Apakah Perserikatan Bangsa-Bangsa Masih Berfungsi?

Apakah Perserikatan Bangsa-Bangsa Masih Berfungsi?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Kamis, 25 Sep 2025 09:47 WIB
Jakarta -

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) menginjak usia yang ke-80 tahun minggu ini. Para pemimpin dunia berkumpul di New York untuk memperingatinya. Namun, di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, perubahan iklim yang kian memburuk, dan meningkatnya tantangan tatanan global berbasis hukum, suasana UNGA jauh dari kemeriahan.

Sebaliknya PBB menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Salah satu penyebab utamanya adalah perpecahan di Dewan Keamanan (DK) PBB terkait perang Israel di Gaza dan invasi Rusia ke Ukraina. Misi penjaga perdamaian PBB di Afrika juga mendapat kritik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, tahun lalu sekelompok pakar kebijakan iklim, termasuk di dalamnya mantan kepala iklim PBB Christiana Figueres, mantan Sekjen PBB Ban Ki-moon, dan ilmuwan iklim terkemuka Johan Rockstrm, menyebut KTT iklim COP "sudah tidak lagi sejalan dengan fungsinya."

Namun, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menekankan pentingnya PBB dalam menangani isu-isu global. "Tidak ada negara yang bisa menghentikan pandemi sendirian. Tidak ada pasukan yang bisa menghentikan suhu bumi yang terus meningkat," katanya saat berpidato di Sidang Umum PBB, Selasa (23/9) lalu.

ADVERTISEMENT

Apa fungsi Sidang Umum PBB (UNGA)?

Sebagai salah satu dari enam organ utama PBB, UNGA adalah salah satu badan perwakilan utama PBB yang menyediakan ruang untuk merumuskan kebijakan dan mengeluarkan rekomendasi melalui resolusi.

Namun, resolusi yang dilahirkan UNGA pada dasarnya hanyalah pernyataan niat. Negara-negara menyatakan posisinya untuk disepakati secara internasional. Namun, resolusi ini secara umum tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

"Kami tidak dapat memberi hadiah ataupun hukuman," ungkap Guterres menjawab tantangan yang dihadapi PBB untuk berkontribusi langsung pada keamanan Internasional. "Dan karena kami tidak punya insentif atau sanksi dalam dunia yang terpecah secara geopolitik seperti sekarang ini, sangat sulit untuk menyadarkan pada pelaku konflik pentingnya mencapai perdamaian."

Apakah PBB benar-benar bisa membantu menciptakan perdamaian?

Dewan Keamanan PBB (UNSC) dianggap sebagai badan utama untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, tetapi selama ini kerap dikritik karena komposisinya anggota tetapnya yang terbatas, yang sering menyebabkan resolusi terblokir.

DK PBB terdiri dari lima anggota tetap: Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, dan Prancis, negara-negara pemenang Perang Dunia II yang juga pemilik senjata nuklir. Selain kelima negara tersebut ada 10 anggota tidak tetap yang dipilih setiap dua tahun berdasarkan sistem rotasi regional.

Yang sangat krusial adalah kelima anggota tetap memiliki hak veto β€” kekuatan untuk membatalkan keputusan secara sepihak. Namun bagi 10 anggota tidak tetap tanpa veto, untuk membatalkan suara dibutuhkan tujuh dari sepuluh anggota untuk menolak resolusi agar suara gagal disahkan.

Hak veto ini secara konsisten digunakan oleh negara-negara besar untuk melindungi kepentingan mereka sendiri, seperti saat AS memblokir resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza atau Rusia memveto resolusi untuk menghentikan perang di Ukraina.

Para kritikus mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB sudah tidak lagi relevan dan representatif. Hal ini terutama berlaku bagi Afrika dan Amerika Selatan, yang tidak memiliki perwakilan tetap di DK PBB.

Daniel Forti, analis senior PBB di lembaga think tank International Crisis Group, mengatakan kepada DW bahwa reformasi sulit dilakukan karena "lima anggota tetap enggan menyetujui perubahan apa pun yang bisa mengurangi pengaruh mereka."

"Sedikit sekali yang akan mengatakan bahwa Dewan Keamanan berfungsi dengan baik saat ini," lanjutnya. "Benturan geopolitik antara AS, Cina, dan Rusia telah membuat Dewan Keamanan PBB hampir tidak mampu merespons konflik-konflik terburuk di dunia sepuluh tahun terakhir. Ini telah merusak kredibilitas DK yang juga merambat pada kredibilitas PBB."

Apakah AS yang 'menarik diri' membuat PBB terpuruk?

Pendanaan PBB berasal dari kontribusi para negara anggotanya, dalam bentuk sumbangan wajib berdasarkan ukuran dan pendapat negara, serta kontribusi sukarela, yang umumnya datang dari negara-negara maju.

Meskipun Amerika Serikat masih memberikan kontribusi, keputusan Donald Trump untuk mengeluarkan berbagai perintah eksekutif yang menarik diri dari beberapa lembaga dan program PBB, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), telah membuat organisasi ini mengalami kesulitan keuangan.

Awal bulan ini, Guterres mengusulkan pemotongan anggaran sebesar $500 juta (sekitar Rp. 8,3 triliun) untuk tahun depan, atau sekitar 15% dari anggaran pokok PBB, dari $3,7 miliar (Rp. 61 triliun) menjadi $3,2 miliar (Rp. 53 triliun). Inisiatif seperti Program Pangan Dunia WFP, untuk pengungsi UNHCR, dan WHO yang memerlukan anggaran dana yang lebih besar, kini menghadapi ketidakpastian.

"Pemotongan dan pembekuan bantuan yang dilakukan Washington memaksa organisasi ini melakukan pengetatan besar-besaran," kata Forti. "Tidak ada negara lain yang mengambil alih menutup 'kesenjangan' dana dukungan AS … Ini berarti lebih sedikit kampanye vaksinasi, lebih sedikit inisiatif pendidikan, dan lebih sedikit dukungan untuk pemukiman pengungsi."

Bisakah PBB direformasi dan dibuat lebih relevan?

Seruan untuk reformasi PBB sudah ada sejak lama, hampir sepanjang organisasi itu berdiri, tetapi kini semakin keras dan meluas. Presiden Irlandia, Michael D. Higgins, tahun lalu menyerukan agar PBB "dirancang ulang untuk masa depan, dengan memberi peran lebih bagi Afrika, Asia, dan Amerika Latin."

Pada bulan Februari, Trump berkata: "Saya selalu merasa bahwa PBB punya potensi besar. Tapi saat ini belum memenuhi potensi tersebut." Ia mengulangi klaim itu lagi dalam Sidang Umum pekan ini.

Forti juga melihat perlunya perubahan. "Organisasi ini bisa direformasi. Tapi itu akan menjadi jalan yang sulit. Reformasi serius akan memakan waktu dan mungkin menjadi proses yang menyakitkan bagi negara-negara yang bergantung pada PBB," katanya.

"Membawa PBB ke era berikutnya akan membutuhkan visi reformasi yang jelas dari Sekretaris Jenderal berikutnya, dan dukungan diplomatik besar dari banyak negara anggota. Organisasi ini telah melewati masa-masa sulit sebelumnya. Untuk bisa melakukannya lagi, negara-negara harus mampu membuktikan mengapa PBB penting bagi mereka," tegas analis senior International Crisis Group tersebut.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Yuniman Farid

Lihat juga Video 'Trump di PBB: Pengakuan Negara Palestina Jadi Hadiah untuk Hamas':

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads