Merujuk rencana Trump, senjata milisi di Jalur Gaza Palestina harus sepenuhnya dilucuti. Namun, sejauh ini hal tersebut belum terjadi.
Menurut laporan media Israel, Jerusalem Post, organisasi militan Islam tersebut terlibat dalam pertempuran sengit melawan kelompok-kelompok pesaingnya. Sedikitnya 32 orang dilaporkan tewas.
Di media sosial juga beredar video yang disebut-sebut menunjukkan Hamas mengeksekusi atau menyiksa orang-orang yang dituduh berkolaborasi dengan Israel. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Uni Eropa mengklasifikasikan Hamas sebagai organisasi teroris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum jelas apakah perlucutan senjata Hamas akan berhasil. Presiden AS Donald Trump memberikan pernyataan yang kontradiktif "Hampir seluruh kawasan telah menyetujui rencana untuk segera demiliterisasi Gaza, melucuti senjata Hamas, dan memastikan bahwa Israel tidak lagi terancam," ujarnya dalam pidatonya di Knesset, parlemen Israel.
Namun sebelumnya, dalam penerbangannya ke Israel, Trump menyatakan bahwa pemerintahnya telah mengizinkan Hamas untuk sementara mempersenjatai diri. Hamas, katanya, sedang berusaha mengembalikan ketertiban setelah berbulan-bulan perang.
"Pesan yang jelas"
Fakta bahwa Hamas segera hadir setelah penarikan pasukan Israel dan mengirimkan pasukan bersenjatanya ke Kota Gaza menyampaikan pesan yang jelas, kata Simon Wolfgang Fuchs, pakar studi Islam di Hebrew University Yerusalem.
"Hamas dengan tegas menunjukkan bahwa keberadaan mereka yang sama sekali tidak hilang dari Jalur Gaza. Sebaliknya, mereka terus mengklaim peran mereka di sana."
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Menurut analisis dari lembaga think tank Amerika Serikat, Atlantic Council, proses perlucutan senjata Hamas kemungkinan akan memakan waktu lama. Selama Hamas tetap eksis, baik sebagai kelompok bersenjata, gerakan politik, atau bahkan sekadar ide - akan selalu ada risiko besar mereka kembali memperluas pengaruhnya di Gaza untuk mengejar kepentingannya sendiri. Hal yang tampaknya sedang terjadi saat ini.
Senjata sebagai jaminan eksistensi
Hamas menganggap persenjataan mereka sebagai jaminan eksistensi baik secara militer, politik, maupun secara simbolis, ujar Simon Engelkes, Kepala Yayasan Konrad Adenauer di Ramallah, "Tanpa imbalan politik yang nyata, Hamas kemungkinan besar tidak akan menyetujui langkah semacam itu. 'Jaminan keamanan' dari Presiden Trump bahwa perang di Jalur Gaza tidak akan berlanjut setelah perjanjian gencatan senjata saat ini tidak cukup."
Meskipun struktur militer Hamas telah sangat dilemahkan selama perang, jaringan dan kehadiran mereka yang terlihat di Gaza tetap utuh, lanjut Engelkes. "Hal itu menjamin kelangsungan gerakan politik mereka, setidaknya dalam jangka pendek hingga menengah."
Siapa yang bertanggung jawab atas keamanan di Jalur Gaza?
Perlucutan senjata total Hamas juga akan sulit dilakukan karena keamanan internal Jalur Gaza selama ini berada di tangan Hamas - sebelum Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. Setelah mengambil alih pemerintahan wilayah tersebut pada tahun 2007, Hamas bertanggung jawab atas kepolisian, keamanan dalam negeri, serta sistem peradilan dan hukum.
Belum jelas siapa yang akan menjalankan fungsi-fungsi tersebut ke depannya. Mesir dan Yordania telah menyatakan bahwa mereka sedang mempersiapkan hingga 5.000 personel keamanan untuk penugasan di Jalur Gaza. Kepolisian dari otoritas Palestina juga akan dilibatkan dalam pasukan tersebut.
Namun, hal ini bisa menjadi masalah, kata Fuchs. "Sangat mungkin Israel akan menggunakan hak veto terhadap pasukan lokal ini."
Pemerintah di Yerusalem tidak ingin memberikan peran apa pun kepada otoritas Palestina di Gaza. Sebaliknya, mereka ingin mencegah kehadiran kekuatan mana pun berhubungan dengan pemerintahan Ramallah. "Dengan demikian, masih terbuka bagaimana kesepakatan akan dicapai dan di tangan siapa nantinya layanan keamanan itu akan berada," jelas Fuchs.
Bukan sekadar perlucutan senjata
Banyak negara tidak ingin Hamas kembali berkuasa. Presiden Prancis Emmanuel Macron memperingatkan tentang ancaman terus-menerus dari milisi tersebut.
"Kelompok teroris dengan ribuan pejuang, terowongan, dan persenjataan seperti itu tidak dapat dihancurkan dalam semalam," ujar Macron setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai di Sharm el-Sheikh, Mesir. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengatakan bahwa negaranya siap membantu perlucutan senjata Hamas. Pemerintah Jerman turut menolak kelanjutan politik Hamas.
Menurut Engelkes, pertikaian yang sesungguhnya masih di depan mata, "Persoalannya bukan sekadar perlucutan senjata, melainkan juga kontrol politik dan legitimasi: siapa yang akan berbicara untuk Gaza di masa depan dan dengan kewenangan apa?"
Potensi ancaman kawasan Arab juga Eropa
Mengabaikan kepentingan Hamas juga berisiko, jelas Martin Jger, Kepala Badan Intelijen Federal Jerman (BND), dalam sebuah rapat dengar pendapat di Parlemen Jerman. Jika Hamas tidak dilibatkan dalam pemerintahan transisi Gaza, diusir dari wilayah tersebut atau dipaksa kembali ke bawah tanah, maka ada "risiko nyata" bahwa mereka akan bertindak di luar Gaza. "Hal ini tentu akan berdampak pada kawasan Arab, dan sangat mungkin juga Eropa."
Dalam jangka panjang, para pengamat sepakat bahwa kunci stabilitas terletak pada upaya memberi rakyat Palestina kehidupan yang bermartabat. Jika hal tersebut tidak terwujud, kekerasan dapat kembali muncul di masa depan.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Yuniman Farid
Tonton juga video "Trump Tidak Akan Pakai Militer AS untuk Melucuti Senjata Hamas" di sini:
(nvc/nvc)










































