatan. Namun, seperti yang berkali-kali ia alami sebelumnya, setiap pintu yang diketuk belum juga membawanya ke ruang kerja yang inklusif.
Raihan bukan sekadar lulusan SMK yang sedang mencari kerja. Ia adalah wajah dari ribuan penyandang disabilitas di Indonesia yang berjuang di tengah sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka.
Sejak kecil, hidup tak pernah mudah bagi Raihan. Saat berusia lima bulan, ia mengalami demam tinggi yang disusul kejang hebat. Akibatnya, fungsi motoriknya terganggu secara permanen. Sejak itu, rumah sakit menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Segala pengobatan medis dan alternatif pernah dicoba keluarganya, namun kondisinya tetap sama.
Namun, satu hal yang tak pernah berubah adalah keyakinan ibunya bahwa Raihan berhak mendapat pendidikan layak.
Ketika usianya cukup untuk masuk SD, ibunya gigih memperjuangkan agar Raihan bisa diterima di sekolah negeri. Setiap hari, sang ibu dan kakaknya bergantian menggendong Raihan ke kelas. Bullying dari teman sebaya kerap menghantui, tapi Raihan tak pernah berhenti belajar. Ia memilih menelan semua luka itu dalam diam, sambil terus melangkah.
Saat di bangku SMK, suasana sedikit lebih ramah. Ia diterima di SMKN 15 Kota Bekasi. Teman-temannya lebih suportif, bahkan bergiliran mengangkat kursi rodanya ke lantai tiga saat ada praktik di laboratorium. Sementara itu, sang ibu tetap setia berjualan es di depan sekolah. Bukan semata mencari nafkah, tapi agar selalu ada di dekat anaknya.
Setelah lulus, Raihan tak langsung putus harapan. Ia mencoba melanjutkan kuliah di sebuah universitas swasta, mengambil jurusan pendidikan agama. Impiannya mulia: menjadi guru ngaji, agar ilmu bisa ia bagi. Tapi ongkos kuliah yang mencapai Rp200 ribu per hari terlalu berat. Ayahnya bekerja sebagai ojek online, sementara ibunya hanya mengandalkan penghasilan kecil dari warung es.
Raihan pun beralih ke dunia kerja. Ia melamar ke berbagai perusahaan. Pernah ia dipanggil untuk tes kerja di bagian gudang sebuah perusahaan di Cikarang. Namun, saat datang dan pewawancara melihat kursi rodanya, ia langsung dipulangkan. Kesempatan lain datang saat melamar sebagai crew store, tapi pupus setelah ia gagal di tahap psikotes. Padahal, Raihan mengaku ia datang lebih awal, berpakaian rapi, dan belajar dengan sungguh-sungguh. βBukan saya tak mampu. Tapi seolah dunia ini memang belum menyediakan tempat untuk orang seperti saya,β ujarnya pelan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, per Februari 2025 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,28 juta jiwa. Di tengah persaingan yang ketat ini, posisi penyandang disabilitas makin terdesak. Banyak dari mereka yang akhirnya menyerah, bukan karena malas, tapi karena sistem belum memberi mereka ruang. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2020 telah mengatur bahwa setiap perusahaan wajib menyediakan kuota minimal 1% bagi tenaga kerja penyandang disabilitas. Tapi di lapangan, regulasi itu masih sebatas tulisan.
Fasilitas perusahaan belum ramah difabel. Proses rekrutmen pun sering kali diskriminatifβbaik secara terang-terangan maupun terselubung. Tak banyak pelatihan vokasional yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan aksesibilitas mereka.
Namun Raihan memilih tidak menyerah. Ia masih rutin mencari lowongan kerja dari gawai ibunya, di sela membantu menjaga warung es kecil di depan sekolah lamanya. Baginya, menyerah bukan pilihan. βKalau saya berhenti sekarang, itu artinya saya kalah. Saya masih percaya, satu hari nanti, ada pintu yang akan benar-benar terbuka,β ucapnya dengan senyum yang tak pudar.
Raihan mengajarkan kita bahwa perjuangan bukan hanya soal fisik. Ia adalah tentang harapan, keberanian, dan keinginan untuk terus hidup dengan bermartabat. Dari kursi roda yang mengantarnya ke booth-booth perusahaan, Raihan sedang menggerakkan sesuatu yang jauh lebih besar: kesadaran bahwa inklusi bukan belas kasihan, melainkan hak.