Pemerintah militer Myanmar mengumumkan berakhirnya status darurat nasional yang telah diberlakukan sejak kudeta pada Februari 2021. Namun, pengumuman ini dinilai lebih sebagai "kosmetik" politik ketimbang peralihan kekuasaan sejati. Min Aung Hlaing, pemimpin junta yang memimpin kudeta, tetap memegang posisi kunci sebagai presiden sementara sekaligus panglima tertinggi militer.
Langkah ini disampaikan sebagai bagian dari persiapan menuju pemilihan umum yang direncanakan berlangsung akhir tahun ini. Namun, pengamat dan kelompok oposisi menganggap pemilu tersebut tidak sah dan hanya menjadi alat militer untuk memperkuat cengkeramannya atas negara yang sedang dilanda perang saudara.
"Enam bulan ke depan adalah masa untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu," kata juru bicara junta, Zaw Min Tun, dalam pernyataan di media pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Restrukturisasi yang mempertahankan status quo
Menjelang habisnya masa berlaku dekret darurat terakhir dari tujuh kali perpanjangan, junta mengumumkan pembentukan struktur pemerintahan baru. Min Aung Hlaing menyerahkan jabatan perdana menteri kepada penasihatnya, Jenderal Nyo Saw. Namun, ia tetap memegang kekuasaan tertinggi sebagai presiden sementara dan Ketua Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional, badan yang kini mengambil alih seluruh fungsi pemerintahan.
Selain itu, militer juga membentuk badan baru bernama Komisi Keamanan dan Perdamaian Negara untuk mengawasi pelaksanaan pemilu. Komisi ini, bersama Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Anti-Korupsi, berada di bawah kendali langsung presiden sementara Min Aung Hlaing.
"Mereka hanya merombak susunan lama dan menyebut rezim ini dengan nama baru," kata David Mathieson, analis independen yang fokus pada Myanmar. "Ini bagian dari persiapan menuju pemilu yang tidak jelas pelaksanaannya."
Pemilu tanpa kepastian di tengah perang saudara
Rencana pemilu yang semula dijadwalkan Agustus 2023 telah beberapa kali tertunda. Kini junta mengklaim pemilu akan berlangsung bertahap mulai Desember 2025 hingga Januari 2026, menyesuaikan dengan kondisi keamanan di berbagai wilayah.
Namun, situasi di lapangan jauh dari kondusif. Dari 330 kotapraja di Myanmar, militer hanya berhasil menyelenggarakan sensus penduduk di 145 wilayah, mencerminkan lemahnya kontrol junta di banyak daerah.
Pada Kamis (31/07) malam waktu setempat, televisi negara MRTV melaporkan bahwa darurat militer dan hukum darurat akan diberlakukan selama 90 hari di 63 kotapraja yang tersebar di sembilan wilayah dan negara bagian. Mayoritas adalah daerah perbatasan yang dikuasai pasukan oposisi bersenjata.
Krisis kemanusiaan meningkat, oposisi tolak pemilu
Sejak kudeta 2021, kekerasan terus meningkat dan konflik berkembang menjadi perang saudara. Berdasarkan data Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), lebih dari 7.000 orang telah dibunuh oleh militer dan hampir 30.000 lainnya ditahan secara sewenang-wenang.
Amnesty International mencatat bahwa lebih dari 3,5 juta warga menjadi pengungsi internal. Banyak kelompok oposisi dan organisasi masyarakat sipil menyatakan tidak akan ikut serta dalam pemilu yang dianggap tidak sah dan tidak demokratis.
"Pemilu ini tidak akan demokratis karena tidak ada media bebas, dan sebagian besar pemimpin partai Aung San Suu Kyi telah ditangkap," ungkap pengamat hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.
Dukungan Cina versus kecaman Barat
Sementara negara-negara Barat mengecam pemilu Myanmar sebagai upaya militer untuk melanggengkan kekuasaan, pemerintah Cina justru menyatakan dukungan atas rencana tersebut.
Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Cina menyebut bahwa pihaknya "mendukung jalur pembangunan Myanmar sesuai dengan kondisi nasionalnya dan kemajuan stabil agenda politik domestik Myanmar."
Namun, banyak pihak internasional menilai dukungan Cina makin memperkuat legitimasi junta militer yang terus melakukan pelanggaran HAM secara sistematis. Di sisi lain, diplomasi negara-negara ASEAN masih terbagi dalam menyikapi krisis ini.
"Militer berusaha menggunakan pemilu sebagai alat legitimasi, bukan sebagai ekspresi kehendak rakyat," ujar seorang diplomat Barat yang meminta namanya dirahasiakan.
Editor: Hani Anggraini
Tonton juga video "Junta Militer Myanmar Tolak Gencatan Senjata Meski Korban Gempa Meningkat" di sini:
(ita/ita)