Dominasi Cina dalam penambangan, pengolahan, dan suplai logam tanah jarang menghasilkan pengaruh signifikan atas Amerika Serikat dalam perundingan dagang yang sedang berlangsung. Logam atau mineral tanah jarang (LTJ) merupakan bahan baku penting untuk pembuatan ponsel pintar, kendaraan listrik, hingga teknologi militer.
Cina menguasai sekitar 60% produksi logam tanah jarang global dan hampir 90% proses pemurniannya. Baru-baru ini, Beijing kian memperkuat cengkeramannya akan mineral kritis tersebut dengan memberlakukan pembatasan ekspor LTJ dan magnet permanen.
Pembatasan tersebut diterapkan sebagai respons terhadap tarif tinggi yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terhadap ekspor Cina yang kemudian sempat dilonggarkan untuk memungkinkan negosiasi perdagangan berjalan.
Namun, pada hari Kamis (16/10), Cina mengumumkan perluasan pembatasan ekspor terhadap logam tanah jarang, membatasi teknologi pengolahan, dan secara eksplisit membatasi ekspor kepada pengguna di sektor pertahanan dan semikonduktor di luar negeri.
Kebijakan ini dipandang sebagai balasan Beijing, setelah Washington membatasi ekspor chip dan produk semikonduktor dari negara ketiga ke Cina.
Pembatasan diberlakukan beberapa pekan sebelum pertemuan langsung Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping, dan semakin mengekspos kerentanan AS karena kurangnya kapasitas pemurnian di dalam negeri.
"Seluruh dunia bergantung pada pasokan magnet permanen dari Cina," kata Jost Wbbeke, pengelola lembaga riset Sinolytics di Berlin yang fokus menganalisa ekonomi serta kebijakan industri Cina, kepada DW. "Jika mereka berhenti mengekspor bahan baku tersebut, dampaknya akan terasa di seluruh dunia."
Pembatasan ekspor diyakini akan berakibat pada gangguan rantai pasok, hal ini berdampak signifikan pada industri AS. Produsen mobil Ford, misalnya, mengumumkan pada Mei lalu terpaksa mengurangi produksi di Chicago karena kurangnya bahan baku. Pemasok suku cadang otomotif, Aptiv dan BorgWarner, mengumumkan sedang mengembangkan mesin dengan meminimalisir kandungan logam tanah jarang demi mengatasi keterbatasan pasokan.
Michael Dunne, konsultan otomotif yang fokus pada Cina, mengatakan kepada The New York Times pada bulan Juni bahwa pembatasan ekspor dari Tiongkok"bisa membuat pabrik perakitan mobil Amerika berhenti total."
AS kehabisan stok
Survei oleh Kamar Dagang Amerika di Cina pada bulan Mei silam menunjukkan bahwa 75% perusahaan AS memperkirakan stok logam tanah jarangakan habis dalam beberapa bulan. Produsen AS sebabnya mendesak Washington untuk menegosiasikan kelonggaran.
Selama perundingan dagang di London pada bulan Juni, Cina sepakat mempercepat lisensi ekspor, meski masih menyebabkan antrean panjang. Pembatasan ekspor terbaru Cina mengancam implementasi kesepakatan ini.
Kontrol strategis Cina atas logam tanah jarang sebagai alat geopolitik bukanlah hal baru. Pada 2010, Beijing menghentikan ekspor ke Jepang selama dua bulan di tengah sengketa Pulau Senkaku, memicu lonjakan harga dan mengekspos risiko rantai pasokan.
Gabriel Wildau, direktur perusahaan konsultan Teneo yang berbasis di New York, memperingatkan sistem lisensi ekspor Cina adalah hal yang permanen, bukan sekadar respons terhadap tarif Trump. Wildau turut mengatakan pada kliennya bahwa "pemutusan pasokan akan selalu jadi ancaman," sebagai sinyal Cina untuk mempertahankan pengaruhnya atas AS.
Tak hanya Amerika, tapi juga Eropa
AS bukan satu-satunya ekonomi yang terdampak oleh kekurangan logam tanah jarang. Uni Eropa bergantung pada Cina untuk 98% magnet logam tanah jarangnya, yang dibutuhkan untuk komponen mobil, jet tempur, dan perangkat pencitraan medis.
Asosiasi Pemasok Otomotif Eropa memperingatkan pada bulan Juni bahwa sektor tersebut "sudah mengalami gangguan signifikan" akibat pembatasan ekspor Cina, menambahkan bahwa hal ini telah menyebabkan "penutupan beberapa jalur produksi dan pabrik di seluruh Eropa, dengan dampak lebih lanjut ke depan seiring menipisnya persediaan."
Alberto Prina Cerai, peneliti di Italian Institute for International Political Studies (ISPI), mengatakan kepada DW, "Dari segi skala, Barat tidak bisa mengejar Cina."
"Mereka memiliki rantai pasokan terintegrasi dari tambang hingga magnet yang sangat sulit ditiru." Namun, meski pemisahan total dari Cina "tidak terpikirkan" dalam jangka pendek, ia mengatakan UE sebaiknya "mengelola ketergantungan ini dengan strategi industri yang koheren," jelasnya.
Komisi Eropa, berniat mendorong memproduksi 7.000 ton magnet berbasis UE secara domestik pada 2030 di bawah Undang-Undang Bahan Mentah Kritis, dengan beberapa proyek pertambangan, pemurnian, dan daur ulang. Sebuah pabrik pemrosesan logam tanah jarang besar dibuka di Estonia tahun ini, dan fasilitas besar lainnya di barat daya Prancis akan beroperasi pada 2026.
Komisaris Perdagangan UE Maros Sefcovic menyebut pembatasan Cina "sangat mengganggu" sektor otomotif dan industri Eropa. Cina mengusulkan "jalur hijau" untuk mempercepat persetujuan lisensi bagi perusahaan UE, tetapi para ahli memperingatkan persetujuan masih bisa memakan waktu hingga 45 hari.
India turut pangkas ekspor
Meski memiliki cadangan logam tanah jarang terbesar kelima di dunia, sebesar 6,9 juta metrik ton, India menyumbang kurang dari 1% pasokan global. Negara Asia Selatan ini kekurangan kapasitas pemurnian untuk pengolahannya untuk dapat digunakan dalam aplikasi berteknologi tinggi. India juga bergantung pada ekspor Cina, yang juga menghadapi pembatasan.
Meskipun New Delhi telah meningkatkan upaya untuk mendiversifikasi pasokan melalui kesepakatan dengan AS, Australia, dan negara-negara Asia Tengah, kemajuannya masih lambat.
Pada bulan Juni, New Delhi memerintahkan perusahaan tambang milik negara, IREL, untuk menghentikan ekspor mineral yang diproduksi domestik, termasuk ke Jepang, guna menjaga pasokan bagi produsen dalam negeri. Pada 2024, IREL mengirim sepertiga dari 2.900 metrik ton logam tanah jarangnya untuk diproses di Jepang.
Beberapa pesaing genjot produksi logam tanah jarang
44 juta ton cadangan logam tanah jarang dimiliki Cina, cadangan kolektif sekitar 31,3 juta ton laina dimiliki Brazil, India, dan Australia, menurut Survei Geologi AS. Sekitar 20 juta ton baru-baru ini ditemukan di Kazakstan.
AS dan Australia paling maju dalam meningkatkan output penambangan dan pemrosesan logam tanah jarang mereka sendiri, sementara rencana negara lain masih pada tahap awal hingga menengah, memerlukan waktu lima hingga 10 tahun dengan pertimbangan dampak lingkungan dan miliaran dolar investasi.
Sumber potensial lain berasal dari Greenland, dengan kondisi cuacan ekstrem. AS dan UE telah menandatangani kesepakatan kerja sama, dan pada 2023, Proyek Tanbreez di selatan Greenland dinilai sebagai proyek logam tanah jarang paling unggul oleh penyedia data industri pertambangan Mining Intelligence, dengan perkiraan 28,2 juta ton.
Namun sampai pasokan logam tanah jarang alternatif meningkat secara signifikan, Cina akan terus menggunakan sumber daya kritis ini sebagai senjata geopolitik yang kuat, menahan industri dan negara di seluruh dunia dalam cengkeramannya.
Wbbeke dari Sinolytics skeptis apakah negara lain akan pernah menantang cengkeraman Cina atas logam tanah jarang karena keunggulan ekonomi yang dimiliki pemimpin pasar tersebut.
"Begitu Cina mencabut kontrol ekspor, harga akan turun, dan situasi pasokan akan membaik. Tidak ada yang akan membicarakan [ketergantungan berlebihan pada Cina] lagi karena kemudian semuanya akan bergantung harga," kata Wbbeke kepada DW. "Tambang dan pabrik pemurnian non-Cina harus bersaing dengan harga tersebut dan sepertinya mereka tidak bisa."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Rizky Nugraha
Tonton juga video "Taman Jodoh di China, Bisa Promosi Pakai CV" di sini:
(ita/ita)