Alasan Militer Myanmar Kembali Unggul di Medan Pertempuran

Alasan Militer Myanmar Kembali Unggul di Medan Pertempuran

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Sabtu, 08 Nov 2025 09:19 WIB
Sejumlah mengatakan pihak junta saat ini sedang melancarkan serangan balik terbesar dalam beberapa tahun terakhir (Soe Zeya Tun/REUTERS)
Naypyitaw -

Myanmar tengah bersiap menggelar pemilu nasional pada Desember mendatang. Namun, pelaksanaannya sulit dibayangkan di negara yang kini dikuasai junta militer dan sebagian wilayahnya masih berada di tangan kelompok pemberontak setelah hampir lima tahun perang saudara.

Pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut pemilu yang akan datang sebagai "sebuah kepalsuan" dan dirancang untuk mempertahankan kekuasaan para jenderal lewat partai-partai boneka.

Meski begitu, junta tampak berupaya keras menciptakan kondisi agar pemungutan suara bisa dilakukan di sebanyak mungkin wilayah. Sejak Juni 2025, pihak militer berhasil mencatat serangkaian kemenangan terhadap pemberontak, merebut kembali sejumlah kota dan jalur perdagangan di berbagai front di wilayah timur, serta berhasil menahan atau memukul mundur pasukan perlawanan di sejumlah titik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberhasilan ini diperkirakan akan memperkuat posisi pemerintah menjelang pemilu yang dijadwalkan dimulai pada 28 Desember 2025 dan berlanjut hingga Januari 2026.

"Bagi mereka, tampaknya ini semacam tenggat waktu," kata analis keamanan Kyaw Htet Aung dari Institute for Strategy and Policy Myanmar.

ADVERTISEMENT

Militer kuasai tambang permata

Menurut sejumlah analis kepada Tim DW, pihak junta saat ini sedang melancarkan serangan balik terbesar dalam beberapa tahun terakhir, mungkin sejak perang saudara yang pecah pada 2021.

Pihak militer "membuka kembali jalur perdagangan dan logistik, menambah jumlah pasukan secara besar-besaran, melakukan reformasi signifikan dalam cara bertempur, serta bergerak agresif di bidang diplomatik dan politik menjelang pemilu. Mereka juga memiliki banyak peralatan baru," jelas Morgan Michaels, seorang peneliti di International Institute for Strategic Studies.

Meski menang di beberapa wilayah, pengamat menilai junta belum sepenuhnya menguasai setengah dari wilayah Myanmar. Namun, kata pengamat, kota dan jalan yang berhasil direbut kembali dianggap memiliki nilai strategis.

Wilayah itu termasuk jalur perdagangan utama dengan China dan Thailand, serta tambang permata dan mineral yang sebelumnya dikuasai berbagai kelompok pemberontak sejak kudeta.

Pemberontak bertahan

Di beberapa daerah, kelompok perlawanan masih menunjukkan kekuatan. Di barat, pasukan Arakan Army terus bergerak menuju pusat negara. Di utara, Kachin Independence Army masih menekan militer dan mampu mempertahankan wilayahnya.

Namun, banyak kelompok bersenjata lain yang kini beralih dari posisi menyerang menjadi bertahan sejak tahun 2024, kata Su Mon, analis senior di Armed Conflict Location and Event Data, lembaga independen yang memantau konflik di seluruh dunia.

"Itu perubahan besar. Mereka kini bertahan di wilayah yang mereka kuasai. Namun, sejak saat itu, mereka tidak mampu mempertahankan wilayah tersebut dan mulai kehilangan kota satu per satu," paparnya kepada DW.

China menekan pasokan untuk pemberontak

Sejak militer menggulingkan pemerintahan sipil pada Februari 2021, puluhan ribu orang dari seluruh pihak dilaporkan tewas, dan lebih dari 3,3 juta warga sipil mengungsi.

Penyelidik PBB menuduh junta melakukan kejahatan perang, termasuk pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan dalam skala besar. Namun, meski brutal, militer sempat terus terdesak dan kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah, termasuk perbatasan Myanmar dengan Thailand, China, dan Bangladesh.

Analis menilai keberhasilan terbaru militer sebagian didorong oleh dukungan baru dari China, yang memiliki investasi bernilai miliaran dolar di sektor energi dan infrastruktur di Myanmar, serta berupaya melindungi dan memperluas kepentingannya di sana.

Pada awal perang, Beijing berhubungan dengan baik dengan junta maupun kelompok pemberontak. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, China secara bertahap meningkatkan dukungan diplomatik, ekonomi, dan militer untuk rezim Myanmar.

Pada Januari 2025, China telah menengahi gencatan senjata antara militer dan salah satu kelompok bersenjata kuat yang sebelumnya berhasil menggempur batalion junta di timur laut, serta gencatan senjata lain beberapa bulan lalu dengan kelompok yang mengancam basis kekuasaan junta di wilayah tengah.

Dalam waktu yang sama, China menekan perdagangan lintas batas yang selama ini menjadi sumber pasokan penting bagi kelompok pemberontak untuk melemahkan serangan terhadap pasukan junta. Beijing juga menggunakan pengaruhnya terhadap kelompok besar United Wa State Army (UWSA) untuk memperluas embargo tersebut.

"UWSA adalah sumber utama dukungan militer dan keuangan bagi banyak kelompok lain, dan kini mereka telah terputus," kata Su Mon.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Penggunaan serangan udara: drone dan pesawat

Alasan lain di balik peningkatan kekuatan militer adalah upaya perekrutan ulang yang dilancarkan oleh rezim. Setidaknya 60.000 tentara diperkirakan telah bergabung dengan barisan militer sejak junta memulai perekrutan wajib militer pada musim semi lalu.

Upaya perekrutan ini telah menghidupkan kembali batalion-batalion junta yang sebelumnya melemah akibat korban perang, desertasi, dan defisiensi, sehingga militer dapat mengerahkan jauh lebih banyak pasukan ke medan perang daripada sebelumnya.

Analis juga mencatat bahwa militer kini belajar dari kesalahan masa lalu dan memperbaiki kemampuan tempurnya. Termasuk dengan memperkuat armada drone dan penggunaan serangan udara.

Kini militer, Su Mon menambahkan, menggunakan serangan udara sejak awal pertempuran, bukan setelah kontak senjata dimulai seperti sebelumnya.

Sementara itu, Morgan Michaels mengatakan rezim juga menyerahkan lebih banyak kendali militer dari Min Aung Hlaing kepada Soe Win, yang dianggap lebih kompeten, dan mulai mempromosikan komandan garis depan yang berpengalaman tempur.

Tak ada masa depan untuk pemberontak

Meski begitu, para analis menilai militer belum berada di posisi menang mutlak, sementara kelompok perlawanan juga belum benar-benar kalah.

"Tidak ada solusi militer untuk konflik Myanmar, tidak pernah ada. Hanya solusi politik yang bisa mengakhirinya," ujar Michaels.

"Kita masih harus melihat apa yang terjadi setelah pemilu nanti. Apakah akan muncul dinamika kepemimpinan baru, apakah militer bersedia berkompromi, atau akan ada lebih banyak gencatan senjata," tambahnya.

Menurutnya, skenario yang paling mungkin adalah rezim terus memecah belah kelompok perlawanan yang sejak awal memang tidak sepenuhnya bersatu dan membuat kesepakatan dengan mereka satu per satu.

Untuk saat ini, kata Michaels, prospek bagi kelompok perlawanan dan bagi Myanmar secara keseluruhan "masih suram."

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.

Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara

Editor: Muhammad Hanafi

Tonton juga video "Temui DPR, Arnold Putra Cerita Ketika Ditahan di Myanmar"

(nvc/nvc)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads