Misteri Perampokan Louvre dan Nasib Harta Bersejarah

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Selasa, 21 Okt 2025 14:32 WIB
Jakarta -

Warisan budaya tak ternilai dari era Napoleon III: tiara, bros, dan kalung, dicuri dari Museum Louvre pada 19 Oktober 2025. Jejak para pencuri masih misteri, sementara penyidik mendalami kemungkinan keterlibatan jaringan pencurian Eropa Timur yang beroperasi untuk kolektor kaya atau perdagangan ilegal.

Barang curian bernilai tinggi, tapi sulit dijual

Tim Carpenter, kepala organisasi perlindungan seni Argus Cultural Property Consultancy dan mantan kepala divisi kejahatan seni FBI, mengatakan bahwa karya seni tradisional seperti lukisan terkenal "sulit dimonetisasi" dan dijual kembali di pasar.

Namun, situasinya berbeda dengan logam mulia dan batu permata. Menurut Carpenter, benda-benda ini "makin sering jadi target pencurian, terutama di Eropa."

"Tentu saja, mereka bisa melelehkan bahan-bahan itu," jelasnya, seraya menambahkan bahwa hal itu merupakan "kerugian besar bagi warisan budaya."

Dalam kasus pencurian di Louvre, Carpenter meragukan bahwa barang rampasan akan dihancurkan. "Ini benda-benda yang sangat penting, dan saya menduga para pelaku ingin menyimpannya utuh. Karya-karya ini sangat mudah dikenali."

Meski peristiwa ini mengguncang dunia seni, perampokan di Louvre hanyalah satu dari rangkaian pencurian berani yang terus menghantui museum-museum di Eropa.

Perampokan Green Vault 2019: Terorganisir dan brutal

Pada 25 November 2019, dua pria bertopeng menerobos masuk ke Green Vault di Istana Kerajaan Dresden, menghancurkan etalase dengan kapak, dan mencuri 21 perhiasan yang memiliki lebih dari 4.000 berlian senilai €113 juta.

Aksi ini dilakukan oleh anggota klan Remmo, sindikat kriminal Berlin yang dikenal karena aksi perampokan spektakuler. Meski sebagian harta ditemukan pada 2022, banyak perhiasan yang masih hilang.

Kasus ini menyoroti bagaimana jaringan klan mengubah pencurian seni menjadi bisnis terorganisir yang cermat dan brutal.

Meski sulit dijual, pencurian perhiasan bersejarah tetap sangat menguntungkan, kata sejarawan seni Ulli Seeger.

"Geng-geng yang memiliki jaringan internasional semakin fokus pada objek dengan nilai material tinggi, emas, batu mulia, koin," kata Seeger. "Objek-objek ini lebih mudah dijual dibandingkan karya seni yang muncul di setiap katalog."

Namun, khususnya perhiasan harus diubah sepenuhnya terlebih dahulu, karena jika tidak, perhiasan itu bisa langsung dikenali dari potongannya.

Berlin 2017: Hilangnya emas raksasa dari Museum Bode

Dua tahun sebelum perampokan Dresden, anggota klan Remmo membobol Museum Bode di Berlin lewat jendela pada malam hari. Mereka mencuri koin emas seberat 100 kilogram, "Big Maple Leaf" senilai sekitar €3,75 juta. Para pencuri hanya mengincar nilai materialnya. Koin Kanada itu dihancurkan dan dilebur.

Paris 2010: "Spider-Man" mencuri mahakarya Picasso

Pada 2010, Vjeran Tomic — dijuluki "Spider-Man" karena keahlian memanjatnya — membobol Museum Seni Modern Paris dan mencuri lima mahakarya Picasso, Matisse, Modigliani, Braque, dan Leger. Total nilai: sekitar €100 juta.

Tomic ditangkap dan mengaku bertindak atas permintaan seorang kolektor. Namun hingga kini, lukisan-lukisan itu belum ditemukan, diduga telah dihancurkan untuk menghilangkan jejak.

Boston 1990: Pencurian seni terbesar sepanjang sejarah

Maret 1990, dua pria berseragam polisi membobol Museum Isabella Stewart Gardner di Boston dan mencuri 13 karya seni, termasuk lukisan Vermeer, Rembrandt, dan Degas. Nilai total: lebih dari $500 juta.

Hingga kini, kasusnya belum terpecahkan. Karya-karya tersebut diduga beredar di kalangan mafia sebagai "surat berharga bawah tanah" dan menjadi inspirasi berbagai film dokumenter.

Siapa dalangnya?

Karya seni memiliki nilai tinggi dan sulit dilacak, menjadikannya mata uang ideal bagi jaringan kriminal.

Di Jerman, pencurian benda seni kini dijalankan oleh organisasi terstruktur dengan logistik canggih. Di Eropa Selatan dan Timur, seni bahkan diperdagangkan dalam transaksi narkoba dan senjata.

Meski banyak dilakukan sindikat, tentu saja, ada juga pelaku individu, terutama orang dalam seperti petugas keamanan atau pegawai yang mengetahui titik lemah sistem keamanan museum.

Dan terakhir, meski jarang dan sering digambarkan romantis di film Hollywood, bisa saja ada kolektor pribadi di seluruh dunia yang ingin memiliki sebuah karya seni dan bersedia menyewa pencuri untuk mendapatkannya.

Menurut Interpol, lebih dari $6 miliar karya seni dicuri setiap tahun, dan hanya sekitar 10% yang berhasil ditemukan kembali.

Perampokan di Louvre menjadi pengingat bahwa seni bukan hanya indah, tetapi juga rentan. Kini, pasar gelap barang seni dan budaya sedang berkembang pesat.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Levie Wardana dan Tezar Aditya

Editor: Hani Anggraini

width="1" height="1" />




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork