Kecelakaan Jet Tejas Soroti Masalah Angkatan Udara India

Kecelakaan Jet Tejas Soroti Masalah Angkatan Udara India

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 26 Nov 2025 12:37 WIB
Jakarta -

Kecelakaan pesawat tempur ringan Tejas Mark 1A India selama manuver aerobatik rendah di Dubai Air Show pekan lalu menjadi pukulan bagi harapan dan ambisi dirgantara India.

Kecelakaan yang menewaskan seorang pilot senior Angkatan Udara India atau Indian Air Force (IAF) itu terjadi pada Jumat (21/11) di depan delegasi industri pertahanan global, menimbulkan publisitas negatif dan berpotensi menurunkan minat calon pembeli senjata di seluruh dunia.

IAF telah meluncurkan penyelidikan terhadap kecelakaan ini. Penyelidikan diharapkan dapat mengungkap apakah penyebabnya karena kegagalan mekanis, kesalahan pilot, atau faktor lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ini bukanlah kecelakaan pertama yang melibatkan jenis pesawat ini. Pada Maret 2024, sebuah jet Tejas jatuh di negara bagian Rajasthan saat latihan, tapi pilot berhasil melontarkan kursi pelontar dengan selamat.

Seorang pejabat senior angkatan udara yang meminta namanya dirahasiakan mengatakan kepada DW bahwa meskipun kecelakaan ini tidak meruntuhkan superioritas Tejas dibandingkan pesawat lama seperti MiG-21, pesawat ini tetap kurang mampu dibandingkan pesawat Cina yang lebih canggih, J-20 dan J-16.

ADVERTISEMENT

"Ini menegaskan bahwa meskipun Tejas memiliki nilai bagi modernisasi angkatan udara India, pesawat ini masih tertinggal jika dibandingkan dengan pesawat tempur generasi kelima mutakhir yang digunakan oleh negara pesaing," kata pejabat tersebut.

Empat dekade Tejas: ambisi modernisasi yang masih tertunda

Insiden ini juga menyoroti upaya India untuk memodernisasi angkatan udaranya.

Tejas Mark 1A bermesin tunggal, diproduksi oleh perusahaan pertahanan milik negara India, Hindustan Aeronautics Limited (HAL), dianggap penting untuk mengatasi masalah armada IAF yang menua, yang sebagian besar terdiri dari jet tempur Rusia dan bekas Soviet.

Pesawat ini dirancang untuk menunjukkan kemampuan India dalam merancang, mengembangkan, dan memproduksi teknologi militer canggih secara mandiri.

Namun, proyek yang kini telah berjalan lebih dari 40 tahun ini mengalami banyak keterlambatan. Hanya 38 pesawat Tejas Mark 1A yang telah masuk dinas IAF sejauh ini.

HAL menyebut bahwa keterlambatan pengiriman pesawat ini disebabkan oleh tertundanya pasokan mesin dari mitra AS mereka, GE Aerospace.

Kapten Sandeep Bansal, mantan pilot tempur India, mengatakan kepada DW bahwa program produksi dan induksi Tejas tertunda karena India masih menghadapi tantangan signifikan dalam teknologi mesin canggih dan kemampuan industri pertahanan secara keseluruhan.

"Keterlambatan pengiriman terutama disebabkan oleh kekurangan pasokan mesin dari General Electric. Ini menciptakan hambatan produksi, karena Hindustan Aeronautics Limited harus menunggu mesin terintegrasi ke dalam rangka pesawat sebelum bisa dikirim," kata Bansal.

Pada bulan Juni, kepala IAF Amar Preet Singh menyesalkan keterlambatan yang menimpa proyek pertahanan negara dan mendesak pertanggungjawaban.

"Seringkali, kita tahu saat menandatangani kontrak bahwa sistem itu tidak akan pernah datang. Tidak ada satu pun proyek yang saya ingat yang selesai tepat waktu," kata Singh, merujuk pada tenggat waktu yang disepakati saat penandatanganan kontrak.

Keterlambatan ini juga memperburuk masalah paling mencolok yang dihadapi IAF, yaitu menyusutnya kekuatan skuadron pesawat tempur. Ukuran skuadron dalam penerbangan militer bervariasi tergantung negara, tetapi umumnya berkisar antara 18 hingga 24 pesawat.

IAF saat ini diperkirakan hanya memiliki 29 skuadron, jumlah terendah sepanjang sejarah dan jauh di bawah kekuatan yang disahkan sebanyak 42 skuadron.

"Situasinya tidak terlalu nyaman. Penurunan lebih lanjut dalam kekuatan skuadron diperkirakan sebelum IAF bisa membalikkan tren," kata S K Chatterji, pakar pertahanan dan mantan brigadir di Tentara India, kepada DW.

Kekurangan ini disebabkan oleh pensiunnya pesawat tua seperti MiG-21, MiG-23, dan MiG-27 dalam dua dekade terakhir tanpa pengganti yang memadai.

Tantangan India di tengah rivalitas geopolitik

Kebutuhan untuk memperkuat dan memodernisasi armada tempur IAF menjadi semakin mendesak di tengah tantangan strategis India dengan tetangganya, Pakistan dan Cina.

Pasukan India dan Pakistan terlibat dalam beberapa hari pertukaran tempur udara yang intens pada Mei, menyoroti pentingnya kekuatan udara dalam setiap konflik.

Pakistan dilaporkan menggunakan pesawat J-10C buatan Cina dan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15 melawan pesawat India selama bentrokan.

Kontingen Pakistan juga hadir secara besar-besaran di Dubai Air Show, dan mengungkapkan penandatanganan kesepakatan sementara dengan "negara sahabat" untuk memasok pesawat JF-17 Thunder Block III, yang dikembangkan bersama Cina.

Sementara itu, Cina terus berkembang pesat hingga mendekati Amerika Serikat dalam kekuatan udara.

"Dengan Cina yang mulai menginduksi Pesawat Tempur Generasi Kelima atau Fifth Generation Fighter Aircraft (FGFA) ke dalam dinas, yaitu J-20, kekhawatiran strategis bagi India semakin besar," kata Bansal.

"Untuk menghadapi ancaman J-20, India perlu menilai kembali kemampuan pertahanan udaranya dan mempertimbangkan ulang perencanaan strategis," tambahnya.

Untuk menutup kesenjangan dengan Cina, Bansal menunjukkan bahwa India aktif mengembangkan pesawat tempur siluman generasi kelima sendiri, yang dikenal sebagai Advanced Medium Combat Aircraft (AMCA).

Namun, pesawat ini diperkirakan baru siap diinduksi ke angkatan udara paling cepat pada 2035.

"Tapi kita perlu mempercepat pengadaan dan tenggat waktu," tegas Bansal.

Chatterji sependapat.

"Situasinya suram," katanya, menunjuk pada fakta bahwa India belum memiliki jet generasi kelima meskipun Cina telah mengembangkan dan menginduksi J-20 beberapa tahun lalu.

"Ditambah lagi platform ini juga akan digunakan oleh Pakistan," catat Chatterji. "Hal ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa Cina sedang menguji dua pesawat tempur generasi keenam."

Untuk menghadapi pertumbuhan kekuatan udara Cina, pakar pertahanan menekankan perlunya India mengembangkan AMCA dengan cepat.

"AMCA akan memberikan industri aeronautika India pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk menempatkan mereka di antara pemain utama di sektor ini," tambahnya.

Pengadaan pertahanan jadi tantangan besar

Proses pengadaan yang lambat dan berbelit juga menjadi tantangan dalam upaya modernisasi.

Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi menekankan kemandirian dalam produksi pertahanan, mendorong penggantian impor senjata dengan peralatan buatan dalam negeri.

Namun, India tetap menjadi salah satu importir peralatan militer terbesar di dunia.

"Pengembangan pesawat baru di mana pun menghadapi kesulitan, dan India sedang berusaha mengejar negara-negara lain dengan pengalaman dan teknologi jauh lebih tinggi," kata Tara Kartha, mantan anggota Sekretariat Dewan Keamanan Nasional, kepada DW.

"Tapi jalur untuk 'Make in India &rsquo (dibuat di India) sudah ditetapkan, dan tidak ada jalan kembali."

Namun Chatterji mengatakan New Delhi sebaiknya memprioritaskan kemampuan angkatan udara dibandingkan fokus pada produksi domestik.

"Beberapa keputusan sulit harus segera diambil, termasuk mempertimbangkan pembelian dari luar negeri untuk memastikan angkatan udara memiliki kemampuan yang memadai menghadapi tantangan masa depan," katanya.

Beberapa pihak juga menyerukan lebih banyak keterlibatan sektor swasta dalam produksi pertahanan.

"Organisasi Penelitian dan Pengembangan Pertahanan atau Defense Research and Development Organization (DRDO) dan monopoli birokratis HAL menghambat inovasi. Kita harus membebaskan sektor swasta dan agilitas, jika tidak kita akan terus tertinggal dalam jumlah skuadron dan teknologi. Kerentanan mengintai dan reformasi mendesak," kata pejabat senior IAF.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rahka Susanto
Editor: Yuniman Farid

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads