Jakarta - Keterbatasan fisik tidak membuat mereka patah semangat dalam berusaha hanya dengan berbicara dengan mata hati mereka mampu mandiri.
Foto
Ketika Mereka Berbicara dengan Mata Hati

Beberapa waktu lalu tak jauh dari Lapangan Udara Pondok Cabe, Ahmad Hilmy (22) membuka kedai kopi 'Mata Hati Koffie'.
Penyandang tuna netra sejak 12 tahun itu menjadi barista, meracik sajian kopi, melayani pembeli dine in maupun online.
Ahmad Hilmy dibantu oleh rekan sejawat yang juga tuna netra. Status kebutaan bervariasi dari buta sebagian hingga nyaris buta total.
Uniknya, hasil racikan para barista itu sangat terkontrol dengan cita rasa relatif sama.
Salah satu alasannya karena Ia mempunyai kebiasaan menghafal aroma, tekstur, takaran dan waktu sehingga hasil racikan kopi lebih disiplin dan terjaga.
Seiring dengan itu, di era ekonomi kreatif yang makin meledak, menawarkan era baru bagi para penyandang difabel. Seperti yang terlihat di terowongan Kendal, ada ruang 'Difabis Coffee & Tea'.
Penyandang difabel tuna wicara dan tuna rungu diberi ruang 'Difabis Coffee & Tea' di terowongan Kendal, Jakarta Pusat.
Mereka tidak canggung walau keterbatasan yang mereka miliki, kios ini terbukti masih beratahan.
Dukungan masyarakat dan pemerintah terbuktiΒ mendukung semangat para penyandang difabel untuk bisa hidup biasa-biasa saja, tidak minder dan jauh dari bullying.
Mereka bebas berkreasi apa saja, membuat apapun yang mereka bisa tanpa harus terbentur tembok sosial layaknya pekerjaan di sektor formal.Β Terdapat lapak pedagang yang didesain untuk difabel berjualan, di antara ramainya kaum urban seliweran di kawasan itu.
Di kawasan Bintaro juga terdapat sebuah cafe yang memperkerjakan 5 penyandang tuna rungu mereka dibantu Erin (18), satu dari 4 barista yang bukan penyandang difabel.
Di kedai kopi Serona Coffee Bintaro, di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Viena bersama Roy (20) yang juga penyandang tuna rungu piawai meracik sajian layaknya barista pada umumnya.
Tak canggung meski mereka penyandang tuna rungu. Deretan racikan kopi mereka tunjukkan ke calon pembeli dengan bahasa isyarat dan bantuan kertas petunjuk.
Viena, Roy dan teman-temannya merupakan contoh kecil bagaimana kaum difabel bisa bekerja pada umumnya orang kebanyakan.
Akses dan kesempatan ekonomi yang membuat mereka berdaya dan tidak menyerah pada garis hidup.
Sajian kopi hasil racikan mereka tidak kalah nikmat.
Keberhasilan para difabel ke luar dari 'jebakan nasib' tersebut dipengaruhi beberapa faktor. Faktor pertama dari individu penyandang difabel, kedua mempunyai lingkungan yang mendukung untuk bertahan, ketiga merupakan faktor eksternal yang mendukung keberhasilan difabel dalam pemberdayaan ekonomi.
Suasana kedai kopi Serona terlihat nyaman. Viena, Roy, Hilmy dan para penyandang difabel bisa dikatakan cerminan dari diri kita. Bahwa menyerah pada masa sulit maupun menyalahkan takdir adalah pilihan yang buruk.