Harapan Reuni Keluarga Korea Terpisah Perang Kian Menipis

Harapan Reuni Keluarga Korea Terpisah Perang Kian Menipis

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Jumat, 10 Okt 2025 15:11 WIB
dw
Pertemuan reuni terakhir terjadi di Korea Utara pada tahun 2018 (Foto: Lee Su-Kil-Korea Pool/Getty Images)
Jakarta -

Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung kembali menyerukan kepada Korea Utara agar mengizinkan pertemuan singkat bagi keluarga yang telah terpisah selama puluhan tahun.

"Sayangnya, hubungan antar-Korea saat ini diliputi ketidakpercayaan yang dalam. Namun, isu keluarga terpisah tetap menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan bersama," ujar Lee dalam pidato peringatan hari memorial keluarga terpisah pada Sabtu lalu.

Lee mendorong adanya "dialog dan kerja sama" untuk menyelesaikan masalah ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perang besar antara Korea Utara dan Selatan berakhir dengan gencatan senjata tahun 1953 yang membagi Semenanjung Korea. Karena tidak ada perjanjian damai permanen, kedua negara secara teknis masih dalam keadaan perang.

Dalam pidatonya, Lee berjanji bahwa pemerintahannya akan berupaya maksimal untuk menanamkan perdamaian di Semenanjung Korea dan memastikan "kesedihan keluarga terpisah tidak diwariskan ke generasi berikutnya."

ADVERTISEMENT

Korea Utara "pegang semua kartu"

Pernyataan Presiden Lee disampaikan menjelang perayaan Chuseok, festival panen tahunan saat keluarga biasanya berkumpul dan menghormati leluhur.

Korea Utara belum memberikan tanggapan atas seruan Lee terkait reuni keluarga. Pertemuan semacam ini terakhir terjadi pada 2018, ketika 83 warga Korea Utara dipertemukan dengan 89 kerabat mereka dari Selatan setelah puluhan tahun terpisah. Saat itu, peserta tertua dari Korea Selatan berusia 101 tahun.

Kini makin disadari bahwa waktu kian menipis bagi keluarga yang terpisah di kedua sisi Zona Demiliterisasi. Sikap Pyongyang terhadap isu ini tampaknya makin keras. Awal tahun ini, Korea Utara bahkan merobohkan lokasi tradisional tempat reuni keluarga biasa digelar.

"Saya rasa Korea Utara bahkan tidak berniat untuk membalas," kata Kim Sang-woo, mantan politisi dan kini pengurus di Kim Dae-jung Peace Foundation, kepada DW.

Menurutnya, Korea Utara kini "memegang semua kartu." Dengan mempererat hubungan dengan Cina dan Rusia, Pyongyang merasa tidak perlu lagi menuruti keinginan Seoul, meskipun secara politik tetap bergantung pada Beijing. Bahkan, kerja sama dengan Moskow sudah sejauh mengirim pasukan Korea Utara untuk berperang di Ukraina.

"Jelas Presiden Lee punya niat baik, tapi ini justru menyiksa keluarga yang diberi harapan palsu untuk bertemu kembali, hanya untuk akhirnya kecewa," ujar Kim.

Seumur hidup tanpa kabar keluarga

Dan Pinkston, profesor hubungan internasional di Troy University di Seoul, telah bertemu banyak warga Korea yang terpisah dari keluarganya sejak perang 1950-an, bahkan tidak tahu apakah kerabat mereka masih hidup.

"Ini situasi yang benar-benar tragis," katanya. Pinkston menyinggung seorang pegawai Kementerian Unifikasi Korea Selatan yang dulu membantu mengatur reuni keluarga. Ayah pegawai itu pernah punya saudara perempuan yang sedang belajar menjadi perawat ketika pasukan Korea Utara menyerbu Seoul pada 1950. Perempuan itu ditawan dan dibawa ke Utara, dan sejak saat itu tak pernah ada kabar.

Setiap kali Korea Utara menyerahkan daftar nama calon peserta reuni, sang pegawai selalu mencari nama bibinya dengan harapan bisa bertemu kembali. Namun, nama itu tak pernah ada. "Itu sangat menyedihkan, dan hanya satu dari ribuan kisah serupa," ujar Pinkston.

Menurutnya, kecil kemungkinan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengindahkan permintaan Presiden Lee. "Kenapa Kim harus memberi keuntungan politik bagi Selatan? Seoul kini tak lagi punya pengaruh yang dulu berupa tawaran bantuan ekonomi atau lainnya," ujarnya.

Propaganda Korea Utara terancam runtuh oleh reuni keluarga

Faktor lain yang mungkin dipertimbangkan Korea Utara adalah bahwa jika reuni keluarga benar-benar terjadi, hal itu bisa memicu perasaan nasionalisme dan keinginan emosional untuk bersatu kembali.

"Ada risiko nyata reuni memicu sentimen nasionalis dan keinginan emosional untuk reunifikasi. Itu bertentangan dengan kebijakan Pyongyang dalam setahun terakhir yang menegaskan Utara dan Selatan adalah dua negara bermusuhan," kata Dan Pinkston.

Kim Sang-woo menambahkan, ada jebakan propaganda bagi rezim jika reuni terjadi. "Rezim selama ini mengendalikan rakyat dengan semacam mantra yang mereka ciptakan. Selama generasi mereka menanamkan keyakinan bahwa Selatan itu korup, budak Amerika Serikat, tidak merdeka, penuh kekacauan, dan di ambang kehancuran," ujarnya.

"Untuk menjaga citra itu, mereka tidak bisa membiarkan kontak antara rakyatnya dengan keluarga di Selatan," tegas Kim. "Ini memang sangat menyedihkan, tetapi saya tidak melihat Utara akan mengubah sikapnya dalam waktu dekat."

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu

Editor: Hani Anggraini

Saksikan Live DetikSore:




(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads