Beberapa saat sebelum Francois Bayrou kalah dalam pemungutan suara kepercayaan di parlemen pada Senin (08/09), perdana menteri Prancis memperingatkan bahwa isu keuangan negara bisa mengancam "keberlangsungan" negara tersebut.
"Anda memiliki kekuatan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi Anda tidak memiliki kekuatan untuk menghapus kenyataan," kata Bayrou kepada para anggota parlemen, seraya menambahkan bahwa ekonomi terbesar kedua Eropa saat ini memiliki "beban utang yang sudah tidak tertahankan, dan akan menjadi lebih berat serta lebih besar."
Masih belum ada kepastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah akan digelar pemilu baru, seperti yang dituntut partai sayap kanan National Rally, atau Presiden Emmanuel Macron berhasil membentuk pemerintah minoritas baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara ekonomi, fokusnya adalah uang dan beban utang Prancis yang menjulang tinggi. Dalam istilah absolut, tidak ada negara Uni Eropa yang memiliki utang nasional terkonsolidasi lebih besar daripada Prancis. Utang negara telah naik sekitar β¬3,35 triliun (sekitar 64.800 triliun Rupiah) β sekitar 113 persen dari produk domestik bruto (PDB), dengan angka yang diperkirakan meningkat lebih lanjut menjadi 125 persen pada 2030.
Raja utang Eropa
Rasio utang terhadap PDB Prancis begitu tinggi. Di Uni Eropa sendiri, hanya Yunani dan Italia yang berhasil melampauinya. Dengan defisit anggaran 5,4 hingga 5,8 persen tahun ini, Prancis juga mencatat defisit terbesar di antara 27 negara anggota UE.
Demi memenuhi target dari UE untuk menurunkan defisit anggaran menjadi 3 persen, penghematan besar-besaran tak bisa dihindari.
Namun, karena pemotongan anggaran saat ini sulit diterima secara politik, pasar keuangan bereaksi dengan menaikkan risiko obligasi Prancis. Sementara obligasi Jerman menawarkan bunga sekitar 2,7 persen, Prancis harus membayar hampir 3,5 persen untuk utangnya.
Lantas, perlukah kita khawatir soal stabilitas euro jika keuangan negara terbesar kedua di zona euro ini makin tak terkendali?
"Ya, kita harus khawatir. Zona euro saat ini tidak stabil," kata Friedrich Heinemann, ekonom di ZEW Leibniz Center for European Economic Research di Mannheim, Jerman. Meski begitu, ia "tidak terlalu khawatir" tentang krisis utang jangka pendek dalam beberapa bulan mendatang.
"Tapi kita harus bertanya ke mana arah ini jika negara besar seperti Prancis, yang rasio utangnya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, kini juga menghadapi destabilisasi politik lebih lanjut," ujarnya kepada DW.
Negara dengan perekonomian besar lainnya juga menumpuk utang historis yang tinggi dan harus menghimpun miliaran di pasar modal. Misalnya, musim gugur ini Jerman, Jepang, dan AS perlu menerbitkan obligasi pemerintah baru untuk membiayai pengeluaran mereka. Hal ini menjadi alasan utama pasar obligasi global tetap tertekan.
Satu-satunya alasan pasar belum makin cemas, adalah harapan bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan turun tangan dengan membeli obligasi Prancis untuk menstabilkan pasar, kata Heinemann. "Namun harapan itu bisa saja keliru, karena ECB harus berhati-hati agar tidak merusak kredibilitasnya."
Dilema politik ini telah lama menghantui pemerintah Prancis. Setiap kali mereka mengusulkan langkah penghematan atau reformasi ekonomi, partai-partai di kiri maupun kanan selalu menentang dan mengerahkan pendukungnya.
Serikat pekerja bahkan telah mengumumkan mogok umum pada 10 September, dua hari setelah pemungutan suara mosi percaya.
Tekanan dari Komisi Eropa dan ECB
Prancis saat ini menghabiskan β¬67 miliar (sekitar 1.296 triliun Rupiah) per tahun hanya untuk membayar bunga. Tak hanya itu, negara ini pun berada di bawah tekanan karena telah berkomitmen untuk secara bertahap mengurangi defisit sesuai aturan UE.
Namun Heinemann juga menempatkan sebagian kesalahan pada langkah Komisi Eropa karena "membantu menciptakan kekacauan ini."
"Komisi menutup mata, bahkan kedua matanya, ketika menyangkut Prancis. Itu adalah kompromi politik yang didorong oleh ketakutan memperkuat populis," katanya, seraya menambahkan, "Prancis sudah menggunakan banyak ruang fiskalnya. Jerman berada dalam posisi jauh lebih baik, dengan banyak ruang gerak."
Reformasi yang mandek
Menurut Heinemann, Prancis, seperti Jerman, sangat membutuhkan reformasi besar-besaran dalam kesejahteraan dan pemotongan pengeluaran. Alternatifnya adalah menaikkan pajak di negara yang sudah membebani warga dan bisnis dengan pajak tinggi.
Oleh karena itu, Heinemann skeptis politik Prancis dapat menghasilkan konsensus lintas partai dalam pengurangan utang. "Dengan populis di kiri dan kanan yang semakin kuat, saya tidak melihat itu terjadi. Pusat menyusut. Itulah mengapa saya pesimis dengan Prancis dan tidak melihat solusinya."
Bagi Andrew Kenningham, kepala ekonom Eropa di Capital Economics, risiko terhadap pasar Eropa lainnya tetap dapat dikelola untuk saat ini.
"Sejauh ini, masalah tampaknya terbatas pada Prancis sendiri, selama skala masalah Prancis tidak terlalu besar," katanya dalam catatan kepada klien.
Namun, ia juga memperingatkan skenario di mana krisis Prancis bisa meningkat signifikan, meningkatkan risiko penularan.
"Bagaimanapun, Prancis adalah ekonomi terbesar kedua zona euro, dengan hubungan dagang dan keuangan yang signifikan dengan tetangganya, dan juga merupakan kekuatan politik utama UE," kata Kenningham. Nantinya, krisis di Prancis bisa mempertanyakan kelangsungan proyek Eropa itu sendiri.
"Kami tidak mengantisipasi krisis sebesar itu dalam satu hingga dua tahun ke depan. Tapi jika terjadi, penularan bisa menjadi risiko lebih besar β yang harus ditangani ECB," ujarnya.
Krisis politik yang terjadi di tengah ketegangan
Gejolak Prancis muncul saat UE sedang bersitegang dengan AS terkait kebijakan perdagangan, termasuk pajak lebih tinggi pada raksasa teknologi AS yang diusulkan Prancis.
Oleh karena itu, ini merupakan waktu yang kurang tepat bagi Uni Eropa untuk terlihat lemah akibat kebuntuan politik di ekonomi terbesar kedua kawasan itu.
Bagi Heinemann, kebanyakan aktor politik di Prancis adalah "pendukung Trump di hati," terutama di spektrum kiri dan kanan politik.
"Mereka bisa meningkatkan tekanan pada Komisi Eropa untuk membalas tarif Trump dengan tarif Eropa," kata ekonom itu, yang "akan meningkatkan risiko perang dagang nyata" dan memperburuk krisis utang negara itu lebih jauh lagi.
Artikel ini awalnya ditulis dalam bahasa Jerman. Pertama kali diterbitkan pada 5 September, dan diperbarui pada 8 September setelah perdana menteri Prancis kalah dalam pemungutan suara kepercayaan di parlemen.
Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani
Editor: Rahka Susanto
Tonton juga video "PM Prancis Lengser Setelah Kalah di Mosi Kepercayaan Parlemen" di sini:
(ita/ita)