AI di Ranah Akademik, Inovasi Belajar atau Ancaman Intelektual?

AI di Ranah Akademik, Inovasi Belajar atau Ancaman Intelektual?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Senin, 03 Nov 2025 16:42 WIB
Jakarta -

Pada 2016, pemerintah Jepang menerapkan visi Society 5.0 sebagai dinamika baru hubungan manusia dan teknologi. Society 5.0 adalah konsep yang berpusat pada manusia dan memanfaatkan teknologi canggih termasuk kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI). Tak lama setelah konsep Society 5.0 dirilis, perhatian global pada penggunaan AI terus meningkat.

Kepopuleran AI membawa perubahan besar, Survei Indonesia AI Report 2025 mengungkapkan bahwa lebih dari 50% pekerja sudah mulai menggunakan chatbot AI generatif dalam pekerjaannya, dan mayoritas responden percaya bahwa AI akan membawa perubahan besar dalam dunia kerja dalam 5 tahun ke depan.

Tren penggunaan AI juga semakin populer di dunia akademik, Riset dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2025 menunjukkan bahwa hampir setengah atau 49,89% Gen Z di Indonesia menggunakan AI untuk keperluan belajar. Namun skeptisme muncul di tengah kemunculan teknologi ini. Apakah AI mampu mereduksi proses akademik dan mengganggu pembelajaran secara efektif?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Era sebelum dan setelah kemunculan AI, Apa bedanya?

Perkembangan tren AI dalam ranah akademik tidak hanya mempengaruhi Generasi Z sebagai generasi digital native, tetapi juga generasi terdahulu yang belum sepenuhnya terbiasa dengan transformasi digital.

"Bagi saya, saat ini AI membantu dalam proses belajar, terutama untuk dialog atau bertukar pikiran. Menurut saya ini menjadi bagian dari pembelajaran. Berbeda jauh dengan pola belajar yang saya alami di era 90-an," papar Yohanes Widodo, Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi UGM.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut ia bercerita, "Dulu untuk mencari referensi baru, kita sebagai mahasiswa harus mencari referensi yang terbatas di perpustakaan, berdiskusi dengan teman, ataupun mencari waktu untuk bertemu dosen. Namun saat ini, dengan kehadiran AI, sangat membantu untuk saya mencari referensi yang lebih luas dalam proses pembelajaran."

Pria berusia 50 tahun ini menyebut, kehadiran AI justru membantu dirinya untuk memperdalam dan berdiskusi mengenai materi perkuliahan. Bahkan, dalam beberapa kasus ia menyebut AI dapat "membuka opsi pada ide-ide baru."

Menurut Global Student Survey 2025, sekitar empat dari lima mahasiswa di seluruh dunia telah menggunakan Generative AI (GenAI) untuk mendukung proses pembelajaran mereka di kampus. Hanya sekitar 20% mahasiswa yang belum pernah memakai AI sama sekali. Tingginya angka penggunaan ini menunjukkan bahwa AI semakin menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam membantu berbagai aspek kehidupan manusia.

Menariknya, di antara 15 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi teratas dengan 95% responden mahasiswanya yang menggunakan AI dalam kegiatan belajar mengajar, melebihi rata-rata global. Hanya 4% mahasiswa Indonesia yang melaporkan tidak menggunakan GenAI, sedangkan 1% lainnya memilih tidak menjawab survei tersebut.

Mayoritas mahasiswa Indonesia memakai GenAI untuk berbagai tujuan, termasuk membantu menyelesaikan tugas akademik (86%), merencanakan pengembangan karier (52%), dan membantu mengatur jadwal pribadi mereka (33%).

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Tantangan bagi dosen

Tren AI dalam membantu proses belajar menjadi lebih cepat dan efisien tidak selamanya berbuah manis. Kekhawatiran justru muncul, "Salah satu kekhawatiran terbesar saya terhadap mahasiswa sekarang adalah soal literasi. Banyak dari mereka tampak benar-benar terbatas dalam hal membaca dan berbahasa," jelas Prima Virginia, Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Pamulang kepada DW.

"Mahasiswa kini tampak malas berpikir, apalagi membaca. Saat saya memberi tugas mencari teori komunikasi dalam modul perkuliahan. Seorang mahasiswa menulis tentang Reduction Theory, padahal teori itu tidak ada di modul. Ketika saya minta ia menjelaskan pilihannya di kelas, ia hanya diam menunduk, sibuk menatap ponsel tanpa satu kata pun keluar," papar Prima.

Kekhawatiran Prima menggambarkan kebingungan umum yang dialami dunia pendidikan, bukan hanya di Indonesia, namun juga yang terjadi di seluruh dunia. Survei Digital Education Council pada 2025 menyebut sebanyak 83% dosen mengkhawatirkan kemampuan mahasiswa dalam mengevaluasi secara kritis output yang dihasilkan AI. Survei ini melibatkan 1.681 dosen dari 52 institusi pendidikan tinggi di 28 negara.

Di tengah kekhawatiran ini, survei yang sama juga memaparkan sekitar 54% dosen berpendapat bahwa metode penilaian mahasiswa saat ini sudah tidak memadai di era AI, dan 13% bahkan menuntut adanya reformasi total.

Dalam beberapa kasus, dosen harus memutar otak untuk menilai keaslian karya mahasiswa yang tidak dikerjakan oleh AI. "Di kelas online saya tak bisa berbuat banyak (untuk menilai keaslian karya mahasiswa), tapi di kelas tatap muka mudah terlihat siapa yang benar-benar membaca dan siapa yang bergantung pada AI. Biasanya, jawaban mereka tidak nyambung, analisisnya lemah, dan saat diuji tentang kosakata yang mereka tulis sendiri, mereka tak paham artinya," ujar Prima.

Ia juga menyebut alat pendeteksi AI yang ada saat ini pun belum cukup akurat untuk mendeteksi keaslian karya mahasiswa.

Menyeimbangkan AI dan ranah akademik

Tren AI di masyarakat saat ini mendorong perlunya perubahan atau penyesuaian kebijakan, struktur, dan budaya lembaga pendidikan tinggi. Pakar dari Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM), Iradat Wirid, menilai penggunaan AI sudah tidak bisa dihindari meskipun hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan akademisi.

"Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana institusi pendidikan mengatur penggunaan AI ini, mana yang diperbolehkan, mana yang tidak, serta seperti apa mekanismenya. Hal inilah yang menjadi tantangan besar bagi institusi pendidikan di Indonesia," jelas Iradat.

Tantang yang sama juga dirasakan Prima. Ia menyebut hingga saat ini, dunia Pendidikan masih gamang dalam memandang penggunaan AI. "Penggunaan AI, terutama dalam kelas online, sulit diawasi dan tidak dapat sepenuhnya ditindak. Kami hanya bisa memberikan imbauan."

Regulasi penggunaan AI di ranah akademik masih bersifat peraturan yang dibuat masing-masing dosen, fakultas, atau kampus. "Saya belum melihat adanya regulasi yang bersifat nasional atau antar-universitas," papar Iradat.

Meski tren penggunaan AI semakin meningkat, namun regulasi dan pengajaran pada literasi AI masih menjadi tantangan di Indonesia. Survei Luminate dan Ipsos pada 2025 menunjukkan rendahnya literasi AI di Indonesia. Sebanyak 75% responden percaya konten buatan AI dapat mempengaruhi pandangan politik publik, 72% menilai bisa mempengaruhi orang terdekat, dan 63% merasa dapat mempengaruhi diri sendiri.

"sebenarnya kita punya dasar pendidikan dan literasi AI. Kita belajar melihat AI sebagai alat. Karena chat GPT free, orang-orang melihatnya sebagai suatu hal yang gratis tanpa kompensasi. Padahal kalo kita pakai itu, data kita bisa terserap. Nah, hal-hal semacam ini yang banyak orang tidak tahu, dan menggunakan AI secara serampangan," jelas Iradat.

Literasi AI pada di ranah pendidikan bukan hal yang baru. Sejumlah negara seperti Finlandia, Cina, Estonia, hingga Singapura mulai menerapkan literasi AI sejak pendidikan dasar. Namun, di Indonesia hingga saat ini belum ada regulasi khusus yang dibuat pemerintah untuk merespon popularitas AI di masyarakat.

"Di level pemerintah saat ini sudah banyak bermunculan komunikasi publik menggunakan generative AI, padahal etika penggunaan AI sampai saat ini belum diatur Pemerintah. Aturannya saja masih digodok Kementerian Komdigi dalam bentuk Peta Jalan AI dan Peraturan Presiden terkait etika AI," jelas Iradat.

Editor: Yuniman Farid

Simak juga Video: Kemkomdigi Berharap Roadmap AI Indonesia Rampung Awal 2026

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads