Minoritas Tamil Ajak Dunia Bantu Selidiki Kuburan Massal Chemmani

Minoritas Tamil Ajak Dunia Bantu Selidiki Kuburan Massal Chemmani

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Kamis, 14 Agu 2025 11:22 WIB
dw
Para perempuan Tamil menuntut penyelidikan akan keluarga mereka yang hilang (Foto: AFP/Getty Images)
Jakarta -

Setiap kali penggalian kuburan massal dilakukan di Sri Lanka, Thambirasa Selvarani merasa begitu gelisah.

"Kami tidak tahu apa yang terjadi pada kerabat kami, dan saat penggalian dilakukan, saya merasa panik," kata dia kepada DW.

Perempuan berusia 54 tahun itu sedang mencari suaminya, Muthulingam Gnanaselvam, yang menghilang sejak Mei 2009 setelah menyerahkan diri kepada pasukan pemerintah di akhir perang saudara Sri Lanka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah pertikaian berdarah selama puluhan tahun, konflik antara mayoritas Sinhala dan minoritas Tamil itu berakhir dengan kekalahan Gerakan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE), yang juga dikenal sebagai Tamil Tigers.

Sejak itu, beberapa kuburan massal telah ditemukan. Selama tiga bulan terakhir, para arkeolog telah menggali kuburan massal di Chemmani, di pinggiran Jaffna, ibu kota Provinsi Utara Sri Lanka. Ditemukan 140 kerangka dalam penggalian tersebut, termasuk diantaranya anak-anak.

ADVERTISEMENT

Korban 'ditumpuk' dalam kuburan dangkal

Chemmani diduga dijadikan sebagai lokasi kuburan massal sekitar tahun 1998. Kasus ini terungkap dalam sidang mantan kopral tentara, Somaratne Rajapaksa, atas kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang siswi bernama Krishanthi Kumaraswamy. Rajapaksa mengatakan telah menguburkan jenazah korban beserta keluarganya di liang, bersama ratusan mayat lain dari insiden militer di tahun 1995-1996.

Niranchan, seorang pengacara mengatakan kepada DW bahwa dirinya sedang menelusuri kasus ini bersama keluarga yang kehilangan kerabatnya daerah sekitar Chemmani pada tahun 1990-an.

Sejauh ini, penggalian menunjukkan bahwa jenazah dikuburkan "secara sembarangan, tanpa prosedur hukum, ditumpuk bersama dalam kuburan dangkal yang tidak bertanda."

"Kami menduga beberapa di antaranya mungkin dikuburkan hidup-hidup," imbuh Nirachan,"Jika mereka sudah meninggal, jenazah tidak akan bengkok," dengan beberapa di antaranya menunjukkan anggota tubuh yang terpelintir.

Bersama dengan kerangka ditemukan juga benda-benda seperti sandal, botol susu bayi, dan tas sekolah anak-anak.

Membuka luka lama

Anushani Alagarajah, direktur eksekutif Adayaalam Centre for Policy Research yang berbasis di Jaffna, mengatakan Chemmani memiliki "sejarah yang sangat menyakitkan dan traumatis, terutama bagi orang-orang di Jaffna."

"Banyak saudara laki-laki, ayah, dan saudara perempuan teman-teman kami yang hilang pada saat itu," kata Alagarajah kepada DW. "Sudah lebih dari 25 tahun. Ini membuka luka lama yang dalam, tidak hanya bagi keluarga, tetapi bagi seluruh komunitas, seluruh Jaffna. Dan ini mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa melupakan kejadian ini."

Penggalian Chemmani telah menjadi kasus kuburan massal terbesar di Sri Lanka hingga saat ini. Komunitas Tamil di negara tersebut menyerukan pihak internasional untuk turut campur dalam pengawasan penggalian kuburan massal ini.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker TΓΌrk, yang mengunjungi situs tersebut pada Juni lalu mengatakan "Sri Lanka telah berjuang untuk memajukan mekanisme akuntabilitas domestik yang kredibel dan mendapatkan kepercayaan dari para korban. Hal ini membuat rakyat Sri Lanka mencari keadilan dari luar, melalui bantuan di tingkat internasional."

"Kami tidak tahu siapa yang akan mereka temukan selanjutnya"

Aktivis Tamil menggelar acara protes bertepatan dengan kunjungan TΓΌrk. Thambirasa Selvarani yang menghadiri acara tersebut sempat menemui TΓΌrk, mengatakan bahwa dirinya tidak percaya pada mekanisme peradilan Sri Lanka.

Selvarani adalah ketua Asosiasi Kerabat Korban Penghilangan Paksa (ARED) di Distrik Ampara. Ia ingin kuburan massal di distriknya juga digali.

"Kami merasa takut. Kami tidak tahu siapa yang akan mereka temukan dan identifikasi identifikasi selanjutnya," ujar Selvarani kepada DW. "Saya terus memikirkannya siang dan malam, dan saya tidak bisa tidur, saya tidak bisa makan. Saya merasa amat terganggu."

"Selama 17 tahun terakhir, seiring bergantinya presiden, kami terus mendesak mereka untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak dan kerabat kami," kata Selvarani.

Namun, tidak ada kemajuan yang berarti, malah kerap mendapat intimidasi petugas Departemen Investigasi Kriminal (CID) Sri Lanka. "Mereka bilang, 'Kalian seharusnya tidak pergi ke sana(untuk protes), kerabat kalian sudah meninggal, mengapa kalian masih ke sana kemari(untuk protes)?'" kata Selvarani kepada DW.

Pemerintah baru dengan masalah lama

Beralih dari politik dinasti, Sri Lanka memilih presiden berhaluan kiri, Anura Kumara Dissanayake pada September 2024. Namun Niranchan skeptis mengatakan "sejarah jadi saksi" bahwa pemerintah tidak dapat dipercaya dan akan menolak pengawasan internasional.

"Pemerintah tidak memahami masalah etnis," ujarnya kepada DW. "Mereka berpikir negara ini akan damai jika kita menghentikan korupsi. Tetapi mereka tidak mengerti bahwa masalah etnis juga jadi alasan negara ini terjerumus ke dalam hutang."

Ambika Satkunanathan, seorang pengacara hak asasi manusia dan mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sri Lanka, mengatakan "Secara historis, hampir setiap lembaga pemerintah di Sri Lanka enggan mendapatkan bantuan internasional menyelidiki kasus pelanggaran ham dan kejahatan serius."

Hal tersebut didukung dengan pernyataan Presiden Dissanayake sebelum resmi menjabat bahwa dirinya tidak akan menuntut mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang.

Di Sri Lanka, harapan itu 'berbahaya'

Bulan lalu, LSM hak asasi manusia Komite Ahli Hukum Internasional(ICJ) menyerukan agar "pengawasan internasional dan investigasi yang berpusat pada korban" dilakukan "sesuai dengan hukum dan standar internasional" di Sri Lanka.

Namun, Alagarajah dari Pusat Penelitian Kebijakan Adayaalam mengatakan ia tidak yakin pemerintahan Dissanayake akan meminta pengawasan internasional. Ia juga mengatakan tidak melihat "sesuatu yang berbeda" dari penelusuran penggalian di Chemmani.

Alagarajah mengatakan ia telah bertemu dengan keluarga-keluarga yang yakin akan menemukan anak-anak mereka di Chemmani dan yang "berharap bahwa proses ini akan memberi mereka jawaban," tetapi harapan akan jawaban itu juga "berbahaya."

"Harapan tidak selalu merupakan hal terbaik, karena harapan juga bisa sangat mengecewakan dan menyakiti Anda, terutama di negara ini," kata Alagarajah.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Rizki Nugraha

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads