Banyak orang rajin mengurus sampah dengan caranya masing-masing. Namun, bagaimana jika sampah mereka dimanfaatkan jadi ladang bisnis geng kriminal?
Inilah kenyataan di banyak negara Eropa. Badan penegak hukum Uni Eropa, Europol, memperingatkan bahwa "perdagangan sampah ilegal semakin meningkat dan diperkirakan akan makin besar serta makin canggih," menurut laporan Serious and Organised Crime Threat Assessment 2025. Meski begitu, Europol menolak menjawab sejumlah pertanyaan DW tentang isu ini, dengan alasan ada prioritas lain.
Europol menyebut lonjakan aktivitas ini banyak didorong oleh kelompok kriminal yang mencari cara untuk menghindari kontrak pembuangan sampah domestik maupun komersial. Mereka memanfaatkan celah korupsi di setiap tahap pengelolaan sampah, memalsukan dokumen, dan membawa limbah melintasi negara-negara Eropa demi memanfaatkan lemahnya penegakan hukum di beberapa wilayah. Pasar gelap ini digambarkan Europol sebagai bisnis "berisiko rendah, berkeuntungan tinggi."
Pelakunya adalah campuran antara jaringan kejahatan terorganisir lama dan perusahaan legal oportunistis yang memanfaatkan celah serta inefisiensi sistem. Situasi ini menjadi tantangan besar bagi lembaga-lembaga Uni Eropa yang bertugas menangani kejahatan lingkungan.
Perdagangan sampah ilegal bernilai miliaran euro
Masalah ini kembali mencuat setelah ditemukannya gunungan sampah raksasa dekat Sungai Thames di Oxfordshire, Inggris. Pada Rabu (19/11) lalu, laporan menyebut tumpukan setinggi enam meter itu berisi limbah dari sekolah dan otoritas lokal, mengindikasikan penyalahgunaan kontrak pengelolaan sampah milik lembaga pemerintah yang dikerjakan perusahaan subkontraktor resmi.
Persoalan ini tidak hanya terjadi di Inggris. Meski data akurat sulit diperoleh, kantor anti-penipuan Uni Eropa, OLAF, memperkirakan bahwa "15 sampai 30 persen pengiriman sampah bisa jadi ilegal," dengan nilai perdagangan mencapai €9,5 miliar (sekitar Rp183 triliun) per tahun. Uni Eropa sendiri mengirim sekitar 67 juta ton sampah legal per tahun di dalam kawasan dan mengekspor 35,1 juta ton ke luar UE melalui perjanjian resmi.
"Sampah berbahaya atau sampah yang dikelola sembarangan dapat mencemari tanah, air, dan udara. Pergerakan sampah ilegal lintas negara juga merusak upaya UE menuju ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan," kata OLAF kepada DW. "Aktivitas ini juga memberi keuntungan tidak adil bagi jaringan kriminal dibandingkan pelaku usaha yang taat aturan."
Celah konsep ekonomi hijau yang dimanfaatkan kriminal
Pengelolaan sampah di Uni Eropa mengikuti Waste Framework Directive yang mewajibkan produsen menanggung biaya pembuangan dan negara anggota melapor secara berkala. Tapi penegakannya sering terkendala karena bergantung pada banyak lembaga di tingkat nasional dan kawasan.
Masalah bertambah rumit karena beberapa jenis sampah membutuhkan biaya tinggi untuk diolah secara legal, seperti elektronik, kendaraan bekas, gas berfluorinasi, tekstil, dan plastik berkualitas rendah. Kondisi ini dimanfaatkan kelompok kriminal yang mempekerjakan ahli industri untuk mengambil bagian yang bisa dijual dan membuang sisanya secara ilegal, termasuk ke Eropa Timur, Asia, atau Afrika.
Limbah berbahaya seperti sampah konstruksi atau medis sering dicampur dengan material lain agar terlihat layak dijual atau diserahkan ke fasilitas yang bersedia membuangnya secara ilegal tanpa memedulikan dampak kesehatan dan lingkungan.
Jaringan kriminal makin canggih
Pada Februari lalu, 13 orang ditangkap di Kroasia karena mengimpor 35.000 ton limbah berbahaya dari Italia, Slovenia, dan Jerman. Europol menyebut limbah itu tidak diolah sebagaimana mestinya, melainkan hanya dikubur atau dibuang begitu saja di sedikitnya tiga lokasi.
Geng terorganisir tersebut diperkirakan meraup €4 juta (sekitar Rp77 miliar) dengan memanfaatkan jaringan perusahaan legal untuk memindahkan limbah dan menghindari biaya pengelolaan limbah beracun.
"Jaringan ini memalsukan dokumen, mengatur rute pengangkutan yang rumit, menggunakan perusahaan cangkang, dan mencampur aliran limbah legal dan ilegal agar tidak terdeteksi," ujar Alexandra Ghenea dari organisasi nirlaba Rumania, ECOTECA, kepada DW. Ia menambahkan bahwa Rumania kerap menjadi tujuan limbah dari Italia, Jerman, Inggris, dan Belgia yang sering kali diklaim sebagai material daur ulang.
Namun dalam beberapa kasus, praktiknya jauh lebih sederhana. Di Oxfordshire, pelaku hanya membuang limbah di lokasi yang mereka anggap aman. Hal serupa terjadi di Sintesti, pinggiran Bucharest, pada Juli lalu, ketika pembakaran ilegal material daur ulang memicu kebakaran hutan yang hampir mencapai area permukiman. Rumania memang sudah lama berhadapan dengan masalah pembuangan limbah ilegal.
"Wilayah ini menunjukkan pola berulang: kebakaran yang menghasilkan asap beracun, polusi udara parah, dan lemahnya pemantauan serta penegakan hukum," kata Ghenea. "Masalahnya bukan ketiadaan aturan, karena kerangka hukum sudah sesuai standar UE. Kelemahannya ada pada penegakan, baik dari sisi kapasitas maupun konsistensi."
Penegakan hukum masih lemah
Meski negara anggota Uni Eropa memiliki aturan dan standar yang seragam, kasus di Rumania menunjukkan bahwa tantangan di lapangan bisa sangat berbeda. Penegakan juga rumit karena pergerakan lintas batas di Eropa sangat mudah.
"Penegak hukum hanya berinvestasi cukup di beberapa negara anggota," kata Europol dalam laporan 2022. "Karena banyak aktivitas kejahatan lingkungan dilakukan oleh perusahaan legal, kasus-kasus ini sering dilabeli sebagai kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih. Fakta bahwa jaringan kriminal menggunakan bisnis sebagai kedok membuat pelanggaran ini kurang terlihat."
Ini yang dimanfaatkan para pelaku yang mengorbankan kesehatan masyarakat dan lingkungan demi mencari keuntungan. Ketika Eropa berusaha menuju ekonomi yang lebih hijau, kawasan ini masih harus menghadapi segelintir kelompok yang hanya berfokus pada keuntungan finansial.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu dan Adelia Dinda Sani
Editor: Hani Anggraini
(ita/ita)