Cerita Kelam Korban Pembunuhan Demi 'Kehormatan' di Pakistan

Cerita Kelam Korban Pembunuhan Demi 'Kehormatan' di Pakistan

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 05 Nov 2025 13:43 WIB
Jakarta -

Fattu Shah adalah desa terpencil di utara Provinsi Sindh, Pakistan. Perjalanan dari kota terdekat, Ghotki, memakan waktu lebih dari satu jam. Jalanan menyempit melewati ladang kapas dan rumah-rumah bata tanah liat yang tersebar di hamparan ladang pertanian.

Aisha Dharejo telah menempuh perjalanan ini berkali-kali selama 15 tahun terakhir untuk meneliti pemakaman perempuan korban kekerasan atas nama kehormatan.

"Setiap makam menyimpan kisah perempuan yang dibungkam," kata Dharejo kepada DW.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemakaman korban pembunuhan demi kehormatan ini tidak memiliki nisan atau nama. Beberapa makam hanya ditandai dengan batu bata, sebagian besar bahkan tidak memiliki penanda sama sekali.

Dharejo menjelaskan bahwa korban pembunuhan, baik perempuan maupun laki-laki, tidak diberi penghormatan bahkan setelah meninggal. Jenazah mereka tidak dimandikan atau dipersiapkan untuk pemakaman. Tidak ada ritual, tidak ada doa terakhir. Mereka dikuburkan secara tergesa-gesa di lubang dangkal dan ditutup lumpur agar tidak dimakan hewan.

ADVERTISEMENT

Zarqa Shar, aktivis lokal dari desa terdekat, adalah salah satu dari sedikit orang yang berani berbicara terbuka. Ia mengatakan pemakaman itu sudah ada lebih dari satu abad.

"Wilayah ini masih sangat dipengaruhi oleh tuan tanah feodal yang mengontrol pekerjaan, upah, dan mata pencaharian," ujarnya.

Shar menambahkan bahwa dalam sistem seperti ini, adat lokal sering kali mengesampingkan hukum negara. Mempertanyakan praktik seperti pembunuhan demi kehormatan bisa membahayakan warga sehingga budaya diam semakin mengakar.

Pembunuhan demi kehormatan yang sudah mengakar

Pembunuhan demi kehormatan adalah pembunuhan yang direncanakan dan dilakukan oleh anggota keluarga korban, karena mereka percaya korban telah mempermalukan keluarga.

Di Pakistan, perempuan dan laki-laki bisa dibunuh karena memilih pasangan sendiri, berbicara dengan lawan jenis, menikah di luar kasta atau agama, atau menunjukkan perilaku yang dianggap tidak bermoral.

Data Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan (HRCP) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, setidaknya 405 orang tercatat sebagai korban pembunuhan demi kehormatan di seluruh Pakistan, dengan angka tertinggi di Provinsi Sindh dan Punjab.

Angka resmi ini konsisten dari tahun ke tahun, tetapi para peneliti memperingatkan bahwa kejahatan semacam ini sering kali tidak dilaporkan dan angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi.

Dharejo mengatakan pembunuhan di Pakistan tidak ada hubungannya dengan tradisi, meskipun faktanya praktik itu telah berlangsung lama. Dia juga mengatakan pembunuhan tersebut sering kali bersifat transaksional, bukan karena alasan moral.

"Tubuh perempuan menjadi alat tukar dalam negosiasi antar keluarga dan pengadilan adat, sering kali menyembunyikan sengketa tanah atau menjadi sarana pembayaran uang darah," jelasnya.

Melalui organisasinya, Sindh Suhai Sath, Dharejo mendokumentasikan kasus-kasus ini dan memberikan dukungan finansial, hukum, dan emosional kepada penyintas korban kekerasan berbasis martabat dan kekerasan dalam rumah tangga.

"Dia merenggut kemampuan saya untuk berjalan"

Salah satu perempuan yang menjadi korban adalah Sobia Batool Shah, yang saat berusia 22 tahun diserang oleh enam kerabat laki-lakinya, termasuk ayahnya yang telah bercerai, Syed, di rumahnya di Naushahro Feroze, sebuah kota di Provinsi Sindh.

Ayahnya menuduh Sobia mencemarkan nama baik keluarga dengan meminta cerai dari suaminya. Dalam tindakan yang disebutnya "pantas", mereka menyerangnya. Salah satu pelaku mencoba memotong kakinya dengan kapak.

"Saya tidak akan pernah melupakan hari itu. Saat mereka mencoba membunuh saya, saya berteriak bahwa saya tidak akan bercerai agar mereka berhenti," kata Shah. "Mereka membuat saya cacat dan itu adalah luka terbesar saya. Mereka merampas kemampuan saya untuk berjalan."

Shah telah menjalani empat kali operasi. Kakinya masih terbungkus gips dan dia menggunakan kruk. Saat menghadiri sidang di lantai dua pengadilan, saudaranya, Shawkat Ali Shah, menggendongnya.

Organisasi Dharejo mendukung Shah dalam mengajukan tiga laporan polisi terhadap ayahnya. Kini, ayahnya dipenjara dan menghadapi hukuman penjara hingga 14 tahun. Namun, Shah masih berjuang untuk menuntut pelaku lainnya.

Kasus seperti Shah bisa memakan waktu dua hingga lima tahun untuk mencapai putusan. Dharejo menekankan pentingnya menjaga harapan karena banyak kasus di mana hukum berpihak pada perempuan.

"Dia melakukan segala cara untuk memeras saya"

Haleema Bhutto menikah saat berusia 12 tahun. Tak lama setelah pernikahan, suaminya, Shakil Ahmad, mulai menuntut harta warisan dari ayah Haleema yang telah meninggal.

Setelah berkali-kali menolak, Haleema dikirim kembali ke rumah ibunya di Ghotki, dan tinggal di sana selama 18 tahun, terjebak dalam status menikah, tapi ditinggalkan.

Ahmad kemudian muncul kembali, bukan untuk berdamai, melainkan menuduh Haleema berselingkuh dengan iparnya. Tuduhan yang bisa menjadi vonis mati dalam masyarakat feodal Ghotki.

"Tuduhan itu benar-benar palsu," kata Haleema kepada DW. "Dia ingin harta saya lagi dan menemukan cara lain untuk mendapatkannya. Saya berasal dari keluarga yang baik dan stabil secara finansial. Dia melakukan segala cara untuk memeras saya, bahkan jika itu berarti membunuh saya."

Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah pergi ke Islamabad.

Selama lebih dari 15 bulan, Haleema melakukan aksi protes di depan Klub Pers Islamabad, berbicara kepada siapa pun yang mau mendengarkan. Ia bahkan sempat mogok makan, menuduh pemerintah tidak bertindak terhadap elit feodal.

"Saya berjuang secara terbuka agar suami saya tidak membunuh saya," katanya.

Perjuangannya sampai ke Mahkamah Agung Pakistan, di mana dia memenangkan putusan bersejarah pada tahun 2011.

Mahkamah Agung mengabulkan perceraiannya dan mengembalikan harta warisan yang ditinggalkan orang tuanya.

"Ini bukan hanya perjuangan saya," katanya kepada DW bulan lalu dari rumahnya di Ghotki. "Ini adalah perjuangan untuk setiap perempuan yang menghadapi situasi serupa, bahwa Anda bisa mendapatkan hak Anda, jangan menyerah."

Polisi: Pembunuhan demi kehormatan akan diberantas

Di markas kepolisian Distrik Ghotki, DW berbicara dengan Kepala Kepolisian Senior (SSP) Muhammad Anwar Khetran tentang masalah pembunuhan demi kehormatan.

"Itu bukan kehormatan, menjijikkan, dan akan dihapuskan dari masyarakat," katanya.

Namun, ia menambahkan bahwa perubahan akan memakan waktu lama.

"Dalam satu atau dua generasi," katanya, praktik tersebut akan berhenti sepenuhnya. Perubahan ini membutuhkan waktu puluhan tahun bukan dalam hitungan hari.

Ia menunjukkan kemajuan nyata dalam beberapa tahun terakhir, seperti peningkatan jumlah polisi perempuan, layanan bantuan, dan unit perlindungan perempuan dan anak di kantor polisi.

Mir Rohal Khoso, Kepala Kepolisian Senior Distrik Naushahro Feroze di Sindh, mengatakan bahwa pendidikan dan pembangunan sosial ekonomi akan memungkinkan perubahan terjadi.

"Ketika perempuan terdidik dan memiliki kemandirian ekonomi, dia tahu hak-haknya dalam keluarga," tegasnya.

Khoso menambahkan bahwa di distriknya tidak ada lonjakan kasus pembunuhan demi kehormatan. Menurutnya, hal ini terkait dengan penindakan yang ketat dan penegakan hukum yang mengatur sengketa keluarga.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Algadri Muhammad

Editor: Hani Anggraini

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads