Armada Global Sumud menjadi misi maritim terbesar yang mencoba menembus blokade laut menuju Jalur Gaza . Rombongan ini melibatkan 50 kapal dan 1000 peserta, termasuk di dalamnya aktivis lingkungan Swedia Greta Thunberg, mantan Walikota Barcelona Ada Colau dan aktor 'Game of Throne' Liam Cunningham yang mulai berlayar pada akhir Agustus lalu.
Sumud Global disebut sebagai Flotilla karena berada di bawah satu komando. Armada ini sempat diserang selama singgah di Tunisia Minggu (7/9) lalu dan dijadwalkan mencapai Jalur Gaza dalam beberapa hari ke depan.
Tetapi nihil kemungkinan armada ini menembus pantai dan dermaga Gaza.
Sebelumnya, upaya menembus Gaza telah gencar dilakukan sejak 2010 namun kerap digagalkan oleh angkatan laut Israel. Israel berdalih blokade laut yang ditegakkan sejak tahun 2007 diperlukan untuk mencegah kelompok militan Islam Hamas, yang mengambil alih kekuasaan di Gaza, mengimpor persenjataan. Menurut organisasi-organisasi HAM blokade tersebut adalah hukuman kolektif yang melanggar hukum internasional.
Setelah hampir dua tahun perang, situasi kemanusiaan di Gaza kian memburuk. Perang dipicu oleh serangan teror Hamas pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun banyak pihak, termasuk PBB, menyebut Israel telah melakukan kejahatan perang, termasuk pembersihan etnis dan secara sengaja menyebabkan bencana kelaparan. Lebih dari 63.000 warga Palestina, termasuk setidaknya 20.000 anak-anak, dilaporkan telah tewas.
"Para aktivis berusaha menyampaikan adanya situasi darurat kemanusiaan yang mendesak dan perlawanan dibutuhkan akan keputusan politik Israel yang membiarkan blokade dan kelaparan terjadi," ujar Amjad Iraqi, pengamat hubungan Israel-Palestina di lembaga nirlaba global International Crisis Group, kepada DW.
"Terlepas dari apakah armada ini berhasil mencapai Gaza atau tidak," tambahnya.
Untuk apa Global Sumud Flotilla berlayar?
Armada Global Sumud Flotilla diperkirakan mengangkut sekitar 300 ton pasokan penting, seperti makanan, air minum, dan obat-obatan.
"Barang-barang dalam armada ini tidak memenuhi kebutuhan warga Palestina di Gaza, tetapi mereka menarik atensi publik internasional atas situasi di Gaza," ujar Nathan Brown, profesor ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas George Washington, kepada DW.
"Dampak lainnya, meskipun tidak signifikan, adalah untuk mengomunikasikan kepada penduduk Palestina bahwa mereka tidak diabaikan," jelas Brown.
Lebih lanjut, Brown menambahkan ada rasa frustrasi yang luar biasa di antara warga Palestina yang khawatir bahwa tatanan internasional justru lebih menguntungkan pihak lain, bukan mereka.
Sementara itu, negara-negara Eropa kian gencar mengkritik perang Israel di Gaza. Para Pejabat di Spanyol, Prancis, Slovenia, dan negara-negara lain menyebut blokade kemanusiaan Israel tidak dapat diterima.
"Apa yang dianggap Israel lakukan bukan sekadar mengobarkan perang di Gaza, tetapi justru sengaja memicu kelaparan yang jelas merupakan kejahatan perang," ujar Brown kepada DW. "Kesenjangan yang semakin lebar antara pendukung dan pengkritik adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh rombongan ini," pungkasnya.
Israel menolak kritik menyebut "Pemerintah Israel membiarkan cukup makanan masuk, namun makanan yang masuk dicuri oleh Hamas dan armada tersebut hanyalah aksi publisitas orang-orang yang membenci Israel, menggambarkan satu-satunya konflik yang terjadi saat ini - satu pihak diharapkan memberi makan pihak lain," kata Brown menggambarkan pandangan yang kerap jadi argumen para diplomat AS, menambahkan Presiden AS Donald Trump yang jadi pendukung setia kebijakan PM Israel Benjamin Netanyahu atas Gaza.
Bagaimana nasib armada-armada sebelumnya?
Setelah Hamas menguasai Jalur Gaza pada 2007, beberapa armada kapal sempat berhasil mencapai wilayah tersebut pada tahun 2008, karena Israel belum sepenuhnya menerapkan blokade laut. Namun, sejak pertengahan 2009, Israel mulai mencegat semua kapal yang menuju Gaza.
Puncaknya terjadi pada 31 Mei 2010, saat pasukan Israel menghentikan enam kapal sipil yang tergabung dalam Gaza Freedom Flotilla. Insiden penghentian ini lebih dikenal sebagai serangan Mavi Marmara.
Pasukan Israel menembaki kapal penumpang milik Turki, menewaskan 10 aktivis pro-Palestina. Israel mengklaim tindakannya sebagai bentuk pembelaan diri, namun kecaman internasional meluas. Hubungan Israel–Turki memburuk hingga akhirnya Israel menyampaikan permintaan maaf secara resmi pada 2013 dan menyetujui kompensasi sebesar $20 juta (Rp 328 miliar) kepada keluarga korban pada tahun 2016.
Upaya lanjutan seperti Freedom Flotilla II pada 2011 gagal berlayar dari Yunani akibat tekanan politik, sabotase teknis, dan hambatan hukum. Yunani melarang keberangkatan Flotilla tersebut dengan alasan keamanan dan diplomatik.
Pada 29 Juni 2015, Freedom Flotilla III berbendera Swedia dicegat sekitar 1,6 km dari Gaza oleh pasukan Israel. Pasukan Israel turut masuk ke dalam kapal-kapal tersebut. Dalam laporan aktifis, angkatan laut Israel menggunakan taser (senjata kejut listrik) dalam operasinya.
Armada lain seperti Women's Boat to Gaza pada 2016 serta dua kapal yakni Al Awda dan Just Future for Palestine Flotilla yang berlayar pada 2018 juga dicegat dan disita muatannya. Menurut beberapa saksi di atas kapal aktivis diserang kemudian dideportasi dari Israel.
Dua armada yang berangkat tahun 2025 yakni misi Madleen di bulan Juni dan Misi Handala di bulan Juli juga digagalkan blokade Israel. Meskipun demikian, Sumud Global tetap berlayar melanjutkan misi Freedom Flotilla sebagai perlawanan akan pembatasan akses ke Gaza.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Rizki Nugraha
Simak juga Video: Komisi I DPR Rapat Bareng Kemhan-TNI, Bahas Misi Kemanusiaan ke Gaza