Kenapa Trump Ingin AS Kuasai Saham Produsen Chip Intel?

Kenapa Trump Ingin AS Kuasai Saham Produsen Chip Intel?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Senin, 25 Agu 2025 18:17 WIB
dw
Logo Intel (Foto: Josep Lago/AFP via Getty Images)
Jakarta -

Kantor kepresidenan Amerika Serikat di Gedung Putih mengonfirmasi sedang melakukan pembicaraan dengan Intel terkait rencana akuisisi saham sebesar 10% di perusahaan pembuat chip tersebut.

"Presiden Donald Trump ingin menempatkan kebutuhan Amerika di urutan pertama, baik dari perspektif keamanan nasional maupun ekonomi," ujar Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt, Selasa (19/8) pekan lalu, setelah berhari-hari muncul spekulasi di media.

Meski tidak lazim bagi pemerintah AS untuk mengambil alih saham di perusahaan besar, langkah ini sejalan dengan kebijakan Presiden Donald Trump untuk melakukan intervensi langsung terhadap pasar bebas pada masa jabatan keduanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Produsen chip Nvidia dan AMD baru-baru ini sepakat membayar sekitar 15% dari penjualan mereka di Cina kepada pemerintah AS.

Contoh lain adalah penjualan US Steel kepada Nippon Steel asal Jepang, yang memberi pemerintah AS apa yang disebut sebagai "saham emas," dan menjamin Presiden Trump hak veto atas keputusan direksi dan wewenang menunjuk seorang anggota dewan.

ADVERTISEMENT

Bulan lalu juga diumumkan bahwa pemerintah di Washington akan menjadi pemegang saham terbesar di satu-satunya tambang logam tanah jarang yang masih beroperasi di AS milik MP Materials.

Lebih dari sekadar akuisisi?

"Pemerintahan Trump benar-benar mempercayai luasnya kewenangan pemerintah dalam melakukan intervensi di sektor swasta, dan giat menggeser batasnya," kata Geoffrey Gertz, peneliti senior di Center for a New American Security, kepada DW.

Dia menyebut intervensi bisnis sebagai sesuatu yang "tidak biasa," dan berbeda dengan doktrin pemerintahan AS sebelumnya yang cenderung merangsang pertumbuhan tanpa keterlibatan langsung. Trump, menurutnya, mengambil pendekatan yang lebih personal dan terarah.

"Mereka membuat kesepakatan satu per satu dengan perusahaan tertentu," ujarnya. "Itu berbeda jauh dengan menetapkan standar atau pedoman kebijakan industri berskala nasional."

Namun, pendekatan Trump mendapat banyak dukungan, terutama terkait sektor-sektor yang dianggap strategis dalam persaingan AS dengan Cina, seperti semikonduktor dan logam tanah jarang.

Sujai Shivakumar, Direktur program Renewing American Innovation di Center for Strategic & International Studies (CSIS), Washington DC, menilai industri semikonduktor global memang tidak berada pada "arena persaingan yang setara," mengingat dukungan besar-besaran dari negara-negara seperti Cina.

"Intel lebih dari sekadar perusahaan, dan saya pikir keputusan untuk berinvestasi ini patut diapresiasi," ujarnya kepada DW.

"Sudah saatnya kita memahami bahwa kebijakan industri semacam ini kini menjadi norma di negara-negara maju, dan pemerintah memang memberikan dukungan besar seperti ini," lanjutnya. "Jika kita tetap berpegang pada mitos pasar murni di AS, risikonya adalah kehilangan posisi dalam salah satu industri paling strategis abad ini."

Sementara itu, Gertz menilai tidak ada yang "secara inheren salah" bila pemerintah berinvestasi di Intel. "Saya memang percaya ada sektor-sektor strategis, dan ada alasan untuk kebijakan industri aktif, terutama di mana terdapat implikasi keamanan nasional," ujarnya.

Pentingnya chip bagi industri masa depan

Baik pemerintahan Biden maupun Trump berbagi tujuan untuk meningkatkan kapasitas AS dalam memproduksi chip canggih, yang dibutuhkan oleh industri teknologi tinggi.

Pemerintahan Biden meluncurkan CHIPS Act pada 2022, undang-undang yang mendapat dukungan lintas partai. Regulasi itu mengalokasikan bantuan federal serta hibah bagi perusahaan seperti Intel, Taiwan Semiconductor Manufacturing Corporation (TSMC), dan Samsung untuk memperkuat produksi di wilayah AS.

Tapi jika Samsung berasal dari Korea Selatan dan TSMC dari Taiwan, Intel menjadi kandidat paling jelas untuk memperkuat produksi di dalam negeri.

Namun, perusahaan yang bermarkas di Santa Clara, California, itu menghadapi banyak masalah dalam beberapa tahun terakhir. Intel tidak hanya kewalahan mengimbangi TSMC dalam memproduksi semikonduktor tercanggih, tapi juga gagal merebut pasar chip data AI yang kini dikuasai Nvidia. Alhasil, pendapatan melesu dan harga saham anjlok.

Trump, yang sebelumnya mengkritik CHIPS Act, bahkan sempat menyerukan Direktur Utama Intel Lip-Bu Tan untuk mundur awal bulan ini. Namun setelah bertemu dengan Tan, sikap Trump berubah seiring menguatnya rencana pemerintah menguasai saham Intel.

Shivakumar menilai Intel adalah satu-satunya perusahaan nasional yang masih berpeluang mengembalikan dominasi AS dalam produksi chip canggih, sehingga pantas mendapat dukungan pemerintah.

"Intel butuh permintaan komersial agar produk-produknya layak, tapi juga butuh kelayakan untuk bisa menjaring permintaan," katanya. "Mereka terjebak di situ. Tanpa sinyal kuat yang memberi dorongan, perusahaan ini hanya akan berputar di tempat."

Hantu bernama kapitalisme kroni?

Bloomberg melaporkan bahwa kesepakatan ini bisa melibatkan pemerintah AS mengambil saham sebagai imbalan atas sebagian hibah yang diberikan kepada Intel melalui CHIPS Act.

Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, yang memimpin negosiasi untuk pemerintah, mengatakan kepada CNBC bahwa AS seharusnya bisa "diuntungkan" dari skema tersebut. "Itulah persis perspektif Donald Trump, kenapa kita memberikan perusahaan uang sebanyak 100 miliar dolar." katanya.

Jika kesepakatan itu terwujud, bukan mustahil akan muncul kekhawatiran terhadap pendekatan pemerintahan Trump yang semakin agresif dalam intervensi langsung ke lingkup korporasi Amerika.

"Ada risiko munculnya kapitalisme kroni," kata Gertz. "Anda bisa sampai pada situasi di mana persaingan melemah, inovasi jangka panjang terhambat, karena ada beberapa perusahaan yang dimanjakan dan bisa jadi malas, sebab tahu mereka dilindungi negara."

Menurut Shivakumar, kuncinya adalah menyeimbangkan kepentingan strategis dan kekuatan pasar.

"Bukan berarti kita harus menulis cek kosong," ujarnya. "Kita tidak bisa menyerahkan semuanya pada pasar. Harus ada keseimbangan, kebijakan industri yang cerdas, yang bisa membantu perusahaan memulihkan kepercayaan pelanggan, investor, dan pemasoknya."

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor:

Tonton juga video "Trump Borong Saham Intel, Diskonan Lagi!" di sini:

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads