Jepang Punya PM Perempuan Pertama! Siapa Sanae Takaichi?

Jepang Punya PM Perempuan Pertama! Siapa Sanae Takaichi?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Selasa, 21 Okt 2025 15:13 WIB
Jakarta -

Politisi konservatif garis keras, Sanae Takaichi, 64 tahun, secara resmi terpilih sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang pada Selasa (21/10), setelah bertemu dengan Kaisar dan disahkan oleh majelis rendah parlemen. Pemimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) itu secara tak terduga memenangkan dukungan mayoritas dalam putaran pertama pemungutan suara, meniru idolanya, mendiang pemimpin Inggris Margaret Thatcher.

Dalam tubuh politik Jepang yang kaku dan patriarkal, jalan Takaichi menuju kursi kepala pemerintahan dilatari pekan-pekan penuh gejolak yang diwarnai manuver politik di parlemen dan di dalam koalisi. Setelah memenangkan pemilihan internal LDP pada 5 Oktober yang seluruh pesertanya laki-laki, ia harus berjuang mencari dukungan setelah mitra koalisi yang lebih moderat, Partai Komeito, keluar dari aliansi yang telah bertahan selama 26 tahun.

Langkah itu memaksa Takaichi membentuk aliansi baru dengan Partai Inovasi Jepang (JIP) yang berhaluan kanan, dalam kesepakatan yang ditandatangani pada Senin (20/10). Kebijakan utama JIP meliputi menurunkan pajak konsumsi untuk makanan hingga nol persen, menghapus sumbangan korporasi dan organisasi kepada partai politik, serta mengurangi jumlah anggota parlemen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini perhatian tertuju pada rencana belanja besar-besaran yang diajukan Takaichi. Penambahan belanja dikhawatirkan dapat mengguncang kepercayaan investor kepada salah satu negara dengan utang tertinggi di dunia itu. Posisi nasionalistik sang perdana menteri juga dipercaya berpotensi memicu gesekan dengan Cina, kata para analis politik.

Ia diperkirakan akan menjamu Presiden AS Donald Trump pada 27 Oktober, yang akan menjadi tantangan besar pertamanya.

ADVERTISEMENT

Iron Lady dari Negeri Matahari

Mantan menteri keamanan ekonomi dan dalam negeri ini berulang kali menyebut Thatcher sebagai sumber inspirasinya, menyanjung karakter kuat dan keyakinan sang "Iron Lady", yang menurutnya tetap berpadu dengan "kehangatan Keibuan". Ia mengatakan pernah bertemu Thatcher dalam sebuah simposium tak lama sebelum kematian mantan perdana menteri Inggris itu pada 2013.

Seperti Thatcher, Takaichi tumbuh dari pinggiran, dari keluarga polisi dan buruh bengkel, sebelum lalu perlahan naik ke inti kekuasaan yang biasanya diwariskan. Namun berbeda dengan Thatcher yang dikenal ketat dalam disiplin anggaran, Takaichi justru mendukung kelonggaran fiskal dan kebijakan moneter yang lebih terbuka. Hal ini turut menggoyah kepercayaan investor terhadap ekonomi terbesar keempat di dunia itu.

Sebagai pendukung lama doktrin ekonomi "Abenomics" dari mendiang Perdana Menteri Shinzo Abe, ia menuntut penambahan belanja pemerintah dan pemotongan pajak, serta berjanji untuk kembali memperkuat pengaruh eksekutif atas bank sentral.

Perempuan jadi kunci dalam pemerintahan baru

Berjanji membentuk pemerintahan dengan "jumlah perempuan seperti di negara-negara Nordik", Takaichi menyatakan bahwa ia akan "memperkuat ekonomi Jepang, dan membentuk kembali Jepang sebagai negara yang bertanggung jawab bagi generasi mendatang".

Pernah berbicara terbuka tentang perjuangannya menghadapi menopause, Takaichi bertekad meningkatkan kesadaran tentang masalah kesehatan perempuan. Jepang sendiri masih sangat patriarkal, dan menempati peringkat ke-118 dari 148 negara dalam Laporan Kesenjangan Gender Global 2025 dari World Economic Forum, dengan hanya sekitar 15% anggota majelis rendah adalah perempuan.

Namun, Takaichi secara terbuka menentang revisi undang-undang abad ke-19 yang mewajibkan pasangan menikah untuk menggunakan nama keluarga yang sama, serta menghendaki agar keluarga kekaisaran tetap mempertahankan garis suksesi laki-laki.

Sisi lembut dari konservatif garis keras

Menjanjikan tindakan tegas terhadap orang asing yang melanggar aturan, isu yang sensitif di tengah peningkatan jumlah migran dan turis, ia memulai salah satu pidato kampanyenya dengan kisah tentang wisatawan yang menendang rusa di kota kelahirannya, Nara.

Takaichi juga dikenal tidak asing dengan membuat "kegaduhan". Ia dikenal rutin mengunjungi kuil Yasukuni, yang menghormati para korban perang Jepang, termasuk beberapa penjahat perang yang dieksekusi, dan dipandang oleh sebagian negara tetangga Asia sebagai simbol militerisme masa lalu Jepang.

Ia juga mendukung revisi konstitusi pascaperang Jepang yang bersifat pasifis, serta pernah menyarankan bahwa Jepang dapat membentuk "aliansi keamanan semu" dengan Taiwan, pulau demokratis yang diklaim oleh Cina.

Namun, teman-teman dan para pendukungnya di Nara menekankan sisi lembut dari politisi konservatif itu. Yukitoshi Arai, mantan penata rambutnya, mengatakan bahwa gaya rambutnya, yang dijulukinya "Potongan Sanae", dirancang untuk menunjukkan bahwa ia peduli pada orang lain.

"Modelnya ramping, tajam, dan bergaya. Sisi rambutnya panjang, tapi ia sengaja menyelipkannya di balik telinga untuk menunjukkan bahwa ia mendengarkan orang lain dengan saksama," katanya.

Takaichi lulus dari Universitas Kobe dengan gelar manajemen bisnis, sebelum bekerja sebagai fellow di Kongres Amerika Serikat, menurut situs web pribadinya. Ia memulai karier politiknya dengan memenangkan kursi di majelis rendah pada 1993 sebagai calon independen, sebelum bergabung dengan LDP pada 1996.


Editor: Rizki Nugraha

Lihat juga Video 'Seniman Miyazaki Bawa Patung Industri ke Teater Air Bersejarah Roma':

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads