Uni Eropa pada Senin (8/12) menyetujui perubahan besar terhadap sistem migrasinya, setelah bertahun-tahun menjadi perdebatan politik.
Para menteri dalam negeri sepakat menerapkan aturan baru terkait deportasi, proses suaka, dan pembagian beban finansial antarnegara anggota.
Poin utama reformasi migrasi UE:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- Deportasi lebih cepat dan penahanan migran diperketat
- Penetapan daftar "negara ketiga yang aman" dan "negara asal yang aman"
- Pembentukan dana kontribusi bersama sebesar β¬430 juta (sekitar Rp 8,35 triliun)
- Rencana tambahan relokasi 21.000 orang migran
- Tiga opsi pembagian beban: relokasi, pendanaan, atau langkah alternatif
- Siprus, Yunani, Italia, dan Spanyol masuk daftar negara yang menerima tekanan migrasi terbesar
Para menteri mengatakan perubahan ini memungkinkan penolakan permohonan suaka dengan lebih cepat bagi mereka yang tidak memenuhi syarat.
Menteri Imigrasi Denmark, Rasmus Stoklund, menegaskan, "Kami akan bisa menolak mereka yang tidak punya alasan untuk mencari suaka di Eropa dan memulangkan mereka lebih cepat. Akses ke Eropa tidak boleh dikendalikan oleh penyelundup manusia."
Komisioner Migrasi UE, Magnus Brunner, menambahkan bahwa reformasi ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik.
"Kita perlu meyakinkan masyarakat bahwa kita kembali mengendalikan apa yang terjadi," ujarnya.
Namun, kelompok hak asasi manusia mengecam keras langkah tersebut. Olivia Sundberg Diez dari Amnesty International membandingkan kebijakan itu dengan pengetatan migrasi era pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat (AS).
Ia menyerukan anggota parlemen untuk menolak langkah tersebut, memperingatkan bahwa kebijakan baru itu "akan menimbulkan dampak serius bagi para migran dan komunitas yang menerima mereka."
Anggota parlemen Partai Hijau Prancis, Melissa Camara, juga menilai reformasi ini sebagai "pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar dan hak asasi manusia."
Reformasi suaka picu gesekan politik baru
Reformasi ini merupakan bagian dari Pakta Migrasi dan Suaka dari UE yang baru, yang mencakup perluasan mekanisme deportasi serta pembentukan "pusat pemulangan" bagi pencari suaka yang ditolak. Pusat tersebut bisa berada di dalam atau di luar wilayah Uni Eropa. Austria dan Denmark diperkirakan akan mencari negara mitra di luar UE untuk menampung pusat-pusat ini.
Namun, tidak semua negara anggota sepakat. Sejumlah pemerintah tetap menolak menerima pencari suaka atau memberikan dukungan dana. Seusai pertemuan pada Senin (8/12), Menteri Dalam Negeri Jerman Alexander Dobrindt menegaskan bahwa Jerman tidak akan menerima tambahan pencari suaka maupun memberikan kontribusi finansial.
Reformasi ini dirancang untuk menjembatani perpecahan politik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun sejak krisis migrasi 2015, ketika lebih dari satu juta orang datang ke Eropa untuk melarikan diri dari konflik di Suriah dan Irak.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu dan Adelia Dinda Sani
Editor: Melisa Ester Lolindu
Tonton juga video "Platform X Kena Denda Fantastis Uni Eropa, Apa Alasannya?"











































