Tergantung siapa yang ditanya, keputusan para pemimpin Uni Eropa pekan ini cenderung dibaca dua arah: Sebagai langkah hati-hati menuju penyerahan aset Rusia kepada Ukraina, atau sekadar siasat menunda keputusan sulit.
Dalam KTT di Brussels, Kamis (23/10), Dewan Eropa gagal mengumpulkan cukup dukungan untuk mengabulkan pinjaman senilai β¬140 miliar (sekitar Rp2,38 kuadriliun) bagi Ukraina, seperti yang dituntut beberapa negara. Sebagai gantinya, para pemimpin UE hanya menyuarakan komitmen samar untuk "mengatasi kebutuhan keuangan paling mendesak bagi Ukraina" selama dua tahun ke depan, serta berjanji meninjau kembali isu aset Rusia pada Desember mendatang.
"Kami telah menyepakati intinya, yakni pinjaman reparasi. Sekarang kami harus bekerja untuk mewujudkannya," kata Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen kepada wartawan di Brussels setelah pertemuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Dewan Eropa Antonio Costa menegaskan tidak ada negara yang memveto keputusan apa pun, sementara Kanselir Friedrich Merz dari Jerman menyebut hasil pertemuan sebagai "sebuah langkah maju."
"Bisnis Berisiko"
Namun dua lantai di bawah ruang pertemuan, Perdana Menteri Belgia Bart De Wever menyampaikan pandangan berbeda. Belgia menjadi tuan rumah bagi Euroclear, lembaga keuangan yang menampung sebagian besar dari sekitar β¬200 miliar (sekitar Rp3,4 kuadriliun) aset bank sentral Rusia yang dibekukan oleh Uni Eropa sejak invasi ke Ukraina.
De Wever memperingatkan bahwa pencairan dana tersebut akan menempatkan UE di wilayah hukum yang "belum terpetakan", dengan risiko besar berupa pembalasan dari Rusia, serta merebaknya kekhawatiran investor di masa depan.
"Rencana ini adalah bisnis yang berisiko. Selain kemungkinan penyitaan balasan dan tindakan lainnya, kita bisa tenggelam dalam perang litigasi," ujarnya, menambahkan bahwa kekhawatiran itu belum terjawab.
Tahun lalu, Uni Eropa mulai menggunakan keuntungan dari aset Rusia yang dibekukan sebagai jaminan untuk memberi pinjaman kepada Ukraina. Namun rencana baru yang kini dibahas ingin melangkah lebih jauh, tidak hanya memanfaatkan keuntungannya, tetapi juga menggunakan aset-aset itu sendiri, meski tanpa benar-benar menyitanya.
Kementerian Luar Negeri Rusia, melalui kantor berita TASS, berjanji akan memberikan tanggapan yang "sangat menyakitkan dan sangat keras" jika Uni Eropa melanjutkan rencana tersebut.
De Wever menyarankan agar negara-negara di luar Uni Eropa yang juga membekukan dana Rusia turut berbagi risiko, seperti Kanada, Inggris, Swiss, Jepang, dan Amerika Serikat.
"Anak ayam paling gemuk ada di Belgia, tapi masih ada anak ayam lain di luar sana," ujarnya berseloroh.
"Ide bahwa Ukraina didukung oleh uang Rusia memang terdengar seperti kisah 'Robin Hood'. Bagi opini publik, itu menarik, tapi perhitungannya tetap nyata," tambahnya.
Jalan terjal Brussels untuk dukung Ukraina
Keputusan setengah hati pada Kamis (23/10) itu membuka babak baru penelitian hukum dan perdebatan selama beberapa bulan ke depan, saat Komisi Eropa mencoba merancang solusi yang memenuhi tuntutan Belgia akan jaminan "konkret."
Secara teori, Uni Eropa masih bisa memberi dana tambahan kepada Ukraina melalui utang bersama yang baru. Namun opsi itu dianggap sulit mendapatkan dukungan cukup dalam waktu dekat.
Donald Tusk dari Polandia, yang lama mendesak agar dana Rusia digunakan untuk membantu Ukraina, menegaskan bahwa Desember harus menjadi "batas waktu akhir" bagi keputusan "ya atau tidak."
"Kami berusaha meyakinkan teman-teman kami di Belgia bahwa kami siap membangun mekanisme tanggung jawab bersama di tingkat Eropa," ujarnya.
Lampu hijau untuk sanksi gas
Meski gagal mencapai kesepakatan soal pinjaman masa depan, para pemimpin Uni Eropa memberikan lampu hijau bagi sanksi baru terhadap Rusia.
Pada Kamis pagi (23/10), negara-negara Dewan Eropa sepakat melarang impor gas alam cair (LNG) dari Rusia mulai 2027, mempercepat tenggat yang sebelumnya ditetapkan para menteri energi.
Sanksi baru itu juga menargetkan transfer mata uang kripto Rusia dan menambahkan lebih banyak kapal tanker dari "armada bayangan", jaringan kapal yang digunakan Moskow untuk menghindari sanksi minyak, ke dalam daftar hitam.
Untuk pertama kalinya, Uni Eropa juga menjatuhkan sanksi terhadap dua kilang minyak asal Cina yang memproses dan menjual minyak Rusia. Beijing dengan cepat menegaskan akan "mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi hak dan kepentingan sah perusahaan-perusahaannya," menurut kantor berita Xinhua.
Sanksi Rusia dari Trump
Pengumuman sanksi baru Uni Eropa muncul tak lama setelah Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadap dua raksasa bahan bakar fosil Rusia.
Rusia menyebut langkah Washington itu tidak akan banyak berdampak pada ekonominya, namun Presiden Prancis Emmanuel Macron menilainya sebagai "titik balik yang sebenarnya."
"Hingga saat ini, AS enggan melakukannya," ujarnya kepada wartawan di Brussels Kamis malam.
Beberapa hari sebelumnya, para pemimpin Eropa sempat khawatir bahwa Presiden AS Donald Trump akan menjalin hubungan lebih dekat dengan Vladimir Putin, terutama melalui Hongaria, negara anggota Uni Eropa yang paling ramah terhadap Moskow. Karena itu, langkah sanksi AS kali ini memberi sedikit kelegaan bagi para sekutu Eropa dan Ukraina.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Ini adalah rollercoaster Trump, kadang naik, kadang turun, penuh gejolak," kata Steven Everts, mantan pejabat Uni Eropa yang kini menjadi analis di Institut Studi Keamanan Uni Eropa, kepada DW.
"Hal paling penting bagi Eropa sekarang adalah menekan pedal gas dalam diplomasi. Kita harus tetap aktif, tidak hanya menunggu pengumuman dari pihak lain. Angkat telepon, terbang ke Washington, dan tingkatkan dukungan untuk Ukraina," pungkasnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rahka Susanto
Editor: Rizki Nugraha
Simak juga Video 'Standar Ganda IOC yang Disinggung Rusia':











































