Setelah bentrokan mematikan antara Taliban dan pasukan Pakistan bulan lalu, pihak berwenang di Islamabad memperkuat upaya untuk memulangkan para migran Afganistan, termasuk dengan melancarkan penggerebekan terhadap toko-toko dan rumah sewaan warga Afganistan.
Penggerebekan tidak hanya terbatas di wilayah perbatasan, hingga ke ibu kota Islamabad dan Rawalpindi yang berdekatan. Para pemilik rumah di Pakistan, yang khawatir akan konsekuensi hukum, akhirnya mengusir penyewa Afganistan atau menolak memperpanjang kontrak sewa, yang memaksa banyak keluarga untuk mencari tempat tinggal baru.
Warga Afganistan di Pakistan juga menghadapi kesulitan besar saat mencoba memperpanjang izin tinggal. Proses pengurusan dikeluhkan berbiaya mahal, tidak pasti, dan sering kali tertunda lama. "Kami bersembunyi, keluarga kami tercerai-berai, tak bisa tinggal di satu tempat karena takut ditangkap atau mengalami kekerasan dari polisi. Bisnis kami terhenti, anak-anak kami berhenti sekolah, dan kami tak punya waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya," kata seorang warga Afganistan yang meminta identitasnya dirahasiakan kepada DW.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tempat ini adalah rumahku"
Dalam dua minggu terakhir, sejumlah warga Afganistan yang sudah lama menetap di Pakistan melaporkan bahwa polisi menggeledah rumah-rumah di berbagai wilayah Islamabad dan Rawalpindi.
Selain penggerebekan dan kerumitan birokrasi yang tak ada habisnya bagi mereka yang ingin tinggal secara legal, kini polisi Pakistan juga mulai membuat pengumuman di masjid-masjid, memperingatkan bahwa siapa pun yang membantu migran Afganistan β termasuk menyewakan rumah atau toko β akan dianggap sebagai penjahat oleh pemerintah.
Banyak warga Afganistan perkotaan terkejut dengan perubahan kebijakan ini, karena mereka telah tinggal dan bekerja di Pakistan selama puluhan tahun. "Saya lahir di Pakistan dan menempuh pendidikan di sini; tempat ini adalah rumah saya. Kami telah membangun kehidupan dan karier di negara ini, dan saya tak pernah membayangkan bahwa negeri yang telah memberi saya segalanya suatu hari akan memaksa saya pergi. Ini sungguh menyakitkan hati, dan kami tak percaya hal ini bisa terjadi pada kami," ujar Abdullah Khan, seorang insinyur berusia 32 tahun, kepada DW.
Islamabad anggap warga Afganistan berisiko
Namun, pemerintah Pakistan bersikeras bahwa para migran Afganistan ilegal menimbulkan risiko keamanan. "Selama beberapa dekade kami telah menyambut warga Afganistan di negara kami, tetapi kini penting bagi mereka yang tinggal secara ilegal untuk pulang dengan martabat dan rasa hormat," ujar pejabat senior Kementerian Dalam Negeri Pakistan, Talal Chaudhry kepada DW. Ia menambahkan bahwa "sebagian warga Afganistan terlibat dalam militansi dan kejahatan narkotika, dan banyak yang membantu aktivitas kriminal tersebut."
Sementara itu, aktivis Afganistan Aziz Gull menilai bahwa para migran dijadikan alat tawar dalam konflik antara Islamabad dan Taliban. "Warga Afganistan di Pakistan adalah orang-orang yang damai dan tanpa tempat tinggal," katanya kepada DW. "Mengapa mereka dianggap ancaman bagi negara yang menampung mereka?"
"Warga Afganistan seharusnya tidak dijadikan pion dalam ketegangan politik antara dua pemerintah," tambahnya.
Tiada tempat selain taman?
Zahra Mosavi, seorang aktivis Afganistan di Pakistan yang kini bersembunyi dan pernah ditahan polisi Pakistan, mengatakan kepada DW bahwa para pemilik rumah kini "dapat dikenai pajak tambahan dan denda keuangan" jika menyewakan rumah atau tempat usaha kepada warga Afganistan.
"Setelah keputusan ini, banyak pemilik rumah mulai memperlakukan penyewa Afganistan dengan buruk, meskipun kontrak sewa mereka masih berlaku. Tanpa mengembalikan uang jaminan, mereka setiap hari mengancam agar warga Afganistan segera pergi. Beberapa bahkan memutus pasokan listrik dan gas ke rumah-rumah mereka," papar Mosavi. Ia memperingatkan bahwa sejumlah keluarga kini mencari perlindungan di taman-taman umum, dan kondisi mereka semakin memburuk seiring turunnya suhu.
Sardar Akhter, seorang pemilik rumah di kawasan elite Rawalpindi, mengatakan bahwa ia sebelumnya tidak tahu bahwa pemerintah memiliki kebijakan ketat terhadap penyewaan rumah kepada warga Afganistan. Ia mengaku sampai harus meyakinkan polisi bahwa para penyewa Afganistan telah pergi dan kontrak sewa telah dibatalkan.
"Polisi menggerebek rumah saya, dan saya pastikan kepada mereka bahwa kami tidak akan menyewakannya lagi. Namun mereka terus memantau properti kami," ujarnya kepada DW.
Puluhan tahun tampung pengungsi Afganistan
Selama beberapa dekade, Pakistan telah menampung gelombang pengungsi dari negara tetangganya, Afganistan β termasuk mereka yang melarikan diri dari invasi Uni Soviet yang berlangsung hampir sepuluh tahun sejak akhir 1979.
Gelombang berikutnya datang saat perang saudara pada 1990-an, invasi yang dipimpin AS pada 2001, tahun-tahun pertempuran setelahnya, hingga jatuhnya Kabul ke tangan Taliban pada 2021. Namun dalam beberapa tahun terakhir, Pakistan bertekad mengurangi jumlah warga Afganistan yang tinggal di wilayahnya.
Menurut data United Nations High Commissioner for Refugees atau Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), lebih dari 1,5 juta warga Afganistan telah meninggalkan Pakistan β baik secara sukarela maupun karena dipaksa β sejak awal kampanye pada 2023 hingga pertengahan Oktober 2025.
Badan tersebut juga memperkirakan bahwa sekitar tiga juta warga Afganistan masih tinggal di Pakistan, dengan sekitar 1,4 juta di antaranya memiliki dokumen resmi. "UNHCR menghargai kemurahan hati Pakistan yang telah menampung pengungsi selama lebih dari 45 tahun di tengah berbagai tantangan. Pakistan memiliki sejarah panjang dalam menunjukkan keramahan, dan penting untuk melanjutkan tradisi itu di masa kritis ini. Namun kami prihatin dengan situasi sulit yang dihadapi warga Afganistan di Pakistan," tandas Juru Bicara UNHCR di Pakistan, Qaiser Khan Afridi kepada DW.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Rizki Nugraha
Lihat juga Video: Keluhan Sopir Truk yang Terjebak di Perbatasan Afghanistan-Pakistan











































