Kenapa Perusahaan Jerman Tak Bisa Berpisah dari China?

Kenapa Perusahaan Jerman Tak Bisa Berpisah dari China?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Selasa, 25 Nov 2025 13:38 WIB
Jakarta -

Bagi Matthias Rth, tak ada alasan untuk banting setir menjauhi Cina. Di tengah peringatan berulang dari pemerintah Jerman soal bahaya menggantungkan bisnis pada Tiongkok yang otoriter, direktur pelaksana perusahaan dagang komoditas dan logam tanah jarang Tradium itu tetap teguh: Cina adalah urat nadi perusahaannya.

Sebagai negara yang nyaris memonopoli sektor logam tanah jarangβ€”bahan baku strategis dalam teknologi modernβ€”Cina, kata Rth, tak mungkin begitu saja digantikan. "Dengan Cina memasok lebih dari 95% pasar tanah jarang, Anda tidak bisa mencari alternatif dalam waktu singkat," ujarnya kepada DW. "Hubungan dagang ini sudah terbukti. Material dan prosesnya teruji."

Bagi Rth dan banyak pelaku usaha Jerman lainnya, Cina masih menjadi alamat pertama untuk berbisnis. Selama bertahun-tahun, pemerintah Jerman memberi dukungan penuh kepada orientasi bisnis ke arah timur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, arah berubah sejak Beijing kian mengeras di bawah Presiden Xi Jinping, termasuk kedekatannya dengan Moskow setelah invasi Rusia ke Ukraina. Hubungan Cina-Uni Eropa pun memasuki babak baru. Berlin kini berbicara tentang de-risking: mengurangi ketergantungan pada satu negara untuk komponen penting, barang, hingga bahan baku.

"Kalau terjadi masalah, itu risiko Anda. Jangan datang kepada pemerintah," kata Kanselir Friedrich Merz, mengingatkan para pengusaha Jerman yang masih berbisnis di Cina.

ADVERTISEMENT

Awal pekan ini, Menteri Keuangan Lars Klingbeil terbang ke Beijing. Sambil bicara soal hubungan ekonomi yang mulai berubah, dia mengingatkan bahwa Jerman melihat adanya "persaingan yang tidak lagi sehat dan ancaman terhadap lapangan kerja industri." Namun Klingbeil menegaskan satu hal: "Kita harus berbicara dengan, bukan tentang, Cina."

Cinta lama di industri otomotif

Bagi industri Jerman, hubungan dengan Cina ibarat kisah cinta yang sulit diakhiri. Dalam sembilan bulan pertama tahun ini, Cina kembali menyalip Amerika Serikat sebagai mitra dagang terbesar Jerman, dengan nilai perdagangan sebesar 185,9 miliar Euro.

Raksasa-raksasa industri Jerman terus menancapkan investasi di sana. Laporan Mercator Institute for China Studies menyebutkan, pada semester pertama 2024, investasi langsung Jerman mencakup 57% total investasi Eropa di Cinaβ€”sekitar 2,3% dari PDB Jerman. Arus modalnya pun tak surut, naik 1,3 miliar euro dibandingkan tahun sebelumnya.

Di sektor otomotif, Volkswagen, BMW dan Mercedes berusaha mengembalikan supremasi pasar. Meski tersandung tekanan baru, asa belum padam.

BMW baru saja menanam 3,8 miliar euro untuk proyek baterai di Shenyang. "Kami meninjau dan menyesuaikan strategi pasar secara berkala, tapi tidak ada perubahan fundamental di wilayah tersebut," kata juru bicara perusahaan, Britta Ullrich.

Namun meski penting, hubungan itu sedang mengalami retakan besarβ€”bukan hanya soal geopolitik. Produsen mobil Jerman kini berhadapan dengan lawan tangguh: merek-merek Cina yang agresif, terutama di kendaraan listrik. Banyak di antaranya tumbuh berkat praktik industri yang dituding tak sejalan dengan aturan perdagangan global.

"Kondisi bersaing harus setara dan adil," kata Asosiasi Industri Otomotif Jerman (VDA). Mereka mendesak Cina mengajukan proposal konstruktif, menindak praktik anti-kompetisi, dan menjamin kebebasan perdagangan.

Sementara itu, tekanan finansial makin terasa. Ekspor Jerman ke Cina merosot 25% sejak 2019. Pangsa pasar Volkswagen, Mercedes, dan BMW jatuh tajam, terpukul oleh gebrakan industri kendaraan listrik Cina.

"De-risking tengah dijalankan secara serius oleh perusahaan otomotif," ujar VDA. Tapi, lanjutnya, upaya itu "harus difasilitasi secara politis, bukan sekadar dituntut." De-risking, kata mereka, bukan berarti menutup pasar. "Kebijakan terbaik adalah memperkuat daya saing dan investasi domestik."

Realitas dingin tekanan pasar

Rth mengingatkan bahwa rekannya di Cina pun menjadi korban dari situasi politik yang memanas. "Kesulitannya berasal dari keputusan politik, bukan dari para pemasok," ujarnya.

Yang paling mengguncang usahanya adalah pembatasan ketat ekspor tanah jarang oleh Beijing. Para pemasok pun sama frustrasinya. "Mereka juga kena dampaknya," katanya.

Perusahaan Rth tak menerima tekanan politik untuk menjauh dari Cina. Yang datang justru tekanan pasar: tarif global yang melonjak, rantai suplai yang tersendat, dan aturan ekspor baru dari Beijing. "Rutinitas pengadaan yang sudah lama kami andalkan tak lagi bisa dipegang," ujarnya. "Kami masih sangat bergantung pada mitra Cina. Untuk banyak material, memang belum ada jalan lain."

Namun itu bukan berarti Tradium tinggal diam. Mereka kini menanam waktu dan tenaga untuk membangun jalur pasokan di luar Cina. "Ini bukan soal pemerintah menyuruh kami. Pasar yang memaksa semua pedagang dan perusahaan pengolahan bahan baku untuk memikirkan ulang strategi pasokanβ€”dan tekanannya akan makin besar. Inilah realitas sehari-hari."

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Yuniman Farid




(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads