Ketika Julia Brandner baru-baru ini mempresentasikan bukunya "I'm Not Kidding" (Aku Tidak Sedang Bercanda), influencer dan komedian berusia 30 tahun itu dihujani hinaan. Seorang ibu tiga anak berusia 72 tahun tiba-tiba maju ke arahnya dan menyebutnya egois. Demikian Brandner bercerita kepada DW.
Dalam bukunya, penulis kelahiran Austria dan tinggal di Berlin itu menjelaskan dengan penuh humor dan kejujuran, mengapa ia tidak pernah ingin hamil dan menjalani sterilisasi karena alasan tersebut.
Berbicara tentang rasa kebencian yang ia alami dari berbagai pihak, Brandner berkata: "Kita akan dicap sebagai seorang revolusioner. Jika mengatakan tidak menginginkan anak, maka akan langsung disalahkan karena menyabotase sistem pensiun serta kontrak antargenerasi, dan bahkan secara sepihak dianggap menyebabkan kepunahan umat manusia."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian kalangan menilai rendahnya angka kelahiran, sebagai pertanda kemajuan dalam penentuan nasib sendiri kaum perempuan, tetapi pihak lain menyebutnya sebagai pertanda buruk dari menurunnya tingkat kemakmuran, dan populasi yang terus menyusut.
Rata-rata angka perempuan melahirkan hanya: 1,35 tahun 2024 di Jerman. Demikian menurut Kantor Statistik Jerman. Angka kelahiran rata-rata untuk perempuan berkewarganegaraan Jerman hanya 1,23, sementara angkanya naik menjadi 1,89 untuk warga negara non-Jerman. Secara total, 677.117 anak lahir di Jerman pada tahun 2024, turun 15.872 dari tahun sebelumnya.
Partai sayap kanan menyerukan peningkatan angka kelahiran
Brandner berusia 28 tahun ketika ia melakukan operasi sterilisasi. Dokter kandungannya menuntut penilaian psikiatri terhadap kapasitas mentalnya sebelum melakukan operasi.
Brandner terkejut dengan kontroversi yang disebabkan oleh bukunya. Ia mengatakan, memperhatikan pergeseran ke kanan yang semakin meningkat di masa-masa penuh gejolak ini, seiring dengan kembalinya nilai-nilai yang lebih "tradisional", di mana perempuan berdiri di depan kompor dan seharusnya mengurus anak-anak.
Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang berhaluan kanan ekstrem, juga telah menyinggung topik tingkat kesuburan yang menurun dan menyerukan lebih banyak anak, alih-alih imigrasi, sebagai cara untuk mengatasi kurangnya pekerja terampil di Jerman.
Brandner merasa, bahkan pada tahun 2025, topik anak-anak masih sangat luas dipandang sebagai sesuatu yang hanya menyangkut perempuan. "Banyak ibu tunggal dibiarkan mengatasi masalah mereka sendiri, sementara para ayah sering kali lepas dari tanggung jawab. Bagi perempuan, memiliki anak menempatkan mereka pada risiko kemiskinan yang sangat besar. Tidak mungkin bahkan saat ini seorang perempuan harus mengorbankan kemakmurannya untuk memastikan kemakmuran masyarakat," katanya.
Tingkat kesuburan menurun di seluruh dunia
Namun, Jerman bukanlah satu-satunya negara yang mengalami penurunan tingkat kesuburan. Jumlah kelahiran anak menurun drastis di seluruh dunia, mencapai titik terendah 0,75 di Korea Selatan.
Vietnam membunyikan alarm awal tahun ini, ketika angka kelahirannya mencapai rekor terendah. Satu-satunya pengecualian adalah zona Sahel, di mana perempuan masih memiliki rata-rata lebih dari lima anak. Sahel adalah sebuah kawasan geografis semi arid di Afrika yang terletak di antara Gurun Sahara di utara dan wilayah sabana di selatan.
Michaela Kreyenfeld adalah seorang sosiolog dan salah satu pakar di balik laporan keluarga pemerintah Jerman. Ia melihat hubungan yang semakin erat antara krisis ekonomi dan ketidakpastian dengan angka kelahiran. "Apakah egoisme atau sekadar perilaku otonom yang membuat perempuan tidak ingin punya anak? Kita telah membicarakan hal itu setidaknya sejak tahun 1970-an, jadi ini bukan hal baru," ujarnya kepada DW.
Yang baru, katanya, adalah berbagai krisis: "Pandemi COVID-19, perubahan iklim yang merajalela, dan inflasi yang tinggi. Khususnya bagi generasi muda, itu adalah situasi baru," ujar Kreyenfeld. Sebuah gerakan tandingan di AS mencoba melawan tren ini, dengan dipimpin orang terkaya di dunia sebagai perwakilan paling terkemuka: Pronatalis dan Elon Musk ingin melahirkan sebanyak mungkin anak ke dunia.
Namun, Kreyenfeld menunjuk Rumania sebagai contoh dari sejarah Eropa Timur yang dapat menjadi peringatan. "Presiden Nicolae Ceausescu menggunakan langkah-langkah ekstrem, seperti membatasi akses ke alat kontrasepsi dan menjatuhkan hukuman berat bagi pelaku aborsi, untuk mendorong angka kelahiran dari 1,8 menjadi empat dalam setahun. Hasilnya adalah 'generasi yang hilang' di Rumania: generasi di mana orang tua tidak mengasuh anak-anak mereka karena mereka tidak menginginkannya."
Sementara itu dikutip dari Detik, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis laporan periode 2023 hasi survei kepada kelompok perempuan Ditemukan 71 ribu perempuan berusia 15 hingga 49 tahun di Indonesia yang tidak ingin memiliki anak.
Bagaimana Jerman dapat menjembatani 'kesenjangan fertilitas'?
Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kembali angka kelahiran tanpa tekanan negara? Wakil Direktur Institut Federal untuk Penelitian Kependudukan, Martin Bujard, punya jawabannya.
Bujard, seorang pakar angka kelahiran di Jerman yang memahami statistik dua dekade terakhir hingga ke angka desimal terakhir, mengatakan perdebatan tentang perempuan seperti Brander, yang sengaja memilih untuk tidak memiliki anak, tidak menyentuh inti permasalahan.
"Jika seseorang tidak ingin memiliki anak, itu adalah keputusan mereka. Hal ini tidak seharusnya distigmatisasi, dan, memang, menjalani hidup tanpa anak menjadi semakin dapat diterima," ujarnya.
Yang sebenarnya dipermasalahkan di sini adalah hal lain, ujarnya. "Kami telah menanyakan berapa banyak anak yang diinginkan orang, dan hasilnya menunjukkan bahwa pada tahun 2024, baik perempuan maupun laki-laki menginginkan rata-rata sekitar 1,8 anak β dengan kata lain, jauh di atas angka kelahiran 1,35. Jika keinginan untuk memiliki anak ini terpenuhi, kita akan memiliki lebih sedikit masalah demografis dan lebih banyak kemakmuran dalam jangka panjang."
"Kesenjangan fertilitas" adalah istilah yang digunakan untuk perbedaan antara jumlah anak yang diinginkan dan angka kelahiran, misalnya ketika banyak perempuan mungkin hanya memiliki satu anak, alih-alih dua anak yang mereka inginkan. Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak menemukan pasangan yang stabil hingga di usia lanjut, karena anak-anak semakin dipandang dalam perdebatan sosial sebagai masalah, bukan aset, dan atau karena negara dapat melakukan lebih banyak hal daripada yang telah dilakukannya, untuk mempermudah memiliki keluarga.
Jerman perlu meningkatkan keseimbangan kehidupan kerja
Bujard memuji kebijakan ramah keluarga yang diterapkan oleh negara Jerman di masa lalu, seperti menambah jumlah pusat penitipan anak dan sekolah sepanjang hari serta memperkenalkan tunjangan orang tua pada awal tahun 2000-an. Ia mengatakan, ini merupakan pergeseran paradigma yang telah disadari secara luas di dunia, dengan Jerman yang pernah memiliki salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia. Namun, ia memiliki pandangan kritis terhadap situasi saat ini.
"Sejak 2013, kami memiliki hak hukum untuk tempat pengasuhan anak, tetapi hal ini tidak lagi dapat diandalkan, karena pengasuhan tersebut sering dibatalkan. Terdapat kekurangan pekerja terampil pengasuhan anak, dan sistem menerima terlalu sedikit uang pada akhirnya. Jika ada cukup uang di sana, orang dapat berbicara tentang gaji yang lebih tinggi untuk staf pengasuhan anak," ujarnya.
Jerman perlu melakukan upaya yang lebih besar lagi dengan kebijakan keluarganya, karena tren saat ini mengkhawatirkan: 22% perempuan dan 36% laki-laki berusia antara 30 dan 50 tahun tidak memiliki anak. Demikian menurut Kementerian Jerman untuk Urusan Keluarga, Warga Lanjut Usia, Perempuan, dan Pemuda. Angka-angka dari Kantor Statistik Jerman menunjukkan, laki-laki di Jerman hanya memiliki rata-rata 1,24 anak pada tahun 2024.
Yang jelas, akademisi perempuan muda semakin banyak yang tidak memiliki anak. Oleh karena itu, papar Bujard, satu-satunya cara adalah meningkatkan kesesuaian antara pekerjaan dan keluarga.
"Skenario terburuknya adalah, akan ada masalah yang lebih serius dengan jaminan sosial dalam jangka panjang, dengan angka kelahiran yang terus menurun pada tahun 2030. Hal itu akan menyebabkan dampak buruk yang serius terhadap kesejahteraan: Kontribusi iuran jaminan sosial harus dinaikkan, dana pensiun akan diturunkan, dan juga akan ada lebih banyak pemotongan dalam sistem kesehatan dan sektor perawatan," pungkasnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Agus Setiawan