Ramai Debat Kebijakan Nuklir Jepang, Apa Kata Penyintas Bom Atom?

Ramai Debat Kebijakan Nuklir Jepang, Apa Kata Penyintas Bom Atom?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 26 Nov 2025 13:31 WIB
Jakarta -

Partai Liberal Demokrat (Liberal Democratic Party/LDP) yang berkuasa di Jepang akan membahas kebijakan keamanan nasional negara tersebut, ketika menghadapi tantangan keamanan yang semakin besar di Asia Timur Laut. Hal itu juga menyangkut soal pilihan Jepang harus menghapus tiga prinsip yang telah lama dianut, yaitu tidak memiliki, tidak memproduksi, atau tidak mengizinkan masuknya senjata nuklir ke wilayah Jepang.

Gagasan bahwa Jepang, satu-satunya yang pernah menjadi target serangan bom atom dalam perang, mungkin akan mengubah pendiriannya dan mengembangkan kemampuan penangkal nuklir sendiri telah memicu penolakan keras di dalam negeri. Terutama pada peringatan 80 tahun pengeboman Hiroshima dan Nagasaki dan berakhirnya Perang Dunia II.

"Tiga prinsip non-nuklir merupakan kebijakan nasional dasar yang didasarkan pada konsensus nasional," kata Akira Kawasaki, anggota komite eksekutif NGO Peace Boat yang berbasis di Jepang, sekaligus koordinator bersama Jaringan untuk Penghapusan Senjata Nuklir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kawasaki mencatat bahwa Parlemen Jepang telah mengesahkan resolusi yang mendukung prinsip-prinsip tersebut, "padahal mantan perdana menteri telah berjanji untuk mematuhi prinsip-prinsip tersebut pada bulan Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan Hiroshima dan Nagasaki."

"Saya sendiri sangat terkejut mendengar laporan bahwa pemerintah mungkin akan meninjau kembali prinsip-prinsip non-nuklir dan kelompok-kelompok perdamaian serta mereka yang mewakili 'hibakusha' (korban bom atom) juga merasa terkejut," katanya kepada DW.

ADVERTISEMENT

Tokyo soroti perubahan kebijakan nuklir

Kontroversi muncul pada 11 November 2025 ketika Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menolak mengonfirmasi kepada komite parlemen bahwa pemerintahnya akan tetap berkomitmen pada tiga prinsip non-nuklir yang secara resmi diadopsi pada tahun 1971.

Pada 20 November 2025, Kepala Kebijakan Partai LDP Takayuki Kobayashi semakin memicu kekhawatiran, dengan mengatakan bahwa tinjauan strategi keamanan Jepang mendatang akan mencakup di semua bidang.

"Ini adalah tanggung jawab kami sebagai partai berkuasa untuk mengadakan pembicaraan tanpa ada hal yang tabu," ujarnya. "Kita harus membahas berbagai topik."

Pemerintah juga akan meninjau kembali belanja pertahanan dan akan menyusun proposal yang mencakup seluruh aspek keamanan nasional pada akhir April 2026.

Penolakan terhadap rencana tersebut sangat tegas.

Sebuah editorial yang diterbitkan oleh harian The Mainichi pada 19 November 2025 menyatakan, "mengulangi prinsip ini akan menandai langkah mundur dari jalur Jepang sebagai negara damai. Jika Takaichi memaksakan pandangan pribadinya dan bertindak gegabah, hal itu akan meninggalkan bekas luka yang abadi."

Editorial tersebut, bagaimanapun, mengakui kalau "tidak diragukan lagi bahwa lingkungan keamanan Jepang telah menjadi lebih serius," dengan mengutip invasi Rusia ke Ukraina dan percepatan program senjata nuklir Korea Utara.

"Namun, mengabaikan idealisme Jepang akan menghancurkan puluhan tahun upaya menuju penghapusan senjata nuklir. Hal itu juga akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara tetangga," tambahnya.

Penyintas pimpin penolakan atas nuklir

Yoshihiko Noda, mantan perdana menteri dan kini ketua Partai Demokrat Konstitusional Jepang dari kelompok oposisi, menyuarakan pandangan serupa dengan mengatakan bahwa Jepang harus "memimpin" dalam mempromosikan penghapusan senjata nuklir. Dalam sebuah konferensi pers pada pertengahan November 2025, Yoshihiko Noda berjanji bahwa dia akan menentang perubahan terhadap prinsip-prinsip non-nuklir negara tersebut.

Nihon Hidankyo, atau Organisasi Konfederasi Jepang Korban Bom A- dan H-, juga mengkritik, dengan mengeluarkan pernyataan pada 20 November 2025, menyatakan bahwa mereka "menolak keras" upaya untuk membatalkan prinsip-prinsip tersebut.

Dia menambahkan bahwa para penyintas Hiroshima dan Nagasaki "tidak boleh membiarkan senjata nuklir dibawa ke Jepang atau membiarkan negara ini menjadi basis perang nuklir atau sasaran serangan nuklir."

Terumi Tanaka, seorang anggota kelompok tersebut yang berusia 92 tahun, mengatakan kepada Kyodo News Agency bahwa senjata nuklir adalah "alat setan."

Menurut Akira Kawasaki, jajak pendapat berulang selama dekade terakhir menunjukkan bahwa sekitar 70% warga Jepang mendukung pemeliharaan tiga prinsip non-nuklir, meskipun ketegangan geopolitik di kawasan tersebut telah meningkat.

Ketegangan tersebut meningkat lebih tajam baru-baru ini setelah Takaichi menyatakan bahwa serangan Cina terhadap Taiwan akan menjadi ancaman eksistensial bagi Jepang dan akan memerlukan pengerahan Pasukan Pertahanan Jepang.

Ketegangan politik Cina-Jepang meningkat

Beijing dan Tokyo sejak saat itu saling melontarkan kritik. Cina mulai menyiarkan video propaganda anti-Jepang, meningkatkan sanksi ekonomi, dan menuduh Tokyo memicu ketegangan regional.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump belum berkomentar secara publik tentang perselisihan antara Cina dan Jepang. Namun, dalam panggilan telepon dengan Presiden Cina Xi Jinping pada Senin (24/11), Xi mengatakan kepada Trump bahwa "kembalinya Taiwan ke Cina merupakan bagian penting dari visi Beijing terhadap tatanan dunia," menurut laporan kantor berita resmi Cina, Xinhua.

Pada Minggu (23/11), Menteri Pertahanan Jepang Shinjiro Koizumi mengunjungi Pulau Yonaguni di barat daya Kepulauan Okinawa dan hanya berjarak 110 kilometer dari Taiwan. Kunjungan itu bertujuan untuk memeriksa lokasi rencana penempatan baterai rudal Surface-to-air missiles (SAM) jarak menengah yang baru.

Perdebatan nuklir Jepang picu kekhawatiran

Cina menanggapi dengan menyatakan bahwa penempatan tersebut merupakan upaya untuk "menciptakan ketegangan regional dan memicu konfrontasi militer."

Tilman Ruff, seorang profesor di Universitas Melbourne dan co-presiden International Physicians for the Prevention of Nuclear War, mengatakan bahwa Jepang telah lama secara efektif turut serta dalam penerimaan senjata nuklir karena bergantung pada payung nuklir AS dan telah membiarkan AS memiliki senjata nuklir di Jepang, termasuk di atas kapal perang.

Namun, memiliki kemampuan nuklir sendiri akan menjadi langkah besar melampaui itu.

"Jika Jepang menempatkan senjata nuklirnya sendiri, itu akan menjadi perkembangan yang sangat signifikan," jelasnya.

"Hal itu akan mengganggu stabilitas seluruh Asia Timur Laut dan bisa memicu gelombang proliferasi yang akan membuat Korea Selatan jauh lebih mungkin untuk menempatkan senjata nuklir, semua hal tersebut akan memperburuk perlombaan senjata regional."

"Namun, saya rasa ada kekhawatiran yang cukup besar di kalangan masyarakat Jepang," katanya.

"Ada sensitivitas yang sangat kuat di Jepang yang didasarkan pada pemahaman dan penolakan terhadap apa yang sebenarnya dilakukan oleh senjata nuklir."

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Muhammad Hanafi

Editor: Melisa Ester Lolindu

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads