Usia 65 tahun adalah "usia dewasa," ujar Alassane Ouattara, Presiden Republik Pantai Gading saat perayaan kemerdekaan negaranya, 7 Agustus lalu. "Ini adalah momen refleksi seberapa jauh kita telah melangkah. Sebuah ajakan konsolidasi pelajaran masa lalu untuk menghadapi masa depan."
Banyak negara Afrika merayakan kemerdekaan yang ke-65 tahun ini, 14 diantaranya adalah negara bekas jajahan Prancis. Celakanya, saat ini hubungan Presiden Prancis, Emmanuel Macron dengan negara-negara tersebut dilaporkan saling bersitegang.
Wilayah frankofon Afrika termiskin di dunia
Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan delapan dari 14 negara bekas jajahan Prancis masuk dalam kategori Indeks Pembangunan Manusia paling rendah - termasuk di dalamnya negara-negara Sahel seperti Mali, Burkina Faso, Niger, dan Chad.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasannya cukup beragam. Di banyak wilayah, tanah tidak begitu subur untuk pertanian berskala besar, sementara sumber daya mineral memberikan kemakmuran yang terbatas. Kondisi ini diperparah dengan tingginya angka kelahiran yang meningkatkan beban finansial - menurut Matthias Basedau, Direktur Institut Studi Afrika GIGA di Hamburg.
"Lalu ada tantangan lain seperti ketidakstabilan politik. Hal ini menyebabkan negara-negara ini terjebak konflik, yang menyebabkan perlambatan pembangunan. Dan perlambatan pembangunan pada akhirnya menyebabkan lebih banyak konflik," jelas Basedau dalam wawancara dengan DW.
Di Mali, Burkina Faso, dan Niger, kudeta militer kerap terjadi beberapa tahun terakhir. Sayangnya, pemerintahan sipil tidak mampu memutus siklus tersebut.
Pemimpin laki-laki yang 'kuat' bukan institusi yang kuat
Di banyak negara Afrika berbahasa Prancis atau frankofon, kudeta dan peralihan kekuasaan secara paksa masih sering terjadi. Transisi kekuasaan secara damai dan demokratis, seperti di Senegal tahun lalu, jarang terjadi.
Banyak pemimpin di negara-negara tersebut berkuasa dalam periode yang sangat sangat lama. Misalnya, Presiden Alassane Ouattara di Republik Pantai Gading yang mencalonkan diri untuk masa jabatan keempat di usianya yang ke-83.
Paul Biya, Presiden Kamerun yang berusia 92 tahun, masih berniat mencalonkan diri sebagai presiden untuk kedelapan kalinya, dan Faure Gnassingbe, Presiden Togo yang mengubah konstitusi untuk memperkuat dan memperpanjang kekuasaannya.
Menurut sejarawan Tumba Alfred Shango Lokoho dari Universite Sorbonne Nouvelle di Paris, harapan akan "era institusi yang kuat" sejak 1990-an telah pupus. "Di sebagian besar negara Afrika saat ini, orang-orang kuatlah yang mencengram kekuasaan, bahkan mengabaikan konstitusi dan mengubahnya dengan segala cara agar tetap berkuasa," ujar Shango Lokoho kepada DW. Inilah yang menurut Lahoko sebagai kelemahan Afrika, institusi yang tidak kuat.
Pengaruh politik Prancis di Afrika semakin pudar
Banyak institusi politik di kawasan ini awalnya dibentuk mengikuti model Prancis sejak tahun 1960, "Selalu ada sistem presidensial, yang bahkan jauh lebih presidensial dan otoriter dibandingkan Prancis, yang menganut sistem semi-presidensial. Banyak konstitusi juga mengikuti model Prancis—dengan beberapa perbedaan, tentu saja. Mungkin ciri khasnya lebih kepada sekularisme, yaitu pemisahan tegas antara agama dan negara. Bisa dikatakan bahwa hal ini turut berkontribusi mengurangi diskriminasi agama di negara-negara ini," jelas Matthias Basedau.
Namun, beberapa negara semakin 'menjauh' dari Prancis, terutama di wilayah Sahel, setelah terjadi kudeta militer. Ketiga junta militer di kawasan tersebut telah mengusir pasukan Prancis dan kini mengandalkan Rusia sebagai mitra keamanan.
Prancis pun telah menarik pasukan militernya dari Chad, Senegal, dan Republik Pantai Gading. Basis militer Prancis di Gabon kini hanya digunakan untuk melatih tentara lokal, bukan operasi militer aktif. Satu-satunya basis militer Prancis yang masih aktif ada di Djibouti.
Matthias Basedau mengatakan bahwa tujuan utama kebijakan Prancis untuk Afrika adalah mempertahankan pemerintahan pro-Prancis. Kamerun adalah salah satunya 'benteng terakhir' yang secara politik dan ideologi berpihak pada Prancis. "Tapi kita harus lihat nanti seperti apa keadaannya setelah Paul Biya tidak lagi berkuasa," jelas Basedau.
Hubungan Ekonomi Afrika-Prancis Tetap Erat
Meskipun pengaruh politik Prancis di Afrika semakin melemah, hubungan ekonomi Prancis dengan negara-negara bekas jajahannya, tetap kuat.
Hal ini terlihat dalam sektor ekstraksi sumber daya alam serta kepemilikan perusahaan seperti jaringan supermarket, SPBU, dan operator seluler yang masih sebagian atau sepenuhnya dikuasai oleh Prancis.
Contoh paling mencolok adalah penggunaan mata uang Franc CFA di Afrika Barat dan Tengah. Meskipun sering dikritik sebagai warisan kolonial karena begitu terikat dengan mata uang euro dan membatasi kedaulatan moneter, mata uang ini nyatanya membawa stabilitas, menekan inflasi, serta mempermudah perdagangan antarnegara.
Setelah 65 tahun kemerdekaan, negara-negara bekas jajahan Prancis di Afrika memilih jalannya masing-masing. Para perantau dari negeri ini punya peran besar mendukung ekonomi negara-negara Afrika, contohnya 110.000 warga Senegal yang tinggal dan bekerja di Prancis, melakukan transaksi antar negara - mengirim uang ke Senegal dan menyumbang lebih dari 10% PDB, separuh uang tersebut diterima masyarakat desa.
Kondisi sosial-ekonomi di negara-negara bekas jajahan setidaknya menunjukkan perbaikan: tingkat kemiskinan ekstrem menurun, harapan hidup meningkat, dan angka kematian anak menurun.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Rizki Nugraha
Simak juga Video 'Penegasan Presiden Afsel Tak Ada Genosida Usai Debat dengan Trump':
(ita/ita)