Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi sejak lama menyebut Margaret Thatcher sebagai salah satu panutan politiknya.
Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris yang menjabat selama bertahun-tahun, dikenal sebagai tokoh politik konservatif garis keras dengan pandangan kuat dalam kebijakan ekonomi, keamanan nasional, imigrasi, serta sejumlah posisi sayap kanan lain yang juga sejalan dengan Takaichi.
Mendiang Perdana Menteri Inggris itu dikenal luas karena etos kerjanya yang luar biasa, bahkan ia mengaku hanya membutuhkan tidur selama empat jam per malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Takaichi, sama seperti Thatcher, terbiasa tidur sedikit dan ingin menteri serta pekerja Jepang bekerja dengan level komitmen yang sama. Hal ini memicu kekhawatiran di beberapa kalangan.
Setelah dilantik bulan lalu, Takaichi menyatakan bahwa ia berniat "membuang istilah work-life balance untuk diri saya. Saya akan bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja."
Rapat dini hari yang memicu kekhawatiran
Sesuai yang ia katakan, Takaichi memanggil staf utamanya ke kantor untuk rapat pukul 3 dini hari pada awal bulan ini, menjelang rapat anggaran yang akan dimulai pukul 9 pagi.
Takaichi mengaku bahwa tidur malamnya kini "sekitar dua jam, paling lama empat jam." Ia berkelakar bahwa, "Mungkin ini buruk untuk kulit saya."
Takaichi juga meminta menteri ketenagakerjaan meninjau pelonggaran batas lembur yang saat ini ditetapkan maksimum 720 jam per tahundemi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tomoko Yoshino, perempuan pertama yang memimpin Rengo, sebuah konfederasi serikat pekerja terbesar di Jepang, menekankan bahwa angka tersebut sudah mendekati ambang risiko "karoshi," sebuah istilah di Jepang yang merujuk pada kematian akibat kerja berlebihan.
Para pengacara menentang jam kerja berlebihan
"Kami tidak bisa membiarkan batas maksimum itu dilonggarkan," ujar Yoshino kepada wartawan di Tokyo. "Kami baru setengah jalan dalam menekan angka 'karoshi' menjadi nol dan mendorong reformasi pola kerja."
Pendapat serupa dikemukakan oleh sekelompok pengacara yang mewakili keluarga korban "karoshi," yang menilai komentar perdana menteri itu "tidak membantu" di negara yang sudah lama dikenal dengan budaya kerja berlebihan.
Dewan Pembela Nasional bagi Korban Karoshi meminta Takaichi menghentikan kebijakan yang bisa menghambat terciptanya pola kerja lebih sehat dan menarik kembali komentarnya yang dianggap banyak kalangan "keterlaluan."
Sepanjang tahun 2024, pemerintah Jepang mencatat rekor 1.304 kasus kematian dan gangguan kesehatan akibat kerja berlebihan, naik 196 kasus dibanding tahun sebelumnya.
Dari jumlah itu, 1.057 kasus berkaitan dengan gangguan kesehatan mental di tempat kerja, termasuk "penyalahgunaan kekuasaan oleh atasan atau pihak lain" dan "pelecehan oleh pelanggan."
Kekhawatiran budaya kerja yang toksik
Beberapa menteri Takaichi juga menyatakan kekhawatiran mereka terhadap risiko kerja berlebihan, termasuk Menteri Kesehatan Takamaro Fukuoka. Ia menegaskan bahwa kementeriannya "meyakini kehilangan nyawa atau kesehatan akibat kerja berlebihan tidak boleh terjadi."
Isu ini juga berkaitan dengan hak asasi manusia, kata Teppei Kasai dari Human Rights Watch di Tokyo.
"Saya rasa hal ini tidak hanya terjadi di Jepang karena budaya kerja toksik juga ada di banyak negara lain," ujarnya.
"Namun, budaya perusahaan di Jepang sering menekankan kehadiran fisik daripada produktivitas sehingga pekerja kadang merasa harus tetap datang meski sedang sakit atau tahu tidak akan produktif karena alasan tertentu," ungkapnya kepada DW.
Meski budaya kerja di Jepang menunjukkan beberapa perubahan positif sejak pandemi COVID-19 pada tahun 2020, ada kekhawatiran bahwa tekanan terhadap pekerja bisa meningkat lagi, memicu lonjakan kasus "karoshi," depresi, atau bunuh diri akibat stres pekerjaan.
Standar PBB soal jam kerja
Kasai mengatakan Jepang seharusnya mengikuti pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)tahun 2016 mengenai kondisi kerja, yang menekankan bahwa negara harus "menetapkan standar minimum yang wajib dihormati dan tidak boleh dikurangi atas dasar argumen ekonomi atau produktivitas."
"Penting diingat bahwa setiap orang berhak mendapat waktu istirahat mingguan demi terciptanya kondisi kerja yang adil. Artinya, tidak seharusnya ada pekerja yang 'memilih' untuk bekerja 90 jam seminggu," kata Kasai.
"Istilah 'penyesuaian jam kerja' juga harus dipahami dengan hati-hati karena bisa meningkatkan risiko eksploitasi pekerja di beberapa sektor."
Panjangnya jam kerja di Jepang kembali menjadi sorotan, terutama setelah Perdana Menteri Takaichi menjadikannya isu publik. Perdebatan itu makin ramai ketika sejumlah pekerja kantoran membagikan pengalaman bekerja 18 jam sehari di media sosial.
Hiro, pembuat konten akun Japanese Typical Salaryman di YouTube dan Instagram, mengunggah video berjudul "Broke before payday," "A week in corporate despair," dan "65-hour weeks in Japan."
Dalam episode YouTube berjudul "Every Day is Hell," Hiro menceritakan bagaimana ia merasa kesepian dan kelelahan saat bekerja di Osaka, serta bagaimana ia mencari pelarian lewat makanan. Respons penonton di seluruh dunia menunjukkan bahwa banyak yang memahami situasinya.
"Saya berharap suatu hari kamu bisa menemukan pekerjaan yang lebih baik dan selalu sehat," tulis salah satu komentar. Penonton lain mengatakan, "Kamu luar biasa. Saya menonton video-videomu sejak kemarin. Saya harap yang terbaik untukmu. Teruslah membuat konten dan tinggalkan pekerjaan kantoran."
Perdebatan soal lembur ekstrem
Issei, seorang pekerja berusia 27 tahun, awalnya mengira setelah lulus ia akan cepat mendapat pekerjaan yang tetap. Namun, kenyataannya, ia bolak-balik pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, semuanya menuntut lembur panjang dan punya budaya kerja yang berat bagi siapa pun yang ingin tetap menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
"Kami menyebutnya 'perusahaan gelap,' dan bekerja di sana benar-benar berat," kata Issei, yang berprofesi di bidang penjualan. Ia memilih tidak menyebut nama belakang karena saat ini sedang menganggur dan melamar pekerjaan baru.
"Saya terbebani utang setelah kuliah dan sulit bertahan hidup meski sudah bekerja penuh waktu," katanya. "Ada hari-hari saat saya sangat terpuruk, tetapi saya membaca tentang orang-orang yang meninggal karena 'karoshi' atau bunuh diri."
"Bagi saya, situasinya tidak sampai separah itu karena saya memilih keluar dari pekerjaan, tetapi saya bisa memahami mengapa beberapa orang merasa tidak bisa berhenti dan terus bekerja sampai pada akhirnya semua sudah terlambat."
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Di tengah tantangan ekonomi Jepang ini, beberapa pihak dengan hati-hati mendukung agar siapa pun yang ingin lebih banyak bekerja tetap mendapat kebebasan secara hukum.
"Isunya memang rumit," kata Makoto Watanabe, profesor komunikasi dan media di Hokkaido Bunkyo University.
"Sebagian orang ingin bekerja lebih lama karena bisa menghasilkan pendapatan lebih besar. Di sisi lain, ada juga regulasi yang melindungi mereka yang tidak ingin lembur berlebihan."
"Ada masalah bunuh diri, penyakit, dan 'karoshi' yang terkait kerja berlebihan, tetapi menurut saya situasinya sudah membaik dalam beberapa tahun terakhir," ujarnya.
"Saya yakin, selama peraturan tidak sampai dilemahkan sehingga bisa disalahgunakan oleh perusahaan, setiap orang seharusnya bisa bekerja sebanyak yang mereka inginkan."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Pratama Indra
Editor: Tezar Aditya Rahman











































