Bagaimana Gerakan Perempuan Iran 3 Tahun Pasca Mahsa Amini?

Bagaimana Gerakan Perempuan Iran 3 Tahun Pasca Mahsa Amini?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Selasa, 16 Sep 2025 17:53 WIB
Jakarta -

Tiga tahun sudah sejak Jina Mahsa Amini meninggal dunia di ruang tahanan polisi moral di Teheran. Usianya baru 22, seorang perempuan Kurdi yang tubuhnya ditarik dari jalanan karena tak berjilbab, lalu tak kembali.

Kematian perempuan berusia 22 tahun itu pada 16 September 2022 memicu protes antipemerintah besar-besaran di seluruh negeri. Dari sana, lahirlah teriakan yang bergema: "Zan, Zendegi, Azadi," Perempuan, Kehidupan, Kebebasan.

Otoritas Iran menindak brutal letupan protes perempuan Iran, hingga kini sudah menewaskan sedikitnya 500 orang, serta menangkap lebih dari 20.000 orang, menurut kelompok hak asasi manusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski rezim teokrasi di Teheran berhasil menyintasi amarah publik, kematian Amini dipandang sebagai titik balik bagi Iran.

Apa yang berubah sejak kematian Amini?

Kini, tiga tahun kemudian, rezim masih berdiri. Tapi perempuan-perempuan muda terlihat lebih sering berlalu lalang di jalanan dengan kepala tak berselubung jilbab, menantang ancaman dan todongan.

ADVERTISEMENT

Atefeh Chaharmahaliyan, penulis dan aktivis hak asasi manusia asal Iran terpaksa mencari suaka di Jerman, usai ditangkap saat gelombang protes 2022 dan dipenjara lebih dari 70 hari.

"Tuntutan rakyat sekarang melampaui kebebasan berpakaian," katanya kepada DW.

"Masyarakat Iran β€” terutama generasi muda β€” memahami dengan jelas bahwa tuntutan ekonomi dan kebebasan adalah dua pilar dari satu bangunan; tanpa yang satu, yang lain runtuh."

Noktah hitam bagi kepemimpinan Iran

Peringatan kematian Amini datang pada saat genting bagi kepemimpinan Iran, yang masih berusaha pulih setelah perang 12 hari melawan Israel pada Juni lalu, serta serangan terhadap infrastruktur nuklirnya oleh Israel dan Amerika Serikat.

Sejak serangan itu, krisis ekonomi pun semakin parah, memperdalam kekecewaan publik dan menyingkap disfungsi di jantung Republik Islam.

Situasi ini membuat rezim merasa semakin tidak aman, kata seorang aktivis masyarakat sipil di Teheran.

"Sejak perang dengan Israel, jumlah penangkapan melonjak, dan laju eksekusi meningkat secara mengerikan," kata aktivis itu kepada DW dengan syarat anonim demi keamanan.

"Pemerintah melancarkan tekanan bertubi-tubi untuk menakut-nakuti rakyat agar tidak kembali ke jalanan."

Namun, dia menambahkan, semangat rakyat Iran untuk kebebasan dan keadilan tetap utuh. "Tuntutan ini justru semakin mengakar dan lebih disadari."

Akankah lahir gerakan baru?

Helen Nosrat, aktivis perempuan Iran yang hidup di Jerman, ragu bahwa protes besar-besaran anti-pemerintah akan bisa muncul dalam waktu deat.

"Meski gerakan Mahsa meninggalkan luka yang bertahan lama dan ikut melemahkan kewajiban berjilbab, kecil kemungkinan gerakan serupa akan muncul setelah perang dengan Israel," ujarnya.

"Situasi perang telah menciptakan masalah jauh lebih besar bagi rakyat. Sebagian besar kini harus berusaha bertahan hidup β€” melindungi diri dan keluarga β€” ketimbang merobohkan rejim."

Behnam Daraeizadeh, pengacara sekaligus peneliti di Center for Human Rights in Iran (CHRI) yang berbasis di AS, punya pandangan serupa.

"Perkembangan regional dan konfrontasi militer Iran dengan Israel dan Amerika Serikat tidak otomatis memicu protes demokratis. Justru bisa menahan atau melumpuhkan," katanya.

"Perang memperkuat persepsi bahwa masa depan ada di tangan aktor militer dan diplomatik, bukan rakyat. Dan saat ketegangan militer meningkat, pemerintah memperkeras represi terhadap aktivis sipil."

Rakyat Iran menanggung beban krisis ekonomi

Chaharmahaliyan mengatakan konflik dengan Israel telah "memperparah rantai krisis jangka panjang di Iran."

"Kombinasi kesulitan ekonomi dan tuntutan kebebasan menciptakan kondisi serius bagi gelombang protes baru," tambahnya.

Pengamat menilai krisis ekonomi yang menggigit menjadi perhatian utama rakyat Iran.

Ekonomi Iran telah lama tertekan akibat sanksi keras AS sejak pembatalan sepihak perjanjian nuklir pada 2018, di masa pemerintahan pertama Presiden Donald Trump. Saat kembali berkuasa pada Januari, Trump menghidupkan kembali kampanye sanksi "tekanan maksimum" terhadap Teheran.

Saat ini Iran bergulat dengan inflasi tinggi, daya beli yang menyusut, pengangguran genarasi muda, dan meningkatnya kemiskinan.

Daraeizadeh menyebut, setiap gerakan protes baru kemungkinan besar akan dipicu oleh tuntutan ekonomi, krisis yang semakin dalam, ketimpangan parah, serta kemarahan kelompok miskin dan termarjinalkan β€” terutama di kota kecil dan wilayah kurang beruntung.

Chaharmahaliyan menegaskan, setiap pemberontakan baru "sangat mungkin lebih dalam dan lebih radikal dibanding gerakan tiga tahun lalu."

"Semakin besar tekanan di wilayah perbatasan, daerah miskin, dan kelompok ekonomi rentan, semakin besar pula kemungkinan etnis minoritas, penduduk provinsi perbatasan, dan sektor buruh akan bergabung, serta aksi mogok akan lebih luas dan terorganisasi dibanding tiga tahun lalu," tegasnya.

Nosrat menambahkan, "gerakan protes berikutnya mungkin akan lebih menekankan isu ekonomi, keadilan sosial, dan keamanan. Mungkin kata 'kehidupan' akan bergema lebih kuat dibanding 'kebebasan.'"

Artkel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan

Lihat juga Video: Lagi! Iran Hukum Mati 3 Pengunjuk Rasa Kematian Mahsa Amini

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads