Jakarta - Sejumlah aktivis menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (14/7/2020), usai DPR menyingkirkan RUU PKS dari Prolegnas 2020.
Foto
Meski Sulit, Aktivis Tetap Upayakan RUU PKS ke DPR

Sejumlah aktivis menggelar demo di depan gedung DPR RI, Jakarta.
Aksi unjuk rasa tersebut digelar usai DPR resmi menyingkirkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dalam rapat kerja, Kamis (2/7) lalu.
Padahal ditinjau dari perspektif legislasi, RUU PKS memenuhi sebuah RUU yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Perkembangan kasus kekerasan seksual jumlahnya terus bertambah dan berkembang. Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komnas Perempuan menyebutkan, dalam kurun waktu 12 tahun kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat sebanyak 792%. Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Tercatat ada 431,471 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang Januari hingga Juni 2020 terdata 392 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak baik perempuan dan laki-laki.
RUU PKS dibutuhkan sebagai aturan spesifik dalam menangani kasus kekerasan seksual. Urgensi RUU ini karena selama ini persepsi kebanyakan orang tentang kekerasan seksual timpang. Hal mana merambah pada perlakukan diskriminasi dalam pergaulan di masyarakat dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dalam ranah hukum sendiri.
Dalam banyak kasus kekerasan seksual, masyarakat dan aparat yang memproses cenderung menyalahkan korban (victim blaming). Korban dianggap biang kerok dari kejadian naas yang menimpanya. Cara berpikir ini sungguh sangat tidak beradab. Tubuh adalah ranah privasi seseorang yang tidak semestinya diinjak-injak oleh siapapun.
Namun, kerapkali penanganan kasus kekerasan seksual berakhir damai dan tidak ada efek jera sehingga membentuk simpul pengulangan kasus. Begitu memilukan ketika mengetahui bahwa antara korban dan pelakunya kebanyakan masih mempunyai relasi kekeluargaan dekat. Seharusnya orang terdekat menjadi keluarga yang lebih bertanggung jawab untuk menjaga dan memberi rasa aman dan nyaman untuk korban.
Sejak pertama kali masuk Prolegnas Prioritas 2016 hingga dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020, RUU PKS patut diduga tidak mendapatkan perhatian yang serius. Logika sederhananya, RUU yang masuk kategori Prolegnas Prioritas disegerakan pembahasan dan pengesahannya, tapi praksis empat tahun berlalu tarik menarik kepentingan yang tidak substansial menyandera pengesahan RUU ini.
Selama ini, pelbagai kelompok masyarakat telah mendorong agar DPR dan pemerintah sebagai representasi dari negara dalam ranah legislasi segera mengesahkan RUU PKS, tapi belum kunjung dilaksanakan. Dalam perspektif ini, DPR dan pemerintah telah melakukan pengabaian terhadap aspirasi masyarakat. UU mengatakan bahwa RUU dalam Prolegnas disusun berdasarkan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Sekali lagi, RUU PKS harus disahkan demi kita perlindungan dan keberlangsungan hidup yang aman, damai dan sejahtera untuk kita semua.