India dan Cina dengan tegas menolak ancaman sanksi sekunder Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sanksi tersebut merupakan hukuman bagi negara yang nekat masih membeli minyak Rusia. Selama ini, pendapatan dari ekspor minyak dipercaya merupakan sumber duit terbesar bagi Moskow demi membiayai invasi di Ukraina.
Beijing dan New Delhi menegaskan, akan melindungi ketahanan energi dan kedaulatan ekonominya, dari apa yang oleh Beijing disebut secara lugas sebagai "pemaksaan dan tekanan" dari Amerika Serikat. Cina merupakan importir minyak terbesar Rusia pada tahun 2022.
India, di sisi lain, menuding Barat bersikap hipokrit. Mereka menyoroti fakta bahwa Uni Eropa tetap mengimpor energi dari Rusia, meskipun telah secara signifikan mengurangi kebergantungan sejak perang dimulai.
New Delhi juga mengingatkan bahwa Washington sebelumnya justru mendorong India membeli minyak dari Rusia, demi menstabilkan harga minyak global yang meningkat tajam setelah invasi Rusia dimulai.
Pembelian minyak India dari Rusia meningkat hampir 19 kali lipat dalam empat tahun terakhir, dari 0,1 menjadi 1,9 juta barel per hari, sementara pembelian Cina naik 50% menjadi 2,4 juta barel per hari.
Petras Katinas, analis energi yang berbasis di Lituania dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), mengatakan kepada DW bahwa India—pembeli minyak terbesar kedua dari Rusia—menghemat hingga USD 33 miliar ongkos pembelian energi antara 2022 hingga 2024. Penghematan tersebut merupakan hasil dari potongan harga besar-besaran oleh Moskow setelah AS dan Eropa mengurangi impor minyak dan gas Rusia.
Kebijakan lama India yang menyeimbangkan hubungan dengan AS, Rusia, dan Cina, tanpa memprioritaskan salah satu negara, menurut Katinas, menjadi landasan keputusan untuk membeli minyak mentah Rusia dengan diskon besar. "New Delhi memprioritaskan keamanan dan keterjangkauan energi," ujarnya.
Ancaman Trump guncang pasar global
Setelah sebelumnya menerapkan tarif 25% atas impor dari India, Trump mengeluarkan perintah eksekutif pada Rabu (6/8) lalu untuk menambah tarif sebesar 25% lagi terhadap India sebagai tanggapan atas pembelian minyak Rusia.
Alhasil, harga minyak naik hampir 1% setelah pengumuman tersebut. Media India melaporkan, tarif baru dapat meningkatkan tagihan impor minyak India hingga US$ 11 miliar. New Delhi menyebut kebijakan Trump sebagai "tidak adil, tak berdasar, dan tidak masuk akal."
Trump menyatakan tarif akan berlaku dalam waktu 21 hari, memberi waktu bagi India dan Rusia untuk bernegosiasi dengan AS terkait pajak impor tersebut. Presiden AS juga diperkirakan akan mengumumkan sanksi sekunder yang lebih luas terhadap negara dan entitas yang masih berdagang dengan Rusia.
Sanksi sekunder dipercaya akan menjadi pukulan besar bagi ekonomi Rusia yang melambat akibat sanksi Barat. Dengan belanja militer kini melampaui 6% dari PDB dan inflasi riil diperkirakan sejumlah analis mencapai 15–20%, Rusia membakar cadangan devisa dan menghadapi tekanan besar terhadap anggaran dan industri senjata nasional.
Bagi pasar global, sanksi baru dapat memicu guncangan besar pada harga energi dan arus perdagangan, seperti yang terjadi pada 2022, ketika harga minyak melonjak dan Rusia menyiasati sanksi Barat dengan menjual dengan harga murah kepada dua ekonomi terbesar dunia.
"Kalau India tidak membeli minyak Rusia pada 2022, tidak ada yang tahu harga minyak akan berapa — USD 100, USD 120, atau USD 300 per barel," ujar Sumit Ritolia, analis minyak di New Delhi dari lembaga riset perdagangan Kpler, kepada DW. Minyak mentah WTI sempat bertahan antara USD 74 hingga USD 95 per barel dalam beberapa minggu sebelum invasi.
Tarif sekunder Trump sebesar 25% dapat memaksa India mengurangi sebagian perdagangan minyaknya dengan Rusia. Sanksi tambahan hanya akan memperburuk keadaan.
Katinas menyebut sanksi sekunder sebagai eskalasi besar. "Sanksi itu mengancam akses perusahaan India ke sistem keuangan AS dan membuat bank, kilang, serta perusahaan pelayaran terpapar dampak besar, mengingat keterlibatan mereka dalam pasar global," katanya.
Harga minyak melonjak, inflasi mengancam
Jika suplai 5 juta barel minyak Rusia per hari tiba-tiba lenyap dari pasar, para analis memperkirakan harga akan kembali melonjak, karena negara-negara yang terdampak harus berebut pasokan lain. Meskipun kartel minyak OPEC baru-baru ini meningkatkan produksi, mengganti volume sebesar itu dalam waktu singkat akan sangat sulit karena kapasitas cadangan yang terbatas dan kendala logistik.
"Tak ada pasokan yang bisa menggantikan 5 juta barel itu dengan cukup cepat untuk mencegah lonjakan harga," ujar Alexander Kolyandr, peneliti senior di Center for European Policy Analysis, kepada The Independent.
Ritolia mengatakan kepada DW bahwa perusahaan India mungkin butuh waktu hingga satu tahun untuk mengurangi ketergantungan pada minyak Rusia, jika memang harus dilakukan.
Harga minyak yang lebih tinggi akan memicu kenaikan tajam inflasi, baik di AS maupun secara global. Bank Sentral AS memperkirakan, setiap kenaikan USD 10 pada harga minyak mentah akan menambah sekitar 0,2 poin persentase pada inflasi. Bank sentral India mencapai kesimpulan serupa.
Jika harga naik dari USD 66 menjadi USD 110–120 per barel, kenaikan inflasi sekitar 1 poin persentase akan menaikkan biaya hidup bagi konsumen dan dunia usaha, terutama di sektor energi, transportasi, dan pangan.
Cina diampuni, India kena imbas?
Analis energi Katinas berpendapat, Cina—yang total volume perdagangannya dengan AS empat kali lebih besar dari India—"mungkin akan dikecualikan" dari kebijakan baru Gedung Putih. Dengan nilai perdagangan bilateral melebihi USD 580 miliar, skala ekonomi Cina memberi mereka daya tawar yang tidak dimiliki India.
Cengkeraman Cina atas pasokan mineral tanah jarang — isu panas dalam hubungan AS-Cina — menjadi salah satu pengungkit yang digunakan Beijing untuk meredam sikap Trump.
Dengan India tak memiliki pengaruh serupa, Trump awal pekan ini menggandakan tekanan pada New Delhi. Dia menyatakan bahwa dampak dari sanksi baru terhadap Rusia dan India akan "menjatuhkan dua ekonomi itu secara bersamaan."
Keuntungan India dari minyak Rusia menyusut
Sementara itu, India tak lagi menikmati keuntungan besar seperti pada 2022, ketika diskon minyak Rusia mencapai USD 15–20 per barel. "Kini, margin itu menyusut menjadi sekitar USD 5," menurut Ritolia dari Kpler.
Berupaya mengisi kembali pundi-pundi perangnya, Rusia kini makin agresif memaksimalkan pendapatan energi. Permintaan dari Turki — yang kini menjadi pelanggan minyak terbesar ketiga Rusia — serta negara-negara Asia lainnya, yang mengimpor minyak Rusia dengan label alternatif untuk menghindari sanksi AS, membantu mengangkat harga.
Meski begitu, kilang-kilang India terus melaku pembelian dari Rusia. Impor minyak mentah dari Rusia pada Juni mencapai level tertinggi dalam 11 bulan, yakni 2,08 juta barel per hari, menyumbang 44% dari total pasokan minyak mentah India — lonjakan tajam yang didorong oleh pertimbangan geopolitik dan harga.
Di luar retorika, respons Cina tampaknya akan mengikuti pola sebelumnya saat menghadapi sanksi sekunder. Bank-bank Cina makin enggan menangani transaksi Rusia, bahkan dalam mata uang yuan, memaksa Moskow bergantung pada perantara bayangan dan jalur pihak ketiga.
Bagi Beijing, impor minyak adalah prioritas yang relatif terlindungi dari tekanan politik. Sementara itu, India dipandang lebih mungkin mengambil sikap hati-hati: mengurangi pembelian jika ditekan, tapi tidak serta-merta menghentikan impor minyak Rusia.
Ritolia berspekulasi bahwa India mungkin akan "mengurangi" impor minyaknya dari Rusia, namun menambahkan, "Saya tidak melihat India akan turun ke angka nol dalam waktu dekat."
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan
Simak juga Video: Trump Ancam Naikkan Tarif Impor untuk India gegara Beli Minyak Rusia
(ita/ita)