Baru-baru ini, pemerintah Thailand mencabut larangan hak bekerja bagi para pengungsi jangka panjang dari Myanmar yang telah tinggal di sembilan kamp pengungsian di sepanjang perbatasan Thailand.Beberapa di antaranya telah berada di sana sejak tahun 1980-an. Sebelumnya selama puluhan tahun, para pengungsi ini dilarang bekerja.
Langkah ini diambil setelah pemerintahan Presiden AS Donald Trump memotong bantuan kemanusiaan di berbagai belahan dunia. AS sebelumnya merupakan penyumbang terbesar bantuan pangan bagi para pengungsi di kamp-kamp tersebut.
Pemotongan dana bantuan pangan ini diperparah oleh gelombang baru pengungsi yang melarikan diri dari perang saudara di Myanmar. Awal tahun ini, organisasi amal yang mengelola bantuan pangan asing di kamp-kamp tersebut terpaksa membatalkan jatah makanan bagi sebagian besar pengungsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berusaha mengatasi pemotongan bantuan AS, The Border Consortium (TBC) β payung organisasi amal yang beroperasi di kamp-kamp tersebut dan bermarkas di Bangkok β mengeluarkan seruan pendanaan darurat kepada para donor pada bulan Maret.
"Tanpa pendanaan segera, para pengungsi menghadapi situasi yang genting dan mengancam jiwa," demikian bunyi pernyataan saat itu.
Namun, bantuan tambahan tidak kunjung datang, yang mendorong pemerintah Thailand turun tangan dan mengumumkan resolusi pekan lalu.
"Karena adanya pemotongan bantuan asing, kabinet telah menyetujui pemberian izin khusus bagi kelompok pengungsi ini untuk tinggal dan bekerja di negara ini demi mendukung diri sendiri dan keluarga mereka," demikian pernyataan resmi pemerintah.
Langkah bersejarah yang disambut baik dunia internasional
Badan Pengungsi PBB, UNHCR, menyambut baik langkah tersebut. Meski keputusan ini hanya berlaku bagi sebagian kecil pengungsi, UNHCR menyebutnya sebagai "tolok ukur regional" untuk solusi pengungsi yang berbasis hak asasi manusia. UNHCR juga menyatakan akan mendorong agar resolusi ini diperluas mencakup semua pengungsi. Resolusi saat ini berlaku untuk sekitar 80.000 pengungsi jangka panjang dari Myanmar.
Selama bertahun-tahun, organisasi bantuan dan advokasi telah mendesak pemerintah agar memberikan hak bekerja kepada para pengungsi, yang akan memungkinkan mereka lebih mandiri dan berpartisipasi dalam perekonomian.
Kamp-kamp pengungsian mulai muncul di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar sejak tahun 1980-an. Hingga kini, sebagian besar tempat tinggal pengungsi hanyalah gubuk dari bambu, kayu, dan daun, dengan fasilitas listrik dan air bersih yang sangat terbatas.
Dengan minimnya akses pendidikan dan kesempatan kerja di dalam kamp β dan sebelumnya dilarang belajar atau bekerja di luar kamp β sebagian besar pengungsi bergantung sepenuhnya pada bantuan asing untuk bertahan hidup.
Dalam pernyataannya pekan lalu, perwakilan UNHCR untuk Thailand, Tammi Sharpe, menyebut perubahan kebijakan ini sebagai "titik balik" yang memungkinkan para pengungsi untuk mendukung diri mereka sendiri sekaligus menstimulasi perekonomian lokal.
Direktur eksekutif TBC, Leon de Riedmatten, juga memuji langkah pemerintah yang mengizinkan pengungsi tinggal dan bekerja di luar kamp, menyebutnya sebagai keputusan yang "sangat positif."
"Mereka menyadari bahwa TBC tidak berhasil menemukan donor lain yang bisa menggantikan Amerika. Jadi, pilihannya adalah pemerintah harus memberikan bantuan pangan, atau mencari alternatif. Dan ini jelas pilihan yang terbaik dan paling realistis," ujarnya kepada DW.
Survei gizi yang dirilis TBC awal tahun ini menunjukkan angka kekurangan gizi kronis pada anak-anak di kamp terus meningkat sejak 2022.
Saat ini juga sedang dirancang rencana untuk memberikan layanan kesehatan bagi para pengungsi.
"Memberikan izin kerja di luar kamp adalah langkah bersejarah. Tapi, menyetujui rencana Kementerian Kesehatan β termasuk asuransi kesehatan β juga penting agar kesehatan pengungsi tetap terjaga dalam jangka panjang," kata Darren Hertz, Direktur IRC (International Rescue Committee) di Thailand.
IRC sebelumnya mengoperasikan beberapa klinik kesehatan di dalam kamp, namun harus menghentikan operasinya setelah pendanaan dari AS dihentikan di bawah pemerintahan Trump. Kini IRC tengah menyerahkan pengelolaan klinik-klinik itu kepada rumah sakit pemerintah setempat.
"Zaman di mana kamp-kamp didukung oleh bantuan asing mungkin sudah berakhir," tandas Hertz, memuji solusi pemerintah Thailand sebagai langkah yang "pragmatis."
Kekurangan tenaga kerja migran, Thailand butuh tenaga pengungsi
Menurut de Riedmatten, pemerintah Thailand kemungkinan juga terdorong oleh anjloknya jumlah tenaga kerja migran.
Data Kementerian Tenaga Kerja Thailand menunjukkan sekitar 900.000 pekerja migran asal Kamboja telah kembali ke negara asalnya setelah konflik perbatasan berdarah selama lima hari pada bulan Juli.
Meski beberapa perkiraan nonresmi menyebut jumlahnya tak lebih dari 500.000, angka ini tetap signifikan dari total 3,1 juta pekerja migran resmi yang tercatat bekerja di Thailand pada tahun 2024.
Ruttiya Bhula-or, yang merupakan seorang profesor ekonomi tenaga kerja dari Universitas Chulalongkorn, mengatakan pengungsi di kamp perbatasan bisa membantu mengisi sebagian kekosongan tenaga kerja, terutama untuk pekerjaan 3D β yakni pekerjaan kotor, berat, dan berbahaya.
"Ini jelas akan membantu karena kebanyakan dari mereka bersedia bekerja di sektor 3D, dan bisa mengisi kekurangan tenaga kerja sampai batas tertentu. Tapi jumlah mereka tidak terlalu besar," ujarnya.
Namun, Ruttiya menambahkan, para pengungsi memiliki kesempatan terbatas untuk memperoleh keterampilan kerja di kamp, dan mungkin tidak cocok untuk banyak pekerjaan yang sebelumnya diisi pekerja Kamboja.
"Keunggulan pekerja Kamboja ada di sektor perikanan dan konstruksi. Tapi keterampilan pengungsi belum tentu cocok sepenuhnya," imbuhnya.
Menurutnya, pengungsi lebih mungkin bekerja di sektor pertanian atau layanan dasar seperti dapur, gudang, dan perhotelan.
Dengan melegalkan status mereka yang sudah bekerja secara ilegal, Ruttiya menambahkan bahwa izin kerja ini bisa membantu pengungsi menuntut upah lebih baik dan melaporkan majikan yang abusif.
Pengungsi Myanmar sambut gembira peluang baru
Eh Khu Moo, 32 tahun, melarikan diri dari Myanmar ke Thailand pada tahun 2005 saat masih berusia remaja. Kepada DW, ia mengaku telah mempelajari bahasa Inggris, komputer, dan perbaikan sepeda motor di kamp, dan kini berharap bisa mendapatkan pekerjaan.
"Saya sangat senang bisa bekerja di luar kamp," paparnya. "Bekerja di luar akan lebih baik untuk mencari uang dan mendukung keluarga kami."
Tun, seorang pengungsi yang juga pejabat kamp berusia 60-an, mengatakan bahwa ia kebanjiran pertanyaan dari para pemuda yang ingin tahu bagaimana cara memanfaatkan hak kerja baru tersebut.
Setelah menghabiskan sebagian besar β atau bahkan seluruh β hidup mereka di kamp, dan masih takut kembali ke kampung halaman yang dilanda perang, para pengungsi kini melihat secercah harapan baru.
"Sebab di dalam kamp tidak ada masa depan. Mereka menginginkan kebebasan," pungkasnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Yuniman Farid
Lihat juga Video Farel Prayoga Imbangi Waktu Sekolah dan Bekerja