Golan di Ambang Damai, Buah Diplomasi Suriah dan Israel

Golan di Ambang Damai, Buah Diplomasi Suriah dan Israel

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Jumat, 22 Agu 2025 16:59 WIB
Jakarta -

Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, para pejabat Suriah dan Israel mengadakan pembicaraan tatap muka tingkat tinggi. Awal pekan ini, pertemuan puncak yang ditengahi AS di Paris, Prancis, itu dihadiri secara tertutup oleh Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer, Menteri Luar Negeri Suriah Asaad al-Shibani, dan utusan AS untuk Suriah, Tom Barrack.

Poin-poin utama dalam agenda tersebut adalah deeskalasi ketegangan antara Suriah dan Israel, nonintervensi dalam urusan dalam negeri Suriah, dan pengaktifan kembali perjanjian pelepasan tahun 1974 antara Israel dan Suriah. Isu selanjutnya adalah bantuan kemanusiaan untuk minoritas Druze Suriah.

Pada hari Rabu (20/08), seorang juru bicara pemerintah Israel mengatakan kepada DW bahwa Israel menahan diri untuk tidak mengomentari pertemuan Paris tersebut. Namun, kantor berita nasional Suriah, SANA, melaporkan bahwa pertemuan tersebut diakhiri dengan komitmen untuk pembicaraan lebih lanjut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Putaran pembicaraan sebelumnya dengan para pejabat pendukung pada akhir Juli telah berakhir tanpa kesepakatan resmi. Pembicaraan langsung ini menandai pergeseran diplomatik setelah 25 tahun hampir tidak ada komunikasi sama sekali.

Kedua negara secara teknis telah berperang sejak 1967. Pada tahun itu, Israel menduduki Dataran Tinggi Golan Suriah β€” sebuah dataran tinggi strategis di sepanjang perbatasan bersama mereka β€” dan kemudian mencaploknya pada tahun 1981. Komunitas internasional terus menganggap Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Suriah di bawah pendudukan militer Israel. Hingga saat ini, hanya Amerika Serikat dan Israel yang secara resmi mengakuinya sebagai bagian dari Israel.

ADVERTISEMENT

Kesepakatan gencatan senjata pada tahun 1974 membentuk zona penyangga PBB yang didemiliterisasi di Dataran Tinggi Golan di sepanjang perbatasan Israel-Suriah.

Namun, ketegangan antara kedua negara telah melonjak sejak jatuhnya diktator jangka panjang Suriah Bashar al Assad pada bulan Desember 2024. Israel mengerahkan pasukan di luar zona demiliterisasi dan melakukan sekitar 1.000 serangan terhadap Suriah β€” yang tidak membalas. Presiden sementara Suriah Ahmad al-Sharaa mengutuk serangan tersebut tetapi berulang kali mengatakan bahwa ia tidak ingin berperang dengan Israel.

Apa agenda Israel?

"Dalam situasi saat ini, sulit membayangkan bahwa pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan mempertimbangkan konsesi di luar tawaran timbal balik untuk menahan diri dari campur tangan dalam upaya penguasa baru Suriah untuk mengonsolidasikan kekuasaan," ujar Shalom Lipner, seorang diplomat veteran dan mantan penasihat tujuh perdana menteri Israel, termasuk Benjamin Netanyahu, kepada DW.

"Tujuan langsung Israel adalah untuk menjamin keamanan di sepanjang wilayah perbatasan dengan Suriah, mencegah masuknya penyusup yang bermusuhan yang mungkin membahayakan akomodasi dengan Damaskus, dan juga, memastikan perlindungan penduduk Druze Suriah."

Sebuah sumber Suriah, yang dikutip oleh SANA, mengonfirmasi bahwa selama pertemuan di Paris, Israel juga bersikeras membangun koridor kemanusiaan ke Sweida (Suweida), tempat tinggal banyak minoritas Druze Suriah. Di Israel,

Druze adalah komunitas yang berpenduduk sekitar 150.000 orang. Mereka adalah satu-satunya minoritas yang diwajibkan militer Israel. Di Suriah, sekitar 700.000 orang Druze membentuk salah satu komunitas minoritas terbesar di Suriah.

Pada pertengahan Juli, kekerasan sektarian selama seminggu telah menyebabkan lebih dari 1.700 kematian, termasuk warga sipil, dalam pertempuran antara komunitas Druze dan Badui Arab.

Meskipun gencatan senjata yang ditengahi AS sebagian besar mengakhiri bentrokan, penduduk setempat melaporkan bahwa Damaskus terus membatasi akses bantuan kemanusiaan ke Sweida.

Pejabat Suriah menepis klaim tersebut. Namun, menurut platform berita Axios, pejabat pemerintah menyatakan kekhawatiran bahwa milisi Druze dapat menggunakan koridor kemanusiaan untuk menyelundupkan senjata. Sementara itu, Druze telah berulang kali turun ke jalan untuk menyerukan penentuan nasib sendiri.

Minggu ini, Action For Humanity, LSM induk dari Syria Relief, menerbitkan laporan yang mengkhawatirkan. "Situasi kemanusiaan memburuk di tengah laporan kekurangan layanan penting dan pembatasan kebebasan bergerak," kata LSM tersebut, seraya menambahkan bahwa "warga sipil yang mengungsi sebagian besar bergantung pada pengaturan tempat penampungan informal dengan kerabat dan teman, dan kerawanan pangan yang parah masih terjadi."

Sebaliknya, Yossi Mekelberg, konsultan senior di lembaga pemikir Chatham House yang bermarkas di London, memandang perundingan saat ini sebagai peluang Damaskus untuk mendapatkan kepercayaan di dalam negeri dan luar negeri.

"Memperbaiki cara perlakuan terhadap kaum minoritas dapat membantu Suriah menciptakan ruang bagi pemerintah untuk menyatukan negara, memperbaiki citranya di hadapan Amerika Serikat dan seluruh dunia," ujarnya kepada DW. "Hal ini juga dapat meredakan ketegangan dengan Israel karena bagi mereka, isu Druze adalah yang paling relevan."

Menurutnya, hal ini pada akhirnya dapat mengarah pada penarikan pasukan Israel dari luar zona penyangga tahun 1974 di selatan Suriah. Nanar Hawach, analis senior Suriah di International Crisis Group, sebuah organisasi independen yang bekerja untuk mencegah perang, setuju bahwa perundingan tersebut dapat membantu Damaskus "memulihkan kepercayaan tidak hanya dari komunitas Druze, tetapi juga dari berbagai komunitas yang tidak berpihak pada negara," ujarnya kepada DW.

Mungkinkah perundingan lanjutan mengarah pada normalisasi hubungan?

Para pengamat sepakat bahwa Washington terus berkomitmen untuk meningkatkan keamanan dan stabilitas di kawasan tersebut dengan mewujudkan "Timur Tengah yang sejahtera" sebagaimana dicita-citakan oleh Presiden AS Donald Trump.

Bagian tak terpisahkan dari visi ini adalah normalisasi hubungan antara Suriah dan Israel. "Dari perspektif Israel, normalisasi akan menjadi tujuan aspiratif jangka panjang," ujar Shalom Lipner. Yossi Mekelberg belum melihat prospek normalisasi, "mengingat perang di Gaza masih berlanjut."

Namun, jika perang berakhir, dan jika kemajuan antara Israel dan Suriah berlanjut, "hal itu mungkin mengarah pada proses normalisasi," ujarnya, seraya menekankan bahwa "tidak diketahui arah mana yang diambil Suriah, dan juga tidak diketahui arah mana yang diambil Israel saat ini."

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Rizki Nugraha

Lihat juga Video 'Korban Tewas Akibat Serangan Israel di Gaza Mencapai 62.192 Jiwa':

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads