Di Kolkata, pusat utama industri pengecoran baja India yang biasanya mengekspor produk baja sanitasi, aktivitas produksi melambat, bahkan berhenti. Para pemilik perusahaan enggan membahas krisis di hadapan publik dan membisu. Dampaknya, para buruh kini kebingungan.
Vijay Shankar Beriwal, pemilik perusahaan Calcutta Iron Udyog, sebaliknya tidak ragu mengungkap krisis yang dialami perusahaannya pada publik. Ia menyalahkan tarif impor 50% atas baja dan aluminium India yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump, yang mulai berlaku pada Juni lalu.
Trump berdalih tarif tersebut dikenakan karena kekhawatiran akan keamanan nasional AS, merujuk pada Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan AS tahun 1962. Selain tarif baja, Trump memberlakukan tarif balasan 25% atas sebagian besar barang impor dari India. Bahkan merespon pembelian minyak Rusia oleh India, Trump mengusulkan tarif tambahan 25%, yang akan diberlakukan pada akhir Agustus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dampak penuh belum terasa di pasar, tetapi tekanan sudah mulai terlihat. Mereka yang sebelumnya memiliki pesanan dari AS menyelesaikan pesanan dengan cepat, tetapi pesanan baru sedikit bahkan tidak ada. Banyak pabrik baja yang berhenti beroperasi," katanya.
Tarif baja dan aluminium sebesar 50% merupakan bagian dari kebijakan proteksi perdagangan Trump. Kebijakan ini mengancam pabrik-pabrik baja serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di India timur yang sangat bergantung pada pasar AS agar tidak 'gulung tikar'.
India mengekspor produk besi, baja, dan aluminium senilai $4,56 miliar (Rp74 triliun) ke Amerika Serikat pada tahun 2024, termasuk di dalamnya $587,5 juta (Rp9 triliun) untuk baham mentah besi dan baja, $3,1 miliar (Rp50 triliun) untuk produk besi atau baja, dan $860 juta (Rp13 triliun) untuk produk aluminium, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan dan Industri. Angka ini mewakili sekitar 5,3% dari total ekspor India ke Amerika Serikat senilai $86,51 miliar (Rp1500 triliun rupiah).
Pukulan telak bagi pabrik baja skala kecil
Meskipun jumlahnya kecil, pabrik-pabrik baja kecil mempekerjakan lebih dari 200.000 pekerja dalam produksi padat karya di lebih dari 5.000 unit pengecoran baja. 95% usaha pengecoran baja dikelola usaha skala kecil.
Berbeda dengan di negara bagian Maharashtra di pesisir barat atau Tamil Nadu di selatan, pabrik-pabrik pengecoran baja masih giat melayani pasar otomotif dan konstruksi domestik.
Sedangkan pabrik pengecoran di India timur spesifik dalam usaha pengecoran baja untuk ekspor. Akibatnya, mereka sangat rentan terhadap kenaikan tarif.
Sudah begitu, Menteri Perdagangan India Piyush Goyal dianggap meremehkan dampak tarif terhadap baja dan aluminium. Dia berdalih, nilai ekspor baja dan aluminium ke AS berjumlah sangat kecil.
"Apa masalahnya jika dari 145 juta ton, Anda tidak dapat mengekspor 95.000 ton?" katanya dalam acara Kamar Dagang dan Industri Bengal.
'Tertekan' baja China
Akibat penurunan ekspor ke AS, banyak produsen baja membanjiri pasar domestik India, yang menyebabkan persaingan makin ketat. Konsumen kini diwartakan rajin meminta diskon hingga 5% atau cicilan kredit. Fenomena ini dinilai belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut Federasi Organisasi Ekspor India FIEO, ekspor baja India ke AS yang turun 85%, menekan harga baja lokal hingga 6β8% memperkecil keuntungan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Dengan tarif saat ini, harga yang kompetitif menjadi faktor penentu. Namun, beberapa negara, seperti China, juga sangat tertarik menurunkan harga. UMKM India mungkin tidak memiliki kemampuan untuk bersaing," kata Direktur Jenderal FIEO Ajay Sahai.
Asosiasi Pengembangan Baja Stainless India (ISSDA) mencatat bahwa India telah menjadi importir bersih produk baja sejak tahun fiskal 2023-24, impor baja China pun tercatat meningkat signifikan antara 2021 dan 2024.
Harapkan intervensi segera dari pemerintah
Alternatif terhadap pasar ekspor AS juga semakin tertutup, seperti Uni Eropa yang menghadang lewat bea masuk dan pajak karbon (CBAM) "Masalah ekspor baja adalah semua negara maju sedang menutup diri. Uni Eropa telah mengenakan bea masuk sejak 2018, dan mulai Januari 2026, mereka akan menerapkan Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM)," kata Ajai Srivastava, pendiri Inisiatif Penelitian Perdagangan Global.
Beralih ke pasar lain pun butuh waktu dan modal yang tak dimiliki banyak pelaku usaha.
Merespon hal tersebut, Pemerintah India mengupayakan beberapa langkah antara lain menjajaki perjanjian dagang dengan AS serta mempertimbangkan subsidi bunga, jaminan pinjaman, dan pemangkasan biaya sertifikasi untuk mendukung UMKM. Bea masuk pengamanan 12% juga diterapkan untuk melindungi pasar domestik dari dumping baja China.
Beriwal dari Calcutta Iron Udyog optimis intervensi pemerintah dapat melindungi industri baja dari konflik dagang global.
"Industri ini sangat membutuhkan dukungan cepat dari pemerintah untuk bertahan. Kami akan mengajukan proposal kepada pemerintah, tetapi saat ini kami menunggu perkembangan situasi dengan Presiden AS," jelas Beriwal.
Para pakar industri memperingatkan bahwa UMKM berisiko bangkrut dan melakukan PHK dan pada awal 2026 jika tidak ada tindakan segera.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Rizki Nugraha
Simak juga Video: Trump Bahas Negosiasi Tarif dengan India, Singgung Keanggotaan BRICS