Filipina menduduki pemuncak peringkat negara dengan risiko paling tinggi untuk menjadi korban bencana alam, disusul India dan Indonesia. Laporan Risiko Global ini diterbitkan oleh aliansi organisasi bantuan kemanuasaan dan pembangunan Jerman, BΓΌndnis Entwicklung Hilfe, besserte Institut Hukum Humaniter dan Perdamaian (IFHV) RΓΌhr-UniversitΓ€t Bochum.
Negara-negara lain yang turut masuk '10 besar' negara-negara berisiko adalah Kolombia, Meksiko, Myanmar, Mozambik, Rusia, Cina, dan Pakistan.
Laporan Risiko Global 2025 memfokuskan kajiannya pada banjir, sebagai bencana alam yang semakin sering terjadi dan berdampak secara global, tidak hanya merusak infrastruktur tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan ekonomi jangka panjang. Laporan ini mengkaji penyebab banjir, dampaknya terhadap masyarakat, serta solusi berbasis alam dan kebijakan untuk meningkatkan ketahanan terhadap risiko banjir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banjir terbagi dalam tiga kelompok utama. Pertama, Banjir Fluvial yang terjadi ketika air sungai meluap setelah hujan deras atau pencairan salju seperti yang terjadi di Pakistan saat monsun (pergantian arah angin musiman) atau banjir Ahr di Jerman (2021).
Kedua, Banjir Pluvial yang diakibatkan curah hujan tinggi yang melebihi kapasitas tanah atau drainase kota - kerap terjadi di Jakarta karena tingginya urbanisasi membuat resapan yang rendah.
Ketiga, Banjir Pesisir yang disebabkan pasang laut, badai, atau Tsunami - hal ini kerap diperparah dengan kenaikan permukaan air laut akibat perubahan Iklim. Banjir pesisir kerap melanda Filipina, Maladewa, bahkan kota pesisir seperti Semarang atau Jakarta Utara.
Mengapa Filipina, India, dan Indonesia ada di urutan tiga besar?
Secara geografis Filipina negara kepulauan yang sangat rentan bencana alam seperti badai tropis, tsunami, dan kenaikan permukaan laut. Sama halnya dengan Indonesia, yang ditambah dengan faktor "ring of fire" yang memungkinkan lebih banyak bencana letusan gunung berapi. Sedang India dengan luasnya wilayah daratan memiliki banyak sungai besar dengan dataran rendah rawan banjir dan padat populasi.
Ketiga negara tersebut memiliki kerentanan sosial ekonomi dengan daerah miskin dan kepadatan tinggi, yang menyulitkan evakuasi. Infrastruktur yang ada juga masih belum memadai.
Selain itu, sistem peringatan dini dan mitigasi bencana di Filipina walau sudah tergolong maju, namun belum menjangkau pulau terpencil, sedang di India keterbatasan koordinasi antar wilayah masih bermasalah dan di Indonesia integrasi teknologi dan koordinasi nasional terkait mitigasi bencana masih tergolong lemah.
Faktor seperti urbanisasi yang cepat, degradasi lingkungan, dan perubahan iklim semakin memperburuk dampak bencana di ketiga negara tersebut.
Afrika juga sangat rentan
Secara global negara-negara di Afrika juga tergolong sangat rentan, terutama Republik Afrika Tengah, Somalia, Chad, Sudan Selatan, dan Republik Demokratik Kongo. Para ahli mengelompokkan faktor-faktor seperti ketimpangan sosial atau sistem kesehatan yang lemah, yang semakin memperburuk dampak bencana alam. Perubahan iklim juga memperburuk situasi, memicu bencana alam lebih sering dan lebih ekstrem terjadi.
Bencana alam ekstrem melampaui kapasitas sistem perlindungan yang ada dan menyebabkan kerusakan yang semakin parah, demikian disebutkan dalam Laporan Risiko Global yang diterbitkan bersamaan dengan indeks tersebut.
Untuk periode antara 2020 dan 2024, para penulis studi memperkirakan kerusakan akibat banjir di seluruh dunia mencapai 325 miliar dolar (Rp 5400 triliun). Penyebabnya tidak hanya terletak pada proses alam, tetapi juga pada urbanisasi dan pengalihfungsian lahan yang terus berlanjut.
Bagaimana dengan Jerman?
"Bencana banjir termahal terjadi pada Juli 2021 di Eropa Tengah (...) akibat banjir bandang di Ahrtal dan wilayah sekitarnya," demikian laporan Risiko Global 2025. Meskipun demikian, Jerman hanya menempati peringkat ke-95 dalam Indeks Risiko Global saat ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Jerman berada di peringkat tengah dari total 193 negara yang dianalisis.
Laporan Risiko Global turut mendesak agar dilakukan perlindungan iklim dan lingkungan yang lebih baik serta peningkatan investasi dalam pencegahan bencana.
Selain itu, laporan turut memperingatkan agar anggaran bantuan pembangunan tidak dikurangi. "Daripada bereaksi setelah bencana itu terjadi, kita harus bertindak secara preventif," tegas Ilona Auer-Frege, Direktur Eksekutif BEH.
"Risiko banjir dapat dikurangi secara signifikan jika ada kemauan politik dan pengetahuan lokal yang bersatu."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Agus Setiawan
Simak juga Video 'Catat! Ini Daerah yang Diprediksi Hujan Lebat Sepekan ke Depan':
(nvc/nvc)