Jakarta - Nurhayati adalah salah satu dari puluhan pengumpul ceceran beras di Pasar Induk Beras Cipinang sejak 1988. Perjuangannya semata-mata hanya untuk bertahan hidup.
Foto
Asa Nenek Nur Si Pemungut Ceceran Beras

Nenek yang genap berusia 70 tahun ini tetap semangat bekerja meski telah renta di usia senja. Semangat mencari nafkah itu guna membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari dan membayar uang kontrakan.
Ia memulai kerja mengumpulkan sisa-sisa beras di Pasar Induk Beras Cipinang itu sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB.
Di tengah terik matahari yang menyengat, dengan gigih Nenek Nurhayati menyapu beras-beras yang sudah bercampur dengan debu.
Nenek Nurhayati yang telah memiliki 7 cucu ini, menggantungkan hidupnya dari butir-butir beras para juragan yang jatuh ke tanah.
Belum lama beristirahat dan menyeka keringat, ia harus kembali bekerja ketika truk-truk besar pengangkut beras dari berbagai daerah di Jawa kembali datang.
Di tengah persaingan para pengumpul beras yang ketat, kondisi Nenek Nurhayati yang makin melemah akibat usia, membuatnya kini hanya bisa mengumpulkan beras secukupnya.
Ia mengaku sudah tiga puluh empat tahun mencari uang dengan memunguti beras yang tercecer di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur.
Ia juga kini mengontrak di pemukiman padat di kawasan Cipinang Utara, Jakarta Timur yang tidak jauh dari Pasar Induk Beras.
Beginilah kondisi nenek Nur usai pulang kerja mengumpulkan ceceran beras di pasar. Ia masih harus kembali beraktifitas di kontrakannya.
Sebelum Pandemi Covid-19, Ia bisa mendapat sisa-sisa beras 10-13 liter dalam sehari. Kini akibat sepi, ia hanya bisa mendapat 2-4 liter beras saja. Beras yang terkumpul nantinya akan Ia jual kembali. Seginilah uang yang ia dapat.
Usia Nurhayati kini genap 70 tahun harus bertahan hidup di tengah kerasnya Ibu Kota. Ia yang kini hidup sendirian harus terus bertahan setelah ditinggal suaminya meninggal dunia pada tahun 2010 lantaran sakit.
Sapu lidi dan lempengan besi sudah siap di tangannya. Beras yang kotor itu lalu ia bersihkan, dipisahkan dari kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik. Biasanya, setelah beras terkumpul, ada orang yang datang ke pasar itu untuk membeli beras yang dikumpulkannya itu.
Dari sisa-sisa beras yang terbuang itulah Nurhayati mendapatkan energi untuk bisa melanjutkan hidup.
Sesampaianya di kontrakan, ia tak lantas istirahat. Kadang sambil membersihkan kumpulan beras-beras itu ia manfaatkan juga untuk sambil beristirahat.
Beginilah sepenggal kisah nenek Nur yang di usia senja masih harus terus bergelut dengan waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penghasilan Nurhayati sebagai pengumpul beras memang tak menentu. Yang terpenting baginya, ia bisa menabung sedikit untuk membayar biaya rumah kontrakan. Sisa uangnya, ia gunakan untuk membeli kebutuhan hidupnya sehari-hari.