Seberapa Solid Aliansi Nuklir Iran dan Rusia?

Seberapa Solid Aliansi Nuklir Iran dan Rusia?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 10 Des 2025 13:59 WIB
Seberapa Solid Aliansi Nuklir Iran dan Rusia?
Jakarta -

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada 20 November mengeluarkan resolusi yang mendesak Iran untuk bekerja sama secara "penuh dan segera". Salah satu fokus utama IAEA adalah kejelasan nasib sekitar 400 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60 persen, yang hingga kini masih dirahasiakan.

Sejak perang dua belas hari antara Israel/Amerika Serikat dan Iran pada Juni lalu, Teheran menutup akses bagi para inspektur IAEA ke semua fasilitas yang jadi sasaran serangan udara. Ketegangan pun berlarut.

Di tengah kebuntuan tersebut, Moskow justru memperluas kerja sama nuklir dengan Teheran. "Kerja sama kami telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Duta Besar Rusia untuk Iran, Alexei Dedow, pertengahan November lalu. Kepada kantor berita Iran, ISNA, Dedow menegaskan bahwa Rusia akan terus mendukung Iran dalam mencari solusi atas persoalan program nuklirnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kerja sama antara kedua negara sudah direalisasikan sejak akhir September. Moskow dan Teheran menandatangani nota kesepahaman untuk pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir. Badan energi atom Rusia, Rosatom, juga mengikat kontrak senilai 25 miliar dolar Amerika dengan perusahaan Iran, Iran Hormoz, untuk membangun empat pembangkit nuklir baru di Iran.

"Rusia adalah mitra internasional terpenting bagi program nuklir Iran," kata pakar Timur Tengah David Jalilvand kepada DW. Jalilvand memimpin Orient Matters, konsultan riset di Berlin yang menyoroti persimpangan geopolitik, ekonomi, dan energi di Iran serta Timur Tengah. Namun dia menambahkan, "untuk pengembangan lebih lanjut program nuklir Iran, Moskow sejauh ini lebih banyak berjanji ketimbang mewujudkan."

ADVERTISEMENT

Dia mengingatkan, sejak 2016 pembangunan reaktor kedua di Bushehr diumumkan, hingga kini proyeknya tak kunjung terealisasi. Dia pun meragukan realisasi cepat nota kesepahaman terbaru. "Rusia nyaris tak punya kepentingan memperkuat posisi strategis Iran di Timur Tengah, terutama karena relasinya dengan Israel, negara-negara Teluk, dan Turki."

Minimnya sokongan Rusia

Dalam perang dua belas hari terakhir, Iran nyaris tak mendapat sokongan berarti dari Moskow. Padahal, awal tahun ini kedua negara telah meneken perjanjian kemitraan strategis yang mencakup kerja sama militer dan ekonomi selama dua dekade.

Iran sebelumnya memasok drone dan senjata untuk perang Rusia melawan Ukraina. Langkah ini menjadikan Iran sebagai salah satu pendukung utama inveasi Rusia, sekaligus merusak hubungannya dengan Eropa. Sebagai imbalan, Teheran memesan pesawat tempur Sukhoi Su-35 guna memodernisasi angkatan udaranya. Namun hingga pecah konflik dengan Israel, pesawat-pesawat itu belum juga dikirim. Perang tersebut justru menyingkap rapuhnya pertahanan udara Iran.

"Perjanjian strategis dengan Rusia terbukti cuma sandiwara," ujar Mohammad Sadr, anggota Dewan Penjaga Kepentingan Sistem, dalam pernyataan berbahasa Persia. Menurutnya, Rusia tidak bisa dipercaya. "Mengira Moskow akan membela kita atau berhadapan dengan Amerika Serikat adalah absurditas." Sadr bahkan menuding Rusia membocorkan informasi tentang pusat-pusat pertahanan Iran kepada Israel.

Pandangan serupa mengemuka di masyarakat Iran. Seorang profesor universitas di Teheran mengatakan kepada DW, "Orang-orang tahu Rusia akan meninggalkan Iran di saat-saat krusial. Banyak yang percaya pemerintah hanya berpaut pada Moskow demi mempertahankan kekuasaan, bukan demi kepentingan rakyat."

Kalkulasi politik di balik kemitraan

Meski mendapat pengalaman pahit, kalangan konservatif di Iran justru mendorong agar kerja sama dengan Rusia diperdalam. "Pengaruh Rusia di kantung-kantung kekuasaan Iran tak terbantahkan," kata Afshar Soleimani, mantan Duta Besar Iran untuk Azerbaijan.

Menurutnya, faksi konservatif giat mendukung Rusia, mendorong ekspor drone ke Moskow, serta menghembuskan ketegangan dengan Amerika Serikat. "Selama arus politik ini berkuasa, tak banyak yang akan berubahβ€”dan rakyatlah yang menanggung dampaknya."

Kamran Ghazanfari, anggota konservatif Komisi Dalam Negeri parlemen Iran, bahkan mengklaim mantan Presiden Rusia Dmitri Medvedev pernah menyatakan kesiapan Moskow untuk memasok senjata nuklir kepada Iran. Klaim ini diragukan para ahli.

"Itu sangat tidak mungkin," ujar Jalilvand. "Rusia tidak berkepentingan menambah jumlah negara pemilik senjata nuklir di Timur Tengah yang sudah rapuh." Ia menilai Moskow mungkin saja memasok teknologi yang secara teori bisa dimanfaatkan untuk program militer. Namun dukungan langsung untuk pembuatan bom atom nyaris mustahil.

Bagi Rusia, "kartu Iran" lebih sering dipakai sebagai alat tawar dalam negosiasi dengan Amerika Serikat. Meski Iran mengklaim telah menghentikan sementara pengayaan uranium, belum jelas apakah Moskow mampuβ€”atau mauβ€”mendorong Teheran mengurangi cadangan uraniumnya.

"Rusia berkali-kali memosisikan diri sebagai mediator," kata Jalilvand. "Namun itu bukan karena ingin menyelesaikan konflik nuklir. Di tengah perang Ukraina, Moskow lebih ingin tampil sebagai mitra 'konstruktif' di mata Washington, sambil sekaligus menebar jarak antara Amerika Serikat dan Eropa."

Kontributor: Danyal Babayani

Diadaptasi dari bahasa Jerman oleh Rizki Nugraha

Editor: Yuniman Farid

Simak juga Video Khamenei soal Trump Klaim Hancurkan Nuklir Iran: Teruslah Bermimpi!


(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads