Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja telah memperkuat posisi para pemimpin pro-junta di Bangkok dengan mengorbankan pemerintah sipil. Thailand telah mengalami setidaknya 12 kudeta militer sejak 1931 dan militer telah lama menjadi kekuatan dominan dalam politik. Setelah kudeta 2014, junta militer menguasai negara hingga pemerintah sipil kembali berkuasa setelah pemilu 2023.
Meskipun kudeta lain mungkin tidak terjadi dalam waktu dekat, militer tampaknya memperluas pengaruhnya yang sudah sangat besar di tengah bentrokan perbatasan baru-baru ini.
Minimnya pengawasan sipil
Ketegangan dengan Kamboja telah memanas selama lebih dari setahun, tetapi meletus pada April, ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam bentrokan dengan pasukan Thailand di perbatasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Kamis (24/7), terjadi pertempuran selama lima hari yang menewaskan lebih dari 40 orang dan melukai ratusan orang dari kedua belah pihak setelah tentara Thailand terluka oleh ranjau darat. Kedua negara sepakat untuk gencatan senjata pada akhir bulan.
Naton Jatusripitak, peneliti tamu di ISEASβYusof Ishak Institute Singapura, menyebutkan jika konflik ini, "efektif memberikan kebebasan penuh bagi militer Thailand untuk beroperasi dengan pengawasan sipil yang minim, yang sudah minim sejak awal."
Kisruh politik di Thailand
Pemilihan umum 2023 berakhir dengan Partai Move Forward yang siap mengambil alih kekuasaan di Thailand.
Namun, negosiasi pasca pemilihan melihat Partai Pheu Thai yang berada di posisi kedua membentuk koalisi tak terduga dengan mantan lawan-lawannya, termasuk Partai United Thai Nation yang berhaluan militeris pimpinan mantan pemimpin junta Prayuth Chan-ocha.
Koalisi tersebut tidak populer sejak awal, tetapi baru mulai runtuh selama konflik terbaru dengan Kamboja.
Pada Juni, mantan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra berusaha meredakan ketegangan dengan menelepon Presiden Senat Kamboja dan mantan Perdana Menteri Hun Sen.
Selama panggilan tersebut, Perdana Menteri Thailand berusia 38 tahun itu memanggil Hun Sen, yang saat itu mendekati ulang tahun ke-73-nya, sebagai "paman" dan menyatakan cinta dan hormatnya kepada pemimpin senior tersebut.
Dia juga tampaknya mengkritik tindakan tentara Thailand sendiri dan menyiratkan bahwa beberapa jenderal Thailand menggunakan konflik tersebut untuk tujuan politik.
Hun Sen segera bocorkan rekaman panggilan tersebut, yang dapat dilihat sebagai upaya untuk melemahkan Thailand selama krisis perbatasan.
Keluarga Shinawatra menghadapi serangan baru
Dampak di Thailand terjadi dengan cepat. Partai konservatif Bhumjaithai keluar dari koalisi, sementara partai Pheu Thai milik Paetongtarn menghadapi tuduhan pengkhianatan.
Pada Juni, Jenderal Nattaphon Narkphanit dari Partai United Thai Nation menjadi menteri pertahanan sementara, sementara jenderal-jenderal lain juga menduduki beberapa posisi kunci lainnya.
Perdana Menteri ditangguhkan oleh Mahkamah Konstitusi pada awal Juli, menunggu persidangan.
Paetongtarn Shinawatra adalah putri mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang digulingkan oleh militer pada 2006, dan keponakan Yingluck Shinawatra, yang digulingkan dalam kudeta 2014.
Militer tak perlu menunggu perintah
Perubahan ini "secara efektif menyerahkan Kementerian Pertahanan kepada militer untuk dikelola sesuai kehendak para jenderal," kata Thitinan Pongsudhirak, peneliti senior di Institut Keamanan dan Studi Internasional Universitas Chulalongkorn, kepada DW.
Hal ini terutama terlihat di wilayah perbatasan Thailand, yang "sudah lama berada di bawah hukum daruratβ¦ memberikan kendali tentara atas kebijakan perbatasan dan membatasi kendali sipil," tulis Paul Chambers, seorang pakar Thailand, dalam Fulcrum, publikasi daring yang diterbitkan oleh ISEASβYusof Ishak Institute, pekan lalu.
Menurut Chambers, tentara secara konsisten melemahkan upaya deeskalasi yang dipimpin sipil sejak Januari. Ketika tentara Thailand terluka akibat ranjau darat yang dipasang Kamboja pada pertengahan Juli, Jenderal Boonsin, komandan Wilayah Militer Kedua Thailand, secara terbuka menyatakan bahwa pembalasan diperlukan dan bahwa "tidak perlu menunggu perintah dari pemerintah."
Pemilih Thailand lebih mempercayai militer daripada pemerintah
Analis mengatakan kepada DW bahwa militer Thailand sedang menikmati gelombang nasionalisme publik. Di sisi lain, selebriti dan politisi diserang di media sosial dengan tuduhan tidak cukup patriotik.
Survei yang diterbitkan oleh National Institute of Development Administration, sebuah institusi pendidikan tinggi di Thailand, pekan lalu menunjukkan bahwa warga Thailand paling mempercayai militer dalam melindungi kepentingan nasional dan menyelesaikan konflik dengan Kamboja. Hanya 15% responden yang mengatakan mereka memiliki tingkat kepercayaan terhadap pemerintahan sipil dalam masalah konflik dengan Kamboja.
Gencatan senjata dengan Kamboja terjadi setelah Presiden AS Donald Trump memperingatkan Bangkok dan Phnom Penh bahwa mereka akan menghadapi tarif ekspor yang tinggi kecuali mereka menghentikan permusuhan.
Pembicaraan gencatan senjata dimediasi oleh Malaysia, yang saat ini menjadi ketua ASEAN, tetapi kesepakatan tersebut hanya sebagian dipatuhi. Dengan militer yang memegang kendali, "perjanjian gencatan senjata tetap rentan," kata Thitinan dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok.
Kamboja diperkirakan akan terus mendesak keterlibatan internasional untuk memperkuat dukungan domestik, sementara tentara Thailand kemungkinan akan mengambil tindakan "keras" dan berisiko memicu eskalasi lebih lanjut, peringatan Thitinan.
Apakah keluarga Shinawatra akan mengembalikan junta militer?
Masa depan pemerintah Thailand mungkin bergantung pada putusan pengadilan yang akan datang terkait Paetongtarn Shinawatra dan ayahnya, Thaksin, tokoh utama Partai Pheu Thai.
Mahkamah Konstitusi diperkirakan akan memutuskan apakah akan melarang Paetongtarn berpolitik pada awal September, sementara Thaksin menghadapi hukuman penjara atas tuduhan pencemaran nama baik raja.
Keruntuhan politik klan Shinawatra dan Pheu Thai, yang menjadi pusat politik Thailand sejak 1990-an, akan memperkuat faksi konservatif dan militeris, kata para analis.
Kepada DW, Ken Lohatepanont, kandidat PhD di Universitas Michigan, menyampaikan, "Partai ini belum siap menghadapi pemilih, tetapi juga mungkin semakin sulit untuk tetap berkuasa tanpa membuat kompromi lebih lanjut dengan sekutu konservatifnya dalam koalisi."
Krisis ini membuat kembalinya mantan pemimpin junta Prayut Chan-ocha, yang berkuasa antara 2014 dan 2023, menjadi "lebih memungkinkan," kata Lohatepanont.
Partai United Thai Nation milik Prayut saat ini menjaga koalisi tetap bertahan, dan kembalinya Prayut bisa menjadi harga yang harus dibayar Pheu Thai untuk menghindari pemilu yang kemungkinan besar akan mereka kalahkan.
Dan bahkan jika pemilu diadakan, bentrokan-bentrokan tersebut telah meningkatkan popularitas militer dan sekutunya.
Kudeta lain "kemungkinannya kecil, peluangnya tetap terbuka", terutama karena militer kembali menguat di tengah konflik perbatasan, kata Thitinan.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
diadaptasi oleh Algadri Muhammad
Editor: Rahka Susanto