Hidup Pengungsi Afghanistan Hancur Akibat Konflik Taliban

Hidup Pengungsi Afghanistan Hancur Akibat Konflik Taliban

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Senin, 10 Nov 2025 17:53 WIB
Jakarta -

Di bawah sinar pucat matahari musim gugur, suara tangis anak-anak bercampur dengan deru mesin truk di perbatasan Chaman, barat daya Pakistan.

Keluarga-keluarga Afganistan yang telah tinggal di Pakistan selama puluhan tahun kini dipaksa pulang hanya dengan membawa sedikit barang: selimut, perabot rumah, dan alat masak. Kesedihan mereka ikut terbawa dalam perjalanan itu.

Di antara mereka yang menunggu menyeberang ke Afganistan ada Zahra, 42 tahun. Ia mengenakan burqa biru yang menutupi seluruh tubuhnya sambil menggenggam erat anak bungsunya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keluarga seperti Zahra kini hidup dalam ketidakpastian di tengah upaya besar-besaran Pakistan mengusir warga Afganistan, yang semakin meningkat setelah bentrokan berdarah dengan Taliban bulan lalu.

"Aku lahir di Pakistan. Orang tuaku datang ke sini saat perang Soviet," katanya kepada DW. "Aku tak mengenal siapa pun di Afganistan, tapi pihak berwenang menyuruh kami pergi."

ADVERTISEMENT

Hidup terancam akibat pengusiran mendadak

Jutaan orang melarikan diri dari Afganistan setelah invasi Soviet pada akhir 1979.

Orang tua Zahra dan lebih dari seratus anggota keluarganya termasuk di antara mereka yang menyeberang ke Pakistan, lalu menetap di kamp pengungsi di Quetta, barat daya Pakistan, tempat Zahra lahir dan tumbuh besar.

Bulan ini, pemerintah Pakistan mengumumkan rencana menutup seluruh 54 kamp pengungsi Afganistan di seluruh negeri sebagai bagian dari kampanye yang dimulai pada 2023 untuk mengusir apa yang mereka sebut sebagai "warga asing ilegal."

Keputusan ini juga berdampak pada kamp-kamp di Quetta, tempat keluarga Zahra tinggal.

Aktivis menilai kebijakan itu terlalu keras dan dijalankan secara mendadak, membuat banyak keluarga kehilangan tempat tujuan.

"Pengusiran tiba-tiba pengungsi Afganistan oleh polisi Pakistan membuat nyawa banyak orang terancam. Mereka yang dulu melarikan diri ke Pakistan demi menghindari teror, penindasan, dan kekerasan, kini justru jatuh ke tangan rezim Taliban akibat tindakan Pakistan," ujar Aziz Gull, aktivis hak asasi manusia asal Afganistan yang bermukim di Pakistan, kepada DW.

Pejabat Pakistan makin keras setelah bentrokan perbatasan

Banyak warga Afganistan lainnya mencari perlindungan di Pakistan selama perang saudara tahun 1990-an, invasi yang dipimpin Amerika Serikat, dan setelah Taliban kembali berkuasa pada 2021.

Dulu, kemurahan hati Pakistan terhadap para pengungsi dianggap sebagai kebanggaan nasional. Namun di tengah memburuknya hubungan antara Islamabad dan rezim Taliban, terutama setelah bentrokan pada Oktober lalu, pemerintah Pakistan memperketat pengusiran dan menyebut warga Afganistan tanpa dokumen sebagai ancaman keamanan.

"Taliban Afganistan, dengan memicu bentrokan di perbatasan, membuat hidup para pengungsi semakin berat. Pemerintah Pakistan kini lebih tegas, bahkan bisa dibilang lebih kejam, dalam menjalankan program pengusiran," kata Osama Malik, pakar hukum kemanusiaan dan pengungsi, kepada DW.

Pemimpin Taliban di Kabul menuding Pakistan sebagai penyebab konflik perbatasan yang telah menewaskan puluhan orang sejak empat minggu lalu. Meski kedua pihak telah sepakat melakukan gencatan senjata dan sedang berdialog di Istanbul, baku tembak terbaru pada Kamis (6/11) lalu dilaporkan menewaskan sedikitnya lima orang di sisi Afganistan.

"Kami lahir di negara ini"

Selama bertahun-tahun, migran Afganistan membangun kehidupan baru di Pakistan. Mereka bersekolah, bergabung dalam klub kriket, membuka usaha kecil, dan menyewa rumah di kota-kota seperti Karachi, Quetta, dan Peshawar.

"Kami lahir di negara ini dan sudah menata hidup di sini, jadi mendengar kami harus pergi terasa seperti mimpi buruk. Kami belum pernah menginjakkan kaki di Afganistan dan tak tahu harus ke mana," kata Abdul Rehman, 44 tahun, penjual buah dari Quetta, yang telah membongkar rumahnya untuk bersiap kembali ke Afganistan, kepada DW.

"Anak-anak saya sekolah di Pakistan dan berbicara bahasa Urdu. Pendidikan anak perempuan saya akan berhenti di Afganistan yang dikuasai Taliban. Mereka menonton acara televisi Pakistan setiap hari. Bagaimana mereka akan bertahan di sana?" ujarnya.

Akhir dari keramahan Pakistan

Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengkritik keputusan Pakistan untuk memulangkan paksa para pengungsi Afganistan, termasuk mereka yang memiliki kartu registrasi resmi (Proof of Registration/PoR) maupun yang berhak atas perlindungan internasional.

"Kami sangat khawatir terhadap perempuan dan anak perempuan yang dipaksa kembali ke negara di mana hak mereka untuk bekerja dan bersekolah terancam," ujar Qaiser Khan Afridi, juru bicara UNHCR di Pakistan, kepada DW.

Afridi memuji sejarah panjang kemurahan hati Pakistan dan mengatakan bahwa tradisi itu seharusnya tetap dijaga.

Namun, di tengah krisis ekonomi, ketidakstabilan politik, dan konflik militer, banyak warga Pakistan kini kehilangan simpati terhadap pengungsi Afganistan. Warga lokal kerap menuding mereka sebagai pesaing dalam pekerjaan dan tempat tinggal, sementara pejabat pemerintah mengaitkan mereka dengan kejahatan dan jaringan teror.

"Selama empat dekade kami menyambut warga Afganistan ke negara kami sebagai bentuk kemurahan hati. Tapi hal ini tak bisa berlangsung selamanya. Mereka pada akhirnya harus kembali. Selain itu, siapa pun yang tinggal di negara ini secara ilegal akan segera dideportasi," kata pejabat senior Kementerian Dalam Negeri Pakistan, Talal Chaudhry, kepada DW.

Mahasiswi kedokteran terpaksa pulang ke Afganistan

Di kamp-kamp darurat dekat perbatasan Chaman, antrean panjang kendaraan membentang di dataran berdebu. Orang-orang menunggu berjam-jam untuk diproses sebelum menyeberang ke Afganistan.

"Kami meninggalkan rumah di Quetta dua hari lalu dan menuju tempat yang asing," kata Fatima, mahasiswi kedokteran 22 tahun. "Aku harus berhenti kuliah karena tak punya dokumen yang dibutuhkan. Mimpiku adalah bekerja di rumah sakit, tapi kini aku tidak yakin dengan masa depanku di negara yang tidak demokratis dan melarang pendidikan bagi perempuan."

Di seberang perbatasan, Afganistan yang dikuasai Taliban tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang parah, termasuk kekurangan pangan, musim dingin ekstrem, dan pembatasan ketat terhadap kehidupan publik, terutama bagi perempuan.

"Afganistan belum siap menerima gelombang besar kepulangan warga ini," kata Afridi dari UNHCR. "Sebagian besar keluarga tidak punya tempat tujuan, dan banyak yang kembali ke wilayah yang masih berjuang pulih dari perang."

Hidup di antara dua dunia

Saat matahari tenggelam di pegunungan dekat perbatasan, anak-anak bermain di sekitar truk yang dipenuhi barang-barang keluarga mereka. Tawa mereka sejenak menutupi keputusasaan orang tua mereka.

Pandangan Zahra terpaku ke cakrawala.

"Kami sudah menyeberangi banyak perbatasan dalam hidup. Tapi kali ini terasa seperti yang terakhir," katanya pelan.

Keluarganya melangkah maju saat nama mereka dipanggil. Dalam hitungan menit, ia lenyap di antara kerumunan orang menuju Afganistan, tanah yang belum pernah mereka lihat, masa depan yang tak bisa mereka bayangkan. Makam orang tuanya tertinggal di belakang.

Bagi pemerintah Pakistan, deportasi ini adalah kebijakan negara. Namun bagi keluarga seperti Zahra, ini menandai akhir dari seluruh kehidupan yang mereka habiskan berharap bisa diterima di negeri yang kini menolak mereka.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara
Editor:

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads