Pertemuan berisiko tinggi antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping pada Kamis lalu di Busan, Korea Selatan, semula digadang sebagai momentum meredakan ketegangan tarif global yang telah berlangsung berbulan-bulan. Namun, pertemuan itu hanya berlangsung 100 menit - jauh dari ekspektasi tiga sampai empat jam—dan hasilnya pun tipis.
Trump menyebut pembicaraan itu berjalan "luar biasa", bahkan memberi nilai 12 dari 10. Beijing lebih berhati-hati, sekadar menyerukan agar saluran komunikasi tetap terbuka. Bagi mereka yang berharap hubungan Washington–Beijing mencair, singkatnya pertemuan itu menjadi pengingat bahwa ketidakpercayaan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia masih mengakar dalam.
Gencatan senjata taktis
Trump mengumumkan sedikit rincian dari kesepakatan terbatas yang disampaikan Washington awal pekan itu: penundaan kenaikan tarif, pembatalan pembatasan ekspor logam tanah jarang, serta dimulainya kembali impor kedelai Amerika. Xi, lewat kantor berita Xinhua, menyebut kedua pemimpin mencapai "konsensus dasar" di bidang ekonomi dan perdagangan, seraya mengingatkan pentingnya kerja sama jangka panjang dan menghindari "siklus balas-membalas yang merugikan".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deborah Elms, Direktur Hinrich Foundation di Hong Kong, menilai hasilnya "menarik tapi kabur." Tak ada pernyataan bersama, tak ada konferensi pers. Pasar pun merespons datar: reli singkat saham Tiongkok memudar, sementara indeks berjangka Amerika melemah.
"Pasar berharap banyak, tapi kecewa oleh minimnya detail," kata Anna Wu, analis di Van Eck Associates. Ia menyebut kesepakatan itu sekadar "gencatan senjata taktis" dan memperingatkan volatilitas masih akan berlanjut.
Tarik ulur Logam Tanah Jarang
Trump mengklaim Cina sepakat menurunkan tarif 10 persen atas perdagangan terkait fentanyl, sebagai imbalan janji Beijing menekan peredaran opioid mematikan itu di AS. Ia juga menyebut adanya kesepakatan satu tahun untuk menjamin pasokan logam tanah jarang - bahan vital industri teknologi tinggi yang 70 persen dikuasai Tiongkok.
Namun, seperti diingatkan ekonom Alicia Garcia-Herrero dari Natixis, kesepakatan itu belum jelas bagaimana izin ekspor akan dilonggarkan. "Logam tanah jarang tetap menjadi kartu truf Beijing," ujarnya.
Trump juga menyinggung soal semikonduktor berteknologi tinggi—jantung kecerdasan buatan dan sistem militer modern. Ia mengisyaratkan Beijing akan membeli lebih banyak cip Amerika, meski tidak dari lini teratas NVIDIA. Tiongkok belum mengonfirmasi.
Usai pembicaraan, Trump menulis di Truth Social bahwa Cina akan segera memulai pembelian energi Amerika dalam "transaksi besar-besaran", termasuk minyak dan gas dari Alaska. Ia juga menyebut Cina akan membeli "jumlah luar biasa besar" kedelai dan hasil pertanian lain. Beijing, lagi-lagi, memilih nada hati-hati: kedua pihak, katanya, akan "memperkuat kerja sama di bidang energi dan perdagangan."
Uji Nuklir, gelagat Perang Dingin?
Beberapa jam sebelum bertemu Xi, Trump mengumumkan rencana Amerika melanjutkan uji coba nuklir—yang pertama dalam 33 tahun—dengan fokus pada kemampuan kapal selam. Ia menyebut langkah itu demi "menyamakan kedudukan" dengan para rival.
Langkah itu memicu kecaman para ahli pengendalian senjata. Garcia-Herrero menyebut keputusan itu "menakutkan" dan memperingatkan pasar bisa bereaksi negatif bila eskalasi bergeser dari ekonomi ke nuklir.
Damai yang rapuh
Meski ada jeda sementara, pembicaraan Busan jauh dari terobosan. Persoalan mendasar—seperti perlindungan kekayaan intelektual, dominasi teknologi AI, hingga persaingan strategis—nyaris tak tersentuh.
Kedua ekonomi raksasa itu masih tertekan dampak perang dagang yang hampir setahun berjalan: tarif tinggi, rantai pasok terganggu, dan ketidakpastian investor menahan pertumbuhan. Krisis properti dan permintaan domestik yang lesu terus membebani ekonomi Tiongkok. Amerika pun bergulat dengan inflasi dan melemahnya industri manufaktur.
Gencatan ini mungkin memberi napas pendek, tapi tanpa reformasi mendalam dan kerja sama berkelanjutan, ancaman eskalasi baru tinggal menunggu waktu.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Farid
Simak juga Video 'AS Bakal Kembali Uji Coba Senjata Nuklir Setelah 33 Tahun Absen':











































