Pengadilan di Seoul pekan lalu memulai sidang bagi 46 warga Korea Selatan, sebagian besar pria berusia 20-an, yang dituduh terlibat dalam operasi penipuan daring di Kamboja.
Sejak pertengahan Oktober, Korea Selatan telah memulangkan 107 warganya dari Kamboja, di mana pejabat setempat memperkirakan lebih dari 1.000 warga Korea bekerja di pusat penipuan, baik "secara sukarela maupun terpaksa."
Upaya pemulangan ini dilakukan setelah kemarahan publik atas kematian seorang mahasiswa Korea Selatan yang dilaporkan dipancing ke Kamboja dan dipaksa bekerja di pusat penipuan. Tubuh pria berusia 22 tahun itu ditemukan dengan luka yang diduga diakibatkan penyiksaan, menunjukkan kemungkinan ia dipukuli sampai merenggang nyawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Autopsi menyatakan bahwa ia "meninggal dunia akibat penyiksaan parah, dengan memar dan luka di sekujur tubuh," menurut pernyataan pengadilan Kamboja.
Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, mengatakan: "Tanggung jawab terbesar pemerintah adalah menjaga nyawa dan keselamatan warga kami. Kita harus melindungi korban dan segera memulangkan mereka yang terlibat dalam insiden ini kembali ke Korea Selatan."
Korea Selatan baru-baru ini bergabung dengan AS, Inggris, dan Singapura dalam memberlakukan sanksi terhadap Prince Holding Group di Kamboja, jaringan multinasional yang pendirinya dituduh menjalankan operasi penipuan berskala besar di seluruh Asia Tenggara β tuduhan yang dibantah perusahaan tersebut.
Brian Hanley, direktur Asia-Pasifik Global Anti-Scam Alliance (GASA), sebuah organisasi nirlaba global yang memerangi penipuan daring, mengatakan: "Yang kami lihat belakangan ini, seperti di Korea Selatan, adalah dorongan untuk melacak aliran uang, memberlakukan sanksi, dan membekukan aset. Kami pikir langkah ini mulai memberi dampak."
Miliar dolar hilang akibat jaringan penipuan Asia Tenggara
Asia Tenggara telah menjadi pusat besar operasi penipuan digital. PBB memperkirakan pada tahun 2023 lebih dari 200.000 orang telah diperjualbelikan ke negara-negara seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja dengan dalih tawaran pekerjaan yang menggiurkan. Di sana, mereka bekerja di pusat-pusat penipuan masif yang menjadi bagian dari industri penipuan daring bernilai miliaran dolar.
Operasi penipuan besar ini terkonsentrasi di zona konflik terpencil di Asia Tenggara, khususnya di sepanjang perbatasan Thailand dengan Kamboja dan Myanmar.
Bentrok terbaru antara pasukan Thailand dan Kamboja mencakup serangan terhadap kompleks penipuan yang dicurigai di Kamboja. Di Myanmar, pusat-pusat semacam ini semakin banyak dan dilaporkan membiayai kedua pihak dalam perang saudara yang berlangsung di negara itu.
Para pekerja di pusat penipuan biasanya adalah warga negara Asia yang sering menjadi korban perdagangan manusia. Korban penipuan ini umumnya ditargetkan orang-orang di negara Barat berbahasa Inggris.
Hanley menekankan: "Kita sedang berbicara tentang perdagangan manusia dan perbudakan, jadi jelas ini masalah hak asasi manusia yang besar. Tetapi ini juga masalah keamanan nasional, bukan hanya untuk wilayah tersebut, tapi untuk seluruh dunia."
Dalam laporan State of the Scams 2025, GASA memperkirakan kerugian akibat penipuan daring di seluruh dunia mencapai $442 miliar (β¬375,4 miliar) dalam 12 bulan hingga Oktober 2025. Angka ini bisa lebih tinggi karena banyak korban tidak melaporkan kerugian mereka.
GASA juga menemukan bahwa 57% orang dewasa di dunia mengalami pengalaman penipuan dalam 12 bulan terakhir.
Contoh penipuan termasuk belanja daring, investasi palsu, dan penipuan asmara, yang oleh para penipu disebut "pig butchering" β istilah untuk "menggemukkan" korban dengan mendapatkan kepercayaan mereka, sering melalui hubungan romantis palsu. Setelah kepercayaan terjalin, korban diyakinkan mentransfer dana ke platform investasi kripto palsu, yang kemudian dicuci melalui rekening-rekening di seluruh Asia, membuat pemulihan dana sangat sulit.
Mengapa AS menjadi target utama jaringan penipuan?
Biro Investigasi AS, FBI memperkirakan industri penipuan di Asia Tenggara merugikan warga Amerika $9β10 miliar per tahun.
Laporan GASA menyebut bahwa $64,8 miliar dicuri dari warga AS dalam setahun hingga Oktober 2025, dengan rata-rata korban kehilangan $1.087. Saat ini, rata-rata warga Amerika menghadapi upaya penipuan setiap hari.
Menanggapi meningkatnya penipuan daring, otoritas AS membentuk Scam Center Strike Force pada November, sebuah gugus tugas antarlembaga untuk menyelidiki, membongkar, dan menuntut pusat-pusat penipuan serta pihak yang membiayainya.
Jaksa AS, Jeanine Pirro mengatakan: "Kantor saya tidak akan tinggal diam saat perusahaan kriminal terorganisasi asal Cina mengosongkan rekening bank warga Amerika yang bekerja keras."
AS bekerja sama dengan Inggris pada 2025 untuk memberikan sanksi kepada individu dan entitas yang mengoperasikan pusat penipuan ilegal di Asia Tenggara. Australia dan Singapura juga melangkah dengan legislasi untuk melindungi warga mereka dari penipuan dan bekerja sama dengan AS dalam penegakan hukum serta sanksi.
Jacob Sims, visiting fellow di Asia Center Harvard University yang memantau kejahatan transnasional di Kamboja dan Asia Tenggara, menyebut isu penipuan telah mendapat perhatian politik signifikan di AS selama setahun terakhir. "Setahun lalu hanya ada satu sanksi, dan kini banyak nama dan entitas besar telah disanksi, serta ada selusin RUU di Kongres AS," ungkapnya.
Namun, langkah-langkah ini juga terhambat oleh pemotongan program USAID di Asia Tenggara yang memantau perdagangan manusia di perbatasan Thailand-Myanmar dan Kamboja.
Sims menambahkan: "Respons sejauh ini, meski ada momentum, belum merupakan respons strategis yang sesungguhnya dan belum cukup untuk mengganggu operasi secara signifikan."
Peran Cina dalam pusat penipuan
Banyak pusat penipuan besar di Asia Tenggara dikabarkan dijalankan oleh jaringan kriminal asal Cina. Cina telah menutup pusat penipuan di Kamboja dan Myanmar β tetapi hanya yang menargetkan warganya sendiri.
Laporan ke Kongres AS pada Juli menyebut sedikit keterkaitan antara jaringan kriminal ini dengan pemerintah atau Partai Komunis Cina, namun tindakan mereka sering memperburuk konflik regional melalui korupsi dan kejahatan.
Meskipun ada sanksi dan penyelidikan kriminal baru-baru ini, negara-negara seperti Korea Selatan dan AS tampak enggan mengkritik pemerintah Cina atau Kamboja, dan lebih fokus menargetkan penjahat serta jaringan mereka secara langsung.
Menurut Sims, selama Phnom Penh cukup bekerja sama untuk memberi kesan strategis "masih dalam permainan," ibu kota Barat cenderung bersedia mentolerir penipuan berskala industri yang menargetkan warganya sendiri.
"Banyak pemerintah ragu menghadapi Kamboja secara langsung karena masih melihatnya sebagai bidak penting dalam permainan geopolitik Cina versus Barat," ujarnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Rizki Nugraha











































