Mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meredam lonjakan biaya hidup adalah agenda utama Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi sejak dilantik pada Oktober lalu. Misinya tidak mudah, akibat tekanan inflasi yang terus membandel.
Takaichi, 64 tahun, berupaya menghindari nasib pendahulunya, Shigeru Ishiba, yang hanya bertahan sekitar satu tahun sebelum tersingkir akibat kekecewaan publik, terutama karena inflasi yang tak kunjung terkendali.
Sebagai pengagum mendiang Perdana Menteri Shinzo Abe, Takaichi bertekad melanjutkan warisan Abenomics. Doktrin tersebut mendiktekan serangkaian kebijakan yang mengandalkan pelonggaran moneter secara agresif, stimulus fiskal, dan reformasi struktural. Langkah ini diyakini ampuh untuk menarik Jepang keluar dari spiral deflasi berkepanjangan yang ditandai penurunan harga dan lemahnya belanja konsumen.
Namun, ekonomi Jepang — terbesar keempat di dunia — justru menyusut pada kuartal ketiga. Hal ini menambah tekanan politik dan ekonomi terhadap pemerintahan baru di Tokyo.
Sebagai respons, Takaichi bulan lalu meluncurkan paket belanja besar-besaran untuk mendongkrak pertumbuhan dan menopang daya beli rumah tangga. Paket senilai US$ 135 miliar itu mencakup bantuan tunai bagi orang tua serta subsidi energi.
Dapatkah stimulus mendongkrak pertumbuhan?
Werner Pasha, pakar Jepang dan profesor di Institute of East Asian Studies, Universitas Duisburg-Essen, meragukan bahwa dana stimulus akan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi secara berarti.
"Pertama, tambahan permintaan akan meningkatkan tekanan inflasi, mungkin sudah terasa dalam jangka pendek, dan pasti dalam jangka menengah," ujarnya kepada DW. "Kedua, patut dipertanyakan apakah pemerintah benar-benar mampu meningkatkan belanja efektif secepat yang diinginkan. Di masa lalu, hal itu tidak terjadi."
Pandangan serupa disampaikan Margerita Estevez-Abe, pakar Jepang dari Maxwell School, Universitas Syracuse. Menurutnya, sebagian besar pos anggaran pemerintahan Takaichi tidak akan banyak membantu pertumbuhan.
Kepada DW, Estevez-Abe mengatakan Takaichi menjanjikan investasi di beragam sektor strategis—mulai dari kecerdasan buatan, semikonduktor, bioteknologi, hingga antariksa dan pelayaran. "Namun niat ini lebih terlihat seperti daftar harapan ketimbang rencana strategis yang matang," ujarnya.
Dia menilai belanja tambahan justru "obat yang keliru" bagi masalah Jepang, yang bersumber dari tantangan struktural: populasi menua dan menyusut, kurangnya investasi pendidikan publik, serta alokasi modal ke sektor-sektor yang tidak efisien.
"Saya tidak melihat anggaran Takaichi, maupun pernyataannya sejauh ini, menyentuh akar persoalan tersebut," katanya.
Keuangan publik dalam kondisi rapuh
Di sisi lain, rencana belanja ekspansif berisiko semakin membebani kas negara. Jepang saat ini pun sudah memegang rekor sebagai negara industri dengan beban utang tertinggi—sekitar 250 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Meski demikian, Jepang sejauh ini terhindar dari krisis pembiayaan, terutama karena struktur utangnya. Seluruh obligasi pemerintah diterbitkan dalam mata uang yen, dan lebih dari 90 persen dipegang institusi domestik — lebih dari setengahnya oleh bank sentral.
Walau pemerintah sarat utang, perekonomian Jepang secara keseluruhan tergolong "kaya," kata Franz Waldenberger, Direktur German Institute for Japanese Studies. Jepang memiliki rasio aset luar negeri bersih terhadap PDB yang "termasuk tertinggi di dunia."
"Saya menyebutnya negara kaya, pemerintah miskin," ujarnya.
Imbal hasil naik, inflasi membandel
Namun ekonomi yang lesu dan gelontoran stimulus terbaru mulai mendorong naik beban utang. Tingkat kupon obligasi pemerintah Jepang juga terus naik dalam beberapa bulan terakhir.
Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun — tingkat pengembalian total tahunan bagi investor—melonjak menjadi 1,92 persen, tertinggi dalam hampir dua dekade.
"Pasar obligasi Jepang sedang berada di tepi luka yang diciptakannya sendiri," kata Alicia Garcia-Herrero, kepala ekonom Asia-Pasifik di bank investasi Prancis Natixis. Dia menyebut belanja agresif Tokyo sebagai "perjudian menggandakan taruhan pada kartu yang sudah kalah."
Inflasi sendiri tetap bertahan di atas target bank sentral sebesar 2 persen. Sebagai negara yang miskin sumber daya, Jepang sangat bergantung pada impor pangan, energi, dan bahan mentah. Yen yang lemah memperparah tekanan harga karena impor menjadi lebih mahal.
"Inflasi hanya akan turun jika yen menguat. Tapi itu memerlukan kenaikan suku bunga, yang justru akan memperberat kemampuan pemerintah untuk berutang," kata Estevez-Abe. Ia menyebut rencana Takaichi sebagai situasi Catch-22—serba salah.
Bank Sentral Jepang terakhir menaikkan suku bunga dari 0,25 persen menjadi 0,5 persen pada Januari, lalu menahannya hingga kini. Spekulasi pun menguat bahwa kenaikan lanjutan akan dibahas dalam rapat 18–19 Desember mendatang.
Kekhawatiran pembalikan carry trade
Kombinasi suku bunga yang lebih tinggi dan imbal hasil obligasi yang meningkat memicu kekhawatiran di pasar keuangan global terkait potensi pembalikan praktik carry trade mata uang yen.
Selama puluhan tahun, investor global memanfaatkan pinjaman murah dalam yen untuk membeli aset berimbal hasil lebih tinggi di luar negeri, seperti saham AS dan obligasi Treasury. Skema ini bergantung pada suku bunga rendah dan yen yang lemah.
Jika suku bunga Jepang naik dan yen menguat, carry trade berpotensi berbalik arah — memicu gejolak pasar dan menekan valuasi aset berisiko, termasuk saham teknologi dan kripto.
"Kondisi ini menyulut ketakutan akan runtuhnya yen carry trade, skema global senilai US$ 20 triliun," kata Garcia-Herrero, menyebutnya sebagai mesin gelembung aset dari Wall Street hingga pasar berkembang.
Meski kecil kemungkinan berujung krisis finansial besar seperti 2008/2009, dampaknya tetap bisa signifikan: penurunan saham 5–12 persen dan lonjakan imbal hasil obligasi hingga 20–40 basis poin.
Pasha menyebut yen carry trade sebagai fenomena makroekonomi yang "aneh," yang berkontribusi pada euforia bitcoin dan valuasi ekstrem saham teknologi dan AI.
Dari sudut pandang itu, ia menilai berkurangnya praktik ini justru patut disambut. Namun ia mengingatkan, "pasar bisa menjadi tidak stabil dan lepas kendali jika arus keuangan berubah terlalu drastis."
Meski begitu, dia menegaskan, gejolak finansial semata masih akan lebih ringan dampaknya dibanding guncangan dunia nyata—seperti perang dagang AS–Cina yang memburuk atau pandemi baru.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Farid
Tonton juga video "Menkeu Purbaya Ungkap Prabowo Setuju Rp 200 T Diguyur ke Bank"
(ita/ita)