Teknologi Fitoekstraksi: Panen Nikel di Ladang Bunga?

Teknologi Fitoekstraksi: Panen Nikel di Ladang Bunga?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 24 Sep 2025 16:20 WIB
Jakarta -

Di sebuah ladang di Albania utara, petani sibuk memanen di sela-sela deretan tanaman mustard kuning. Hasil panennya bukan biji atau minyak, melainkan nikel.

Tanaman itu termasuk satu dari sekitar 700 spesies hiperakumulatorβ€”jenis tumbuhan yang mampu menyerap logam dalam jumlah besar dari tanah, mulai nikel, seng, tembaga, hingga emas dan elemen tanah jarang.

Tanaman hiperakumulator mampu menyimpan logam di batang, daun, atau getahnya, sebagai trik racun untuk melindungi diri dari predator dan patogen. Bagi tanaman, logam-logam itu tak berbahaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari remediasi lahan ke "tambang hijau"

Pada 1980-an, ilmuwan pertama kali menggunakan tumbuhan ini untuk membersihkan lahan tercemar logam berat akibat tambang atau peleburan. Sejumlah tanaman bahkan dikabarkan mampu menyerap sesium radioaktif dari tanah sekitar lokasi bencana nuklir Chernobyl.

Namun baru pada dekade 1990 muncul gagasan untuk memanfaatkan logam yang terkumpul pada tanaman. Dari situlah lahir konsep "fitomining"β€”menambang dengan tanaman.

ADVERTISEMENT

Tiga puluh tahun kemudian, gagasan "menambang" logam dengan menanam bunga nyaris menjadi ladang bisnis. Pertanyaannya: mungkinkah cara ini menyaingi tambang industri raksasa?

Model bisnis fitomining

Ladang di Tropoje, Albania, misalnya, mengandung nikel dalam kadar terlalu tinggi untuk ditanami pangan, tapi tak cukup kaya untuk membuka tambang konvensional. "Tempat ideal bagi fitomining," kata Eric Matzner, pendiri startup Metalplant yang menggarap lahan 10 hektare itu.

Target minimal, kata dia, sekitar sepertiga ton nikel per hektare. Tumbuhan odontarrhena di lahan itu menyerap logam lalu menyimpannya. Setelah dipanen dan dikeringkan, 2 persen bobot kering tanaman adalah nikel. Metalplant menggiling dan membakar tanaman, menghasilkan konsentrat abu atau "bio-ore". Abu itu dicuci, lalu dengan asam sulfat diolah menjadi cairan, disaring, dan dikristalkan menjadi nikel sulfatβ€”bahan penting baterai mobil listrik.

Jejak hijau vs tambang konvensional

"Dampak lingkungan fitomining rendah," kata Antony van der Ent, peneliti Wageningen University, Belanda, sekaligus penasihat perusahaan Botanickel. Tambang konvensional justru sering membawa kerusakan: deforestasi, limbah beracun yang mencemari lingkungan, serta emisi gas rumah kaca tinggi. Nikel termasuk paling kotor, dengan jejak emisi 10–59 ton per ton logam.

Sebaliknya, fitomining ramah iklim. Tanaman menyerap karbon dalam jumlah besar, lalu melepasnya kembali saat dibakar. "Hasilnya nikel murni dengan misi karbon nyaris nol," ujar van der Ent. Lahan yang ditinggalkan pun bisa dibersihkan untuk keperluan lain, seperti kehutanan atau rekreasi, tambah Rupali Datta, biokimiawan Michigan Tech University.

Lapar akan nikel

Meski bisa menyerap berbagai logam, fitomining sejauh ini baru fokus pada nikelβ€”logam yang banyak ditemukan di lapisan tanah atas di Indonesia, Filipina, Brasil, Afrika Selatan, hingga Amerika Serikat.

Permintaan nikel, kata Badan Energi Internasional, IEA, diperkirakan melonjak dua kali lipat pada 2050, didorong kebutuhan baterai kendaraan listrik. Pasokan kini masih dominan dari tambang milik Cina di Indonesia. Phytomining bisa jadi alternatif bagi negara dengan kandungan nikel lebih rendah.

Layak atau tidak?

Firma riset BloombergNEF memperkirakan fitomining masih terlalu mahal bagi pembeli nikel. Metalplant enggan buka harga, tapi menargetkan harga bisa setara dengan pasar nikel konvensional. "Kami menyebutnya keuntungan hijau: produk lebih baik dengan harga sama," kata Matzner.

Musim tanam ketiga ini, Metalplant mengklaim panen lebih dari tiga ton nikel dari 10 hektare lahannya di Albania. Angka yang masih jauh dibanding tambang konvensional, yang bisa menghasilkan jumlah sama hanya dalam setengah jam.

Untuk menyaingi satu tambang nikel, butuh ladang 200 ribu hektareβ€”2,5 kali luas New York City. Menggantikan seluruh produksi global, perlu 15 juta hektare, sebesar Tunisia. "Ekonomi skala jadi faktor utama. Semakin besar, semakin murah. Tapi kendala phytomining justru lahan," kata Kwasi Ampofo, analis BloombergNEF.

"Fitomining tak bisa mengganti tambang konvensional, tapi bisa jadi pelengkap," ujar Datta. Lagi pula, ladang monokultur seluas ribuan hektare juga akan berdampak terhadap lingkungan: pupuk, pestisida atau penyedotan air.

Van der Ent melihat peluang terbesar justru di komunitas kecil yang kesulitan bertanam pangan. "Di situlah potensinya," katanya. Masyarakat bisa meraih keuntungan dari nikel sambil membersihkan tanah mereka.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan

Lihat juga Video: Komisi VIII DPR RI Minta PT Gag Nikel Setop Beroperasi

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads