Yunani - Anak-anak di kamp pengungsian terpaksa bertanggung jawab sejak dini. Demi masa depan yang lebih baik anak-anak ini mendirikan sekolahnya sendiri.
Foto
Mimpi Indah Anak Pengungsi Moria Untuk Hidup Lebih Baik

Hidup di Moria adalah sebuah tantangan, sebuah bukti ketangguhan para pengungsi. Di Moria, keluarga pengungsi tinggal di tenda dan harus mengantri untuk mendapatkan toilet dan kamar mandi. Β
Akses ke air minum adalah tantangan abadi di kamp pengungsian. Warga harus berjalan kaki lebih dari satu kilometer ke kota terdekat untuk mendapatkan air. Β
Anak-anak di kamp pengungsian terpaksa harus tumbuh dengan cepat. Mereka bertanggung jawab sejak dini seperti harus menunggu di antrean pengumpulan makanan, mengumpulkan botol kosong dari tumpukan sampah, dan menukar botol kosong dengan botol air baru untuk dibawa kembali ke tenda keluarga mereka. Β
Tantangan mereka bertambah ketika COVID-19 mencapai Moria. Berbagai organisasi bantuan harus mengurangi operasi mereka karena pihak berwenang sangat membatasi pergerakan orang masuk dan keluar dari kamp pengungsian. Β
Minimnya bantuan kesehatan dan sanitasi membuat para pengungsi membuat tempat cuci tangan sendiri untuk menurunkan risiko tertular virus. Β
Sekolah pun ditutup sementara dan tidak ada akses ke sistem pembelajaran online, sehingga anak-anak Moria dibiarkan tanpa kemampuan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Β
Hal itulah yang membuat Manija (13) dan Atefe (11), anak migran dari Afghanistan, yang memiliki semangat belajar tinggi akhirnya mendirikan "Sekolah Bintang" mereka sendiri. Β
Sekolah ini awalnya dimulai sebagai permainan peran hanya antara Manija dan Atefe. Namun para orang tua di pengungsian sangat menginginkan anak-anak mereka juga ikut belajar. Β
Akhirnya sekolah ini dibuka untuk anak-anak pengungsi lainnya dengan Manija dan Atefe sendiri sebagai pengajar. Dua anak ini mengajar bahasa Inggris dan Persia kepada lebih dari 20 anak. Β
Selain mengajarkan abjad dan kosa kata bahasa Inggris dan Persia, mereka juga mengajarkan keterampilan penting lainnya seperti cara mengolah air di kamp, cara mencuci tangan, dan cara membersihkan tenda keluarga mereka dengan sumber daya terbatas yang tersedia. Β
Sekolah ini juga dalam banyak hal menjadi tempat dukungan psikososial dan memberikan rasa memiliki. Manija dan Atefe secara intuitif memahami kebutuhan emosional siswa mereka. Kedua anak ini berbicara dengan para siswanya tentang kebahagiaan dan kesejahteraan. Β
Manija mengatakan mengajar adalah passionnya dan ia ingin bisa berguna bagi masyarakat. Dalam waktu yang tidak pasti, Sekolah Bintang membawa kebanggaan dan kegembiraan, serta memberi dua guru muda ini tujuan: Keduanya ingin menjadi guru profesional suatu hari nanti. Β
Namun pada 8 September 2020, sekolah menghadapi tantangan besar pertamanya. Malam itu, kebakaran besar melanda kamp, menghancurkan fasilitas, menghancurkan struktur akomodasi informal di sekitar kamp, dan menggusur ribuan penduduk. Β
Keluarga-keluarga yang tadinya berjuang untuk membuat tempat berteduh kini harus tidur di luar, hanya dengan pepohonan untuk berlindung. Sebagian besar dari mereka pergi tanpa makanan atau pakaian ekstra. Banyak yang kehilangan tempat tinggal selama berminggu-minggu saat mereka menunggu untuk pindah ke kamp baru. Β
Pihak berwenang memperluas kamp lain, Kara Tepe, untuk menampung mereka yang mengungsi dari Moria. Namun, kamp tersebut kekurangan banyak fasilitas, termasuk toilet dan kamar mandi. Pada malam hari, anak-anak harus memakai popok untuk menghindari masalah keamanan di luar tenda mereka. Β
Ribuan pengungsi memprotes kondisi yang mereka alami di hari-hari pasca kebakaran, Manija di antaranya. Β
Beberapa minggu setelah kebakaran, Manija kembali ke Moria untuk melihat kerusakan tenda Sekolah Bintangnya. Gadis muda itu mencari perlengkapan sekolah yang mungkin selamat dari kobaran api. Dia bertekad untuk melanjutkan School of Stars. Api tidak akan menghalangi tujuannya. Β
Di bawah penguncian COVID-19, tidak ada kegiatan terorganisir untuk anak-anak di kamp Kara Tepe. Tanpa gentar, Manija dan Atefe membuka Sekolah Bintang mereka di kamp baru. Β
Sekolah Bintang diteruskan tanpa ada ruangan, mereka mengajar pelajaran di luar dan harus membatalkannya jika cuaca memburuk. Β
Kebakaran di Moria tidak hanya merusak fasilitas penampungan, namun juga membuat banyak anak kehilangan teman-teman bereka. Hal itu mengikis optimisme mereka akan kehidupan yang lebih baik. Namun Manija dan Atefe masih terus mendamba. Mereka terus bermimpi setelah semua ini, hidup akan baik untuk mereka. Β